Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan atau BPJS Kesehatan adalah badan yang melaksanakan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), yang merupakan hasil transformasi dari PT Askes (Persero). Berawal ketika Pemerintah mengeluarkan Undang Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dan di tahun 2011 menetapkan Undang Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS).
BPJS Kesehatan tersebut mulai beroperasi melayani masyarakat sejak 1 Januari 2014. Bukan sebuah rahasia lagi jika BPJS Kesehatan selalu mengalami defisit sejak mulai beroperasi hingga kini. Berdasarkan data yang bersumber dari laman resmi Kementerian Keuangan Republik Indonesia, sejak tahun 2014, program JKN selalu mengalami defisit.
Besaran defisit tersebut masing-masing sebesar Rp1,9 triliun pada tahun 2014, Rp9,4 triliun pada tahun 2015, Rp 6,7 triliun pada tahun 2016, Rp13,8 triliun pada tahun 2017, dan Rp19,4 triliun pada tahun 2018.
Penyebab utama defisit tersebut adalah besaran iuran yang underpriced, yaitu iuran yang besarannya masih terlalu kecil jika dibandingkan dengan manfaat jaminan kesehatan. Rasio klaim peserta BPJS Kesehatan selalu di atas 100 persen. Risiko defisit sulit dihindari karena pemasukan yang tidak cukup menutupi seluruh pengeluaran atas klaim peserta BPJS Kesehatan tersebut.
Selain itu, defisit juga disebabkan karena banyaknya peserta mandiri yang kurang disiplin dalam membayar iuran dan banyaknya tunggakan iuran. Banyak peserta mendaftar ketika sedang sakit dan memerlukan biaya mahal, tetapi berhenti atau tidak taat membayar iuran ketika sehat.
Defisit terus meningkat jika penerimaan yang diperoleh tidak cukup untuk membiayai pengeluaran. Bersumber dari data yang dipublikasi pada laman resmi Kementerian Keuangan Republik Indonesia, pada akhir tahun anggaran 2018, tingkat keaktifan peserta mandiri hanya 53,7 persen.
Sedangkan claim ratio peserta mandiri pada 2018 mencapai 313 persen atau mencapai Rp27,9 triliun, sementara total iuran yang dikumpulkan hanya Rp8,9 triliun. Selain kedua hal tersebut, defisit juga dipengaruhi faktor penyakit katastropik atau penyakit kronis tidak menular yang membutuhkan biaya besar dan mendominasi profil masyarakat Indonesia.
Dampak dari defisit tersebut sangat mempengaruhi keberlangsungan program jaminan kesehatan. Rumah sakit sebagai penyedia layanan kesehatan dapat mengalami kesulitan dalam mengelola operasionalnya karena pembayaran klaim yang tidak lancar sementara tagihan obat terus meningkat. Adanya biaya paket kesehatan yang ditawarkan oleh BPJS Kesehatan pun dapat membatasi penanganan medis yang diberikan.
Hal tersebut akan memberikan dampak jangka panjang pada risiko kesehatan masyarakat Indonesia, yang mungkin menjadi tidak sesuai dengan visi BPJS Kesehatan, yaitu terwujudnya jaminan kesehatan yang berkualitas tanpa diskriminasi.
Pemerintah terus melakukan upaya dan dukungan untuk mengatasi masalah defisit tersebut. Beberapa langkah strategis telah diambil. Sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 87/2013 jo 84/2015, untuk menjaga Dana Jaminan Sosial tidak defisit, Pemerintah dapat melakukan beberapa tindakan khusus.
Tiga tindakan yang dapat dilakukan Pemerintah yaitu penyesuaian iuran, suntikan APBN serta pengurangan manfaat. Suntikan APBN telah dilakukan. Sedangkan, pengurangan manfaat merupakan pilihan yang sulit. Data dari Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Pemerintah telah melakukan intervensi dengan memberikan Penanaman Modal Negara (PMN) maupun bantuan belanja APBN.
PMN tersebut diberikan sebesar Rp5 triliun pada tahun 2015 dan Rp6,8 triliun pada tahun 2016, serta memberikan bantuan belanja APBN sebesar Rp3,6 triliun pada tahun 2017 dan Rp10,3 triliun pada tahun 2018. PMN dan bantuan belanja APBN tersebut tak dapat menutupi keseluruhan angka defisit, sehingga masih menyisakan defisit yang cukup besar. Tak hanya itu, besaran defisit tersebut diproyeksikan akan terus meningkat dari tahun ke tahun jika tak segera diatasi hingga tuntas.
Pada tahun 2019, defisit tersebut diproyeksikan akan mencapai Rp32 triliun, Rp44 triliun pada tahun 2020, Rp56 triliun pada tahun 2021, dan Rp65 triliun pada tahun 2022. Hal ini mendorong Pemerintah untuk mengeluarkan kebijakan penyesuaian tarif iuran.
Kebijakan tersebut dibahas bersama oleh lembaga-lembaga terkait, termasuk Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Kementerian Kesehatan, Kementerian Keuangan, dan Dewan Jaminan Sosial Nasional, yang kemudian ditetapkan dengan Peraturan Presiden Nomor 75 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan.
Berdasarkan Perpres tersebut, bagi peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI), yang ditanggung oleh Pemerintah Pusat sebesar Rp42.000 yang mulai berlaku 1 Agustus 2019. Sedangkan peserta PBI yang didaftarkan oleh Pemerintah Daerah mendapat bantuan pendanaan dari Pemerintah Pusat sebesar Rp19.000 per orang per bulan, yang berlaku mulai 1 Agustus 2019 hingga 31 Desember 2019.
Bagi peserta Pekerja Penerima Upah (PPU), jumlah iuran adalah 5 persen dari gaji atau upah per bulan dengan batas gaji atau upah per bulan yang digunakan yaitu sebesar Rp12 juta (4 persen dibayar oleh Pemberi Kerja dan 1 persen dibayar oleh peserta). Penyesuaian iuran bagi PPU yang merupakan Pejabat Negara, PNS Pusat, Prajurit, dan Anggota Polri mulai berlaku 1 Oktober 2019.
Sedangkan bagi peserta PPU yang merupakan Kepala dan Wakil Kepala Daerah, Pimpinan dan Anggota DPRD Daerah, PNS Daerah, Kepala Desa, Perangkat Desa, dan pekerja swasta, berlaku mulai 1 Januari 2020. Selanjutnya, bagi peserta Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) atau peserta mandiri, tarif iuran kelas III menjadi Rp42.000, kelas II menjadi Rp110.000, dan kelas I menjadi Rp160.000.
Dalam menetapkan strategi kebijakan tersebut, Pemerintah mempertimbangkan tiga hal utama, yaitu kemampuan peserta dalam membayar iuran (ability to pay), upaya memperbaiki keseluruhan sistem JKN, dan gotong royong antarsegmen kepesertaan. Penyesuaian tarif iuran juga dilakukan demi menjaga keberlangsungan program JKN yang manfaatnya besar bagi bidang kesehatan dan telah dirasakan oleh sebagian besar masyarakat Indonesia.
Strategi penyesuaian tarif iuran ini pun harus dibarengi dengan strategi perbaikan lainnya. Mengacu pada hasil audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), BPJS Kesehatan perlu melaksanakan perbaikan pada aspek kepesertaan dan penerimaan iuran, biaya manfaat jaminan kesehatan, dan strategic purchasing. Tak hanya itu, strategi penyesuaian tarif iuran pun harus dibarengi dengan peningkatan kualitas dan mutu layanan kesehatan bagi masyarakat.
Dengan berbagai strategi perbaikan tersebut, diharapkan bahwa Pemerintah, melalui BPJS Kesehatan, dapat terus memberikan akses layanan kesehatan bagi seluruh lapisan masyarakat Indonesia, dengan mudah dan berkualitas tanpa ada hambatan finansial.
Oleh: Risa Pawestri / Mahasiswa Diploma IV Akuntansi PKN STAN