Mungkin cuma di Indonesia yang ada fenomena arus mudik dan balik (mulik). Saban sepekan jelang lebaran Idul Fitri, orang dari delapan penjuru angin sudah sibuk dengan urusan mudik tadi, dan setelah lebaran disibukkan lagi dengan urusan balik. Entah sejak kapan fenomena ini bermula.
Yang pasti, meski harus berhadapan dengan antrean panjang, berdesakan di terminal, macet panjang, kurang layaknya angkutan umum, bahkan ancaman nyawa melayang di perjalanan, dijabani demi pulang kampung. Nyaris tak ada yang kapok dengan situasi semacam itu.
Inilah barang kali yang menjadikan fenomena tahunan itu menjadi siaran khusus bagi penyelenggara penyiaran. Mulai dari televisi hingga radio berlomba-lomba menyajikan informasi dan tayangan terbaik kepada masyarakat.
Mulai dari kondisi lalu lintas hingga kejadian-kejadian yang kadang lucu di jalanan menjadi suguhan lembaga penyiaran. Saban waktu, update informasi terus dilakukan, seolah mereka tak kenal lelah menyajikan info-info tentang arus mudik dan arus balik tadi.
Tapi sayang, ada yang terlupakan di sana, bahwa saat ini teknologi sudah semakin canggih. Sudah ada suguhan yang lebih cepat dibanding apa yang dilakukan oleh lembaga penyiaran tadi. Namanya new media alias media sosial (medsos).
Dengan medsos, siapa pun sudah bisa menyuguhkan informasi bagi siapa saja dan kapan saja. Apalagi saat ini penyedia aplikasi berlomba pula menyediakan fitur yang bisa langsung merekam dan menayangkan live sebuah informasi.
Tapi yang namanya medsos, tentu ada lemahnya. Di sini tidak ada proses editing dan penilaian layak atau tidak layaknya tayangan atau informasi itu di-publish. Makanya, bisa saja ada yang sengaja menyebarkan informasi yang tidak sesuai fakta. Atau ada yang sekadar iseng untuk lucu-lucuan, tapi ternyata kemudian dimanfaatkan dan disebarkan seolah itu kejadian sungguhan. Gara-gara yang kaya beginilah kemudian muncul istilah hoax.
Di lembaga penyiaran, apa yang dilakukan seseorang di medsos tentu tidak berlaku. Sebab di lembaga penyiaran, untuk menayangkan atau menginformasikan data dan gambar yang didapat musti melalui sederet proses. Itulah makanya informasi yang disuguhkan oleh lembaga penyiaran lebih terjamin kebenarannya.
Tapi lagi-lagi, teknologi telah membuat semuanya musti serba cepat. Sesuatu yang belum bisa sepenuhnya diikuti oleh lembaga penyiaran. Inilah kemudian yang membuat medsos menggerus peran lembaga penyiaran tadi, termasuk pada momen mulik.
Sebab, lembaga penyiaran baik radio maupun televisi, masih saja bergumul dengan aturan yang membatasi mereka, mulai dari jangkauan wilayah siar hingga persoalan teknis yang sudah semakin tertinggal.
Televisi masih analog, begitu juga radio. Makanya kendaraan bergerak belum bisa menangkap siaran ini dengan sempurna. Dan celakanya, kalau sudah keluar dari jangkauan wilayah siar, yang terlihat maupun yang terdengar hanya semut berdemo dan kemeresek.
Kalau saja mimpi tentang digitalisasi penyiaran televisi segera digeber, bisa jadi di setiap kendaraan para pemudik bisa terpasang layar televisi yang bisa menjadi panduan, dan sudah pasti gambarnya jernih lantaran siaran digital bisa diterima dengan baik meskipun menggunakan media bergerak.
Dan jangan heran kalau sudah di era digital, enggak hanya di mobil orang bisa menonton TV, tapi di sepeda motor juga orang bisa memasang layar TV. Soal TV-nya sebesar apa, menyesuaikan sajalah.
Saat kendaraan lewat kawasan hutan atau daerah blank spot pun, sudah tak lagi jadi masalah. Sebab era digital adalah era tanpa batas. Jika era digital tadi sudah terjadi, maka bisa dipastikan, lembaga penyiaran telah memegang peran utama pada tradisi mulik tahunan tadi, tidak lagi sekadar berperan.
Lembaga penyiaran kemudian akan dilirik dan menjadi kebutuhan utama para pemulik. Lembaga penyiaran sudah tanpa batas. Dan dengan begitu pula, hoax akan sangat terminimalisir. Bisakah ini segera terwujud?
Penulis: Warsito, S.I.Kom, Komisioner KPID Riau Bidang Pengelolaan Struktur dan Sistem Penyiaran.