Seiring dengan berjalannya waktu dan berkembangnya media online, ada kecenderungan masyarakat dalam membaca berita dan informasi. Kemajuan teknologi informasi dan komunikasi saat ini, tidak hanya memberikan dampak positif, tapi juga negatif.
Masyarakat yang awalnya melihat berita dan infomasi di media televisi dan radio, dengan berkembangnya teknologi, kini bisa melihatnya melalui handphone atau telepon genggam.
Bagaimana jika sebuah berita atau informasi yang diolah dan di-publish, sudah mengalami perubahan? Hal ini tentu sangat disayangkan.
Apalagi jika infomasi tersebut merupakan berita bohong yang tidak ada faktanya, tidak akurat atau tidak benar, dan tidak dapat dipertanggungjawabkan, atau yang lebih dikenal dengan berita hoax.
Berita hoax mampu menimbulkan beberapa efek. Masyarakat jadi mudah terpercaya, karena penyebarannya yang semakin mudah dan cepat diterima.
Menurut pengacara dari Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI), Walidi, mereka yang pro hoax biasanya orang-orang yang tidak punya dasar pengetahuan yang cukup dan menelan mentah-mentah, tanpa menyaring atau memfilter informasi yang dimaksud. Sebaliknya, orang yang kontra hoax biasanya punya daya berpikir yang jernih dan luas, suka menggunakan analisa-analisa yang secara baik dan benar, didasarkan pada data dan fakta.
Hoax bisa masuk dalam masyarakat dari berbagai kalangan, bisa perorangan, organisasi politik, lembaga swadaya masyarakat (LSM), dan lainnya.
“Hoax dibuat agar tujuan mereka tercapai,” ujarnya.
Adapun peraturan perundangan mengenai penyebaran kabar bohong adalah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik Pasal 28 Ayat (1) & Ayat (2), dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana Pasal 14 Ayat (1) & Ayat (2) dan Pasal 15.
Masyarakat seharusnya jangan mudah terpercaya dengan informasi yang ada. Bacalah berita yang akurat, dalam arti, dari sumbernya langsung. Selanjutnya, masyarakat juga harus pandai dalam memfilter berita dan tidak mudah terpengaruh.
Mereka juga diharapkan dapat menanamkan pola berpikir kritis terhadap berita yang didapat, dan bisa mengenali berita yang layak atau tidak layak untuk disebarkan kepada publik.
Pengirim: Diajeng Maharani, mahasiswi Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, di Universitas Pembangunan Nasional "Veteran" Jakarta