Siapa sangka, mikroplastik yang ukurannya begitu kecil hingga sulit dilihat mata telanjang ternyata sudah menyebar ke mana-mana. Kita bisa menemukannya di udara yang kita hirup, tanah tempat kita berpijak, hingga air yang kita gunakan sehari-hari.
Keberadaan mikroplastik ini menjadi masalah serius karena dapat masuk ke tubuh manusia maupun hewan, dan berpotensi menimbulkan gangguan kesehatan.
Masalah lain yang muncul adalah bagaimana cara mendeteksi mikroplastik. Selama ini, para peneliti hanya bisa mengandalkan teknologi seperti mikroskop, spektroskopi inframerah, atau Raman. Metode ini memang sangat akurat, tapi prosesnya panjang, rumit, dan membutuhkan biaya mahal. Akibatnya, pemantauan mikroplastik di lingkungan sulit dilakukan secara cepat dan luas.

Untuk menjawab tantangan itu, tim peneliti yang dipimpin oleh Song Lin Chua mengembangkan pendekatan baru yang lebih sederhana: biosensor hidup berbasis bakteri. Mereka menggunakan Pseudomonas aeruginosa, sejenis bakteri yang umum ditemukan di lingkungan. Bakteri ini dikenal mampu menempel pada permukaan plastik dan membentuk biofilm. Dengan sedikit rekayasa genetika, tim mencoba mengubah bakteri ini menjadi sensor yang bisa mendeteksi keberadaan mikroplastik.
Caranya, para peneliti menambahkan dua gen pada galur P. aeruginosa yang sudah dibuat aman dan non-infeksius. Gen pertama dirancang untuk aktif saat bakteri bersentuhan dengan plastik, sementara gen kedua akan memicu produksi protein berfluoresensi hijau sebagai tanda. Hasilnya, bakteri yang dimodifikasi ini akan memancarkan cahaya hijau setiap kali menempel pada partikel plastik.
Dalam uji coba laboratorium, biosensor ini menunjukkan hasil yang menjanjikan. Hanya dalam waktu tiga jam, bakteri bisa menghasilkan cahaya hijau terukur pada berbagai jenis plastik, termasuk polietilena tereftalat (PET, kode daur ulang 1) dan polistirena (PS, kode 6). Menariknya lagi, sel bakteri ini bisa bertahan hingga tiga hari jika disimpan di suhu lemari es. Artinya, sensor ini punya potensi besar untuk digunakan langsung di lapangan tanpa kehilangan fungsinya.
“Temuan biosensor kami menawarkan cara mendeteksi mikroplastik dengan cepat, terjangkau, dan tetap akurat, setara dengan metode mikroskop atau spektroskopi,” kata Chua.
Jika dipakai sebagai alat skrining, teknologi ini bisa membuka jalan bagi pemantauan mikroplastik secara massal. Bukan hanya mempercepat penelitian, tetapi juga membantu menunjukkan titik-titik polusi yang paling membutuhkan perhatian dan penanganan lebih lanjut.
Penulis: Muhammad Ryan Sabiti