Di era media sosial, istilah healing sempat menjadi mantra sakti bagi anak muda. Setiap kali lelah, stres, atau jenuh, jalan-jalan dan rehat sejenak dianggap sebagai bentuk pelarian yang sah.
Liburan ke pantai, nongkrong di kafe estetik, hingga sekadar rebahan di kamar ditemani lilin aromaterapi, semua dilakukan atas nama healing.
Namun, belakangan makna healing mulai bergeser. Istirahat kini tidak lagi sekadar jeda dari rutinitas, tapi harus “terlihat produktif.”
Nongkrong di kafe sambil membuka laptop, atau liburan yang tetap diisi dengan menyelesaikan deadline pekerjaan.
Perlahan tapi pasti, anak muda berpindah dari budaya healing ke hustling, dari mencari ketenangan, menjadi terjebak dalam dorongan untuk terus produktif dan “berhasil”.
Fenomena ini tentu tidak muncul begitu saja. Banyak anak muda tumbuh di tengah tekanan sosial untuk selalu berprestasi dan menghasilkan sesuatu.
Di sisi lain, media sosial memperkuat tekanan tersebut. Platform seperti Instagram, TikTok, dan LinkedIn dipenuhi dengan konten motivasi, daily routine, serta kisah sukses yang seolah menuntut semua orang untuk ikut berlari.
Setiap unggahan menjadi ajang pembuktian, setiap kesibukan terasa harus dibagikan. Akibatnya, waktu istirahat yang dulu menjadi ruang self-care kini berubah fungsi. Healing yang seharusnya menjadi momen hening dan reflektif, kini malah dijadikan konten dan simbol eksistensi.
Bukan lagi tentang menyembuhkan diri, tapi tentang tampil “sibuk tapi tetap bahagia”. Padahal, manusia bukan mesin yang bisa terus berjalan tanpa henti. Terlalu lama berada dalam mode hustle bisa menguras energi, baik fisik maupun mental.
Banyak anak muda kini mengalami kelelahan emosional, kehilangan semangat, bahkan merasa bersalah saat beristirahat,seolah waktu luang adalah bentuk kegagalan. Tubuh memang masih bergerak, tapi hati dan pikiran sudah lelah.
Mungkin kini saatnya anak muda belajar untuk mendefinisikan ulang makna healing. Bukan tentang pergi ke tempat mahal, bukan tentang memamerkan momen tenang di media sosial, tapi tentang memberi ruang bagi diri sendiri untuk diam tanpa target.
Kadang, rebahan tanpa rasa bersalah jauh lebih menyembuhkan daripada liburan yang penuh rencana.
Healing sejati bukan tentang membuktikan diri, melainkan tentang kembali terhubung dengan diri sendiri.
Sebabpada akhirnya, hidup bukan sekadar soal berlari mengejar tujuan, tapi juga tentang memberi diri kesempatan untuk berhenti, bernapas, dan merasakan kembali makna hidup itu sendiri.
Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS