Badan Pusat Statistik (BPS) pada jumpa persnya mengklaim jumlah penduduk miskin September 2019 di Indonesia sebesar 24,79 juta. Dalam paparannya, BPS juga merilis daftar komoditas makanan dan minuman yang menyumbang angka kemiskinan di Indonesia. Hasilnya, tiga komoditas tertinggi dilihat dari persentasenya yaitu beras, rokok kretek filter, dan telur ayam ras. Ketiganya dianggap berperan signifikan pada puluhan juta penduduk miskin di Indonesia.
Hal yang wajar ketika beras menjadi kontributor teratas pada garis kemiskinan. Mengingat sebagian besar dari masyarakat Indonesia menganut budaya “belum makan kalau belum makan nasi”. Akan tetapi, menjadi ironi ketika komoditas teratas kedua yang berkontribusi pada garis kemiskinan adalah rokok.
Di perkotaan, rokok kretek filter menyumbang sebesar 11,17 persen terhadap garis kemiskinan sementara di pedesaan menyumbang sebesar 10,37 persen. Hal ini senada dengan yang diungkapkan Ahmad pada peluncuran hasil penelitian pusat kajian jaminan sosial Universitas Indonesia, bahwa rokok merupakan kebutuhan kedua setelah beras yang dibeli oleh masyarakat.
Lagu lama keterkaitan rokok dan kemiskinan ternyata belum usai. Harga rokok yang sempat naik dilansir tidak mempengaruhi konsumsi rokok di kalangan menengah ke bawah secara signifikan. Nyatanya, rokok bertahan menjadi penyumbang kemiskinan beberapa tahun terakhir. Data mengejutkan juga pernah dikeluarkan organisasi kesehatan dunia, World Health Organization (WHO), yang mencatat bahwa mayoritas perokok di seluruh dunia berasal dari negara miskin dan berkembang. WHO menyebutkan, terdapat sekitar 1,1 miliar perokok di seluruh dunia pada tahun 2015.
Perlu digaris bawahi, penghitungan kemiskinan yang dilakukan BPS berdasar pada basic need approach. Metode ini menghitung nilai kalori dari setiap komoditas yang dikonsumsi. Kabar buruknya, rokok tidak memiliki nilai kalori atau “nol kalori”.
Hal inilah yang membuat rokok pantas disebut komoditas parasit bagi penduduk miskin. Bagaimana tidak, sejumlah uang yang dikeluarkan oleh penduduk miskin untuk membeli rokok sudah pasti mengurangi jatah uang yang seharusnya bisa mereka keluarkan untuk membeli kebutuhan pokok.
Pencatatan konsumsi penduduk dilakukan melalui Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas). Dari survei tersebut, terdapat informasi mengenai pengeluaran penduduk secara rinci dan menyeluruh. Dari sinilah dapat diketahui bahwa penduduk miskin memilih membelanjakan uangnya untuk membeli rokok, lebih besar dari uang yang digunakan untuk belanja kebutuhan lauk pauk lainnya.
Tergesernya komoditi makanan lauk pauk utama dan tingginya peran rokok dalam menyumbang garis kemiskinan di Indonesia menunjukkan bahwa penduduk miskin yang merokok belum teredukasi dengan baik. Alih-alih mengupayakan makanan dengan gizi yang baik atau menyiapkan biaya pendidikan, penduduk miskin yang merokok masih belum tersadar untuk memperbaiki kondisi kemiskinannya. Bahkan, bahaya rokok bukan tidak mungkin akan mengambil porsi uang mereka untuk berobat di kemudian hari karena penyakit yang bisa ditimbulkan dari komoditas parasit ini.
Alternatif pola pengeluaran bisa dijadikan pilihan untuk penduduk miskin yang merokok dan memiliki keinginan untuk bangkit dari kemiskinannya. Pada Maret 2019, rata-rata pengeluaran per kapita untuk konsumsi rokok sebesar Rp70.537,00.
Sebagai perumpamaan, jumlah tersebut dapat digunakan untuk membeli ikan jenis Bandeng minimal 2 kg sehingga akan menambah 2064,00 kkal. Di alternatif lainnya, sejumlah uang tersebut dapat digunakan untuk membeli kurang lebih 2 kg daging ayam ras sehingga akan menambah 6040,00 kkal. Penghitungan kalori menjadi salah satu penentu sesorang dikatakan miskin atau tidak karena BPS memiliki cutting point sebesar 2100 kkal per kapita per hari. Penduduk dianggap miskin jika tidak bisa mengkonsumsi minimal 2100 kkal per hari.
Selain itu, biaya yang dikeluarkan untuk membeli rokok dapat digunakan untuk menaikkan derajat kesejahteraan keluarganya. Biaya pendidikan yang terencana, fasilitas air bersih yang layak, perumahan layak dan kebutuhan penting lainnya seharusnya menjadi prioritas. Kesadaran penduduk rentan miskin yang merokok menjadi sangat penting karena peluang mereka untuk keluar dari kemiskinan lebih besar dibanding penduduk miskin lainnya. Sayang sekali, kesadaran pentingnya kebutuhan prioritas belum bisa dipahami. Pola konsumsi penduduk miskin yang mementingkan rokok tidak boleh luput dari perhatian. Kondisi ini perlu diperbaiki agar mereka bisa bangkit dari jurang kemiskinan sehingga jumlah penduduk miskin bisa diminimalisir.
Kemiskinan bukanlah persoalan sederhana yang hanya bisa dilihat dari satu dimensi saja. Ketersediaan lapangan pekerjaan dan peran pemerintah memang menjadi penentu terselesaikannya persoalan ini. Akan tetapi, saling menyalahkan antar pihak juga bukan solusi. Kita bisa ambil peran dalam mengentaskan kemiskinan ini, termasuk penduduk miskin itu sendiri.