Memasak sering dikatakan sebagai basic skill untuk bertahan hidup. Kegiatan memasak tidak hanya berlaku untuk gender tertentu saja, karena laki-laki maupun perempuan sama-sama butuh makan.
Selama ini, memasak hanya dianggap sebagai kegiatan untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia, yaitu makan. Padahal, memasak bisa menjadi salah satu kegiatan yang bermanfaat bagi kesehatan mental.
Beberapa orang menganggap memasak sebagai kegiatan yang menyenangkan dan menenangkan jiwa, atau istilah kerennya therapeutic.
Dilansir dari laman Alodokter, memasak dapat membantu meningkatkan kepercayaan diri. Jika hasil masakan yang kita buat rasanya enak dan berhasil mendapat pujian dari orang yang memakannya, hal itu akan meningkatkan self esteem dari orang yang memasak.
Selain itu, memasak juga dapat melatih kreativitas, membangun rutinitas, hingga mengurangi kadar stres bagi seseorang.
Bagi orang yang sudah berkeluarga seperti saya, memasak sudah menjadi hal yang wajib dilakukan setiap hari. Selain untuk alasan penghematan, kualitas dan kebersihan bahan juga menjadi alasan saya lebih suka masak sendiri.
Saya yang dulunya tidak bisa memasak, pelan-pelan belajar, dan akhirnya menganggap bahwa memasak itu cukup menyenangkan untuk dilakukan, meskipun belum bisa dibilang sebagai hobi.
Mulai dari menyiapkan bahan, mengiris dan merajang, menghaluskan, menumis, menggoreng, semua proses memasak tersebut memiliki "seni" tersendiri.
Namun, selalu ada celah di balik hal-hal menyenangkan dalam kehidupan ini, termasuk memasak.
Kegiatan memasak rupanya tidak berhenti hanya karena masakan sudah matang. Setelah menyajikan makanan, kita akan mendapati cucian piring dan perabotan yang menumpuk.
Saat memasak, seseorang cenderung menggunakan perabotan yang cukup banyak. Mulai dari pisau, talenan, baskom, cobek atau blender, hingga perabotan besar seperti wajan dan panci.
Terkait hal tersebut, saya seringnya mengeluarkan kemampuan multitasking. Sambil menunggu masakan matang, saya mencicil untuk mencuci perabotan sedikit demi sedikit.
Namun, sayangnya, hal itu akan mengurangi esensi memasak sebagai terapi jiwa karena kita harus bolak-balik mematikan keran air dan memeriksa masakan. Fokus kita menjadi terpecah belah.
Memasak memang bisa menjadi terapi jiwa yang menyenangkan, asal setelah itu tidak ada beban untuk mencuci piring yang menumpuk. Solusinya sebenarnya mudah. Kita bisa meminta bantuan kepada orang serumah yang ikut mencicipi masakan kita untuk mencuci piring.
Namun, jika kebetulan tinggal sendiri, tidak ada pilihan lain, selain pura-pura tidak melihat tumpukan perabotan di atas sink wastafel dan mencucinya saat mood sudah membaik.