Di tengah dunia modern yang tak pernah benar-benar sunyi, banyak anak muda memilih menghilang sejenak, bukan untuk menjauh, tetapi untuk menjaga kewarasan di tengah tekanan sosial dan digital yang terus menumpuk.
Notifikasi yang tak pernah berhenti, tuntutan untuk selalu hadir, dan ekspektasi sosial yang tak ada habisnya membuat ruang bernapas terasa semakin sempit.
Fenomena ini terlihat dari semakin banyaknya anak muda yang tiba-tiba tidak aktif di grup WhatsApp, berhenti membalas pesan, atau mendadak hilang dari media sosial.
Bukan karena berubah, bukan pula karena sombong, mereka hanya ingin diam di kamar, memulihkan energi yang terkuras oleh ritme hidup yang terasa terlalu cepat untuk dikejar.
Tekanan untuk selalu responsif menciptakan ilusi bahwa seseorang harus terus “ada” setiap saat. Namun, ketersediaan tanpa henti ini justru menguras mental.
Dalam sehari, seseorang bisa menerima ratusan pesan, komentar, dan update yang menuntut perhatian.
Sesuatu yang awalnya dimaksudkan untuk mendekatkan justru membuat banyak orang merasa sesak, kewalahan, dan kehilangan ruang bernapas di tengah riuhnya dunia digital.
Sebuah penelitian tentang “Burnout Digital: Keterhubungan Konstan pada Mental Gen Z” menunjukkan bahwa generasi muda kini hidup dalam pola hyper-connectivity. Media sosial bukan lagi sekadar wadah komunikasi, tapi telah berubah menjadi sumber validasi, penilaian, dan pembuktian diri.
Ketika setiap unggahan menjadi tolak ukur eksistensi, ketergantungan ini memicu stres, kelelahan emosional, hingga dorongan untuk menarik diri dari lingkungan sosial.
Media sosial juga memperkuat kebisingan internal. Tekanan untuk selalu terlihat baik, aktif, dan produktif membuat anak muda merasa wajib menampilkan versi diri yang paling ideal.
Ketika kenyataan tidak seindah itu, “menghilang” menjadi pilihan yang lebih rasional daripada terus tampil kuat di hadapan publik.
Tak sedikit pula yang akhirnya menjauh karena burnout sosial, kelelahan yang muncul dari interaksi yang terlalu intens, padat, dan tanpa ruang jeda emosional.
Grup chat yang dulu menyenangkan kini terasa seperti kewajiban. Pertemanan berubah jadi tuntutan. Bahkan suasana keluarga pun terkadang terasa seperti ruang yang harus dihindari untuk bisa bernapas.
Fenomena “menghilang” ini sering disalahpahami sebagai sikap dingin atau tidak peduli. Padahal bagi banyak anak muda, diam adalah bentuk penyelamatan diri. Sunyi menjadi ruang untuk menata ulang batin. Jeda menjadi cara untuk kembali stabil.
Namun, menghilang bukan berarti memutus tali sosial sepenuhnya. Banyak yang hanya butuh waktu untuk memulihkan energi sosial mereka. Mereka ingin kembali ketika mental sudah lebih utuh, ketika pikiran sudah lebih terang, ketika hati tidak lagi penuh sesak.
Dalam dunia yang semakin riuh, kita perlu memahami bahwa tidak semua orang punya kapasitas sosial yang sama. Tidak semua bisa “selalu ada”. Dan tidak semua orang kuat menghadapi kebisingan setiap hari.
Yang dibutuhkan hanyalah ruang, ruang untuk bernapas, ruang untuk pulih, ruang untuk kembali menjadi diri sendiri tanpa tekanan.
Menghilang sementara bukan tanda menjauh. Itu tanda seseorang sedang berusaha tetap waras di dunia yang tak pernah benar-benar sunyi.