Jakata masih saja banjir. Daerah rawan banjir lagi-lagi tergenang. Banjir di Monas hingga depan Istana Merdeka yang terjadi pada 24 Januari dan 2 Februari mengingatkan postingan Ridwan Saidi yang viral dan foto-foto terkait banjir di lokasi yang sama tempo dulu. Apakah banjir akibat hujan ekstrim yang dipicu perubahan iklim? Atau masih terkait dengan faktor penyebab banjir tahun baru?
Sang Budayawan Betawi mengatakan, Jakarta memang rumah air sungai, terlihat lewat penyebutan tempat tergenangnya air dengan rawa yang sekarang menjadi kampung-kampung warga bertempat tinggal.
Dalam Hidrologi, kita mengenal istilah floodplain atau bantaran banjir, yaitu lahan dataran di sekitar sungai yang memang biasa tergenang, artinya frekuensi tergenangnya sering dan ini menjadi permasalahan serius di daerah urban tidak hanya di Jakarta namun di kota-kota besar lainnya.
Bila kita cermati, 50 persen wilayah Jakarta berada di bantaran banjir 13 sungai utama yang melintasi Jakarta dan 40 persen berada di bawah permukaan laut saat pasang. Sementara 10 persen merupakan kawasan berbukit di selatan.
Ini menunjukkan bahwa hampir seluruh Jakarta adalah tempat mangkalnya air. Jadi saat hujan lebat dengan durasi lama atau singkat sekalipun namun dengan intensitas melebihi 100 milimeter (mm), sungai-sungai di Jakarta yang berpenampang kecil akan terisi penuh dan meluap hingga ke daratan. Mengapa demikian? Jika kita konversi, 1 mm air hujan yang jatuh di Jakarta dengan luas 662 km persegi akan menghasilkan volume air sebesar 662 juta liter. Bayangkan kalau 100 mm air hujan turun di Jakarta.
Dalam kondisi normal 60 persen hujan di Jakarta mampu ditampung oleh sungai-sungai sementara 40 persen lainnya akan menggenangi daerah floodplain.
Alih fungsi lahan menjadi kawasan hunian di daerah yang sejatinya adalah kampung air tentu saja ikut tergenang. Inilah mengapa foto-foto tempo dulu yang memperlihatkan Jakarta kebanjiran dapat terjadi, termasuk foto ikonik kawasan monas yang terendam air.
Tanah di Jakarta bertekstur liat, artinya air butuh waktu untuk dapat diserap tanah. Upaya mengatasi genangan air, kita membutuhkan saluran agar air dapat mengalir. Bila terjadi dalam skala yang luas yang berdampak banjir, maka air kita alirkan menuju laut. Inilah mengapa pemerintah kolonial Belanda membangun infrastruktur banjir seperti kanal barat dan timur serta berbagai saluran dan sodetan yang berfungsi mengalirkan air dengan cepat menuju laut. Konsep lawas ini akan terus berlaku untuk Jakarta.
Intensnya pembangunan di Jakarta dan kawasan hulu di Bogor mengakibatkan tingginya laju sedimentasi, berdampak mendangkalnya 13 sungai di Jakarta. Belum lagi sampah, terutama sampah plastik yang memenuhi saluran-saluran dan sungai-sungai. Konsekuensinya, saat hujan datang berdurasi singkat saja sudah menggenangi sebagian Jakarta. Untuk ini, upaya normalisasi serta membersihkan sungai dan saluran dari sampah di seluruh pelosok Jakarta menjadi langkah krusial guna mengatasi banjir ibukota.
Pemenuhan kapasitas ruang terbuka hijau (RTH) hingga 30 persen yang berguna untuk menyerap air memang penting, namun kita cermati kembali bahwa 60 persen tanah di Jakarta bertekstur lempung. Jika ingin membangun resapan air, terlebih dahulu kita lakukan kajian wilayah mana yang cocok untuk pengembangan konsep ini.
RTH ini sendiri bermanfaat saat Jakarta mengalami musim kemarau, selain menyediakan air tanah yang cukup, banyaknya pepohonan berkontribusi menyerap polutan-polutan pencemar udara Jakarta. Untuk ini, konsep naturalisasi menjadi penting untuk diterapkan.
Perubahan Iklim
Ada pertanyaan mengapa curah hujan di timur Jakarta sangat tinggi mencapai 377 mm pada 01 Januari 2020. Kawasan ini hingga Bekasi sempat viral dengan julukan Planet di luar Bumi. Salah satu alasannya karena memiliki suhu sangat panas. Ternyata suhu tinggi ini berkorelasi dengan lebatnya hujan yang turun di sini.
Pemicu udara lembab yang berpotensi tumbuhnya awan Cumulonimbus (CB) bersumber dari panasnya permukaan seiring berkurangnya vegetasi kota. Semakin panas semakin tinggi awan CB dan semakin banyak pula air hujan yang tumpah dari langit.
Mengapa dapat timbul suhu panas?, hal ini karena alih fungsi lahan ekstensif menjadi gedung, pusat-pusat perbelanjaan, jalan raya dan tol, bandar udara, proyek double track Manggarai-Bekasi, perumahan dan properti urban lainnya di kawasan ini.
Selain itu, aktifitas lalu lintas dan pabrik industri disertai pelepasan gas-gas rumah kaca juga tinggi di sini. Citra satelit memperlihatkan bahwa daerah penyangga di timur sangat padat karena nilai ekonomisnya sebagai wilayah interkoneksi dengan jalur pantai utara Jawa.
Kondisi inilah yang mengakibatkan hujan lebat turun dan menggenangi hampir seluruh kawasan timur Jakarta. Degradasi lingkungan sungai serta tersumbatnya saluran dan minimnya daerah resapan air memperburuk keadaan.
Apakah telah terjadi perubahan iklim? Jawabnya adalah iya. Hal nyata terlihat dari aktifitas manusia dalam alih fungsi lahan dan emisi kendaraan dan industri yang telah mengganggu siklus air di udara. Akibatnya, suhu yang semakin panas di permukaan mendorong siklus air berputar cepat.
Kondisi ini akan nyata saat memasuki musim pancaroba di bulan Maret hingga Mei dan September hingga awal Desember (saat iklim normal) di mana pemanasan lokal menjadi dominan di musim ini dan siklus air yang berakselerasi menimbulkan potensi banjir di timur Jakarta.
Secara global, perubahan iklim memicu peningkatan panas di seluruh permukaan Bumi, berdampak disrupsi iklim musiman. Pada musim hujan sekarang ini yang diprediksi hingga Maret, daerah konvergensi akibat pertemuan massa udara yang datang dari utara dan selatan, ditandai dengan terbentuknya awan CB akan menguat di selatan Indonesia termasuk Pulau Jawa.
Jakarta yang terkenal dengan suhunya yang panas akan menciptakan daerah bertekanan udara rendah. Karenanya, awan CB akan tertarik menuju Jakarta dan hujan lebat tumpah! Karakteristiknya dapat dilihat melalui hujan yang terjadi di malam hari. Kenapa demikian?, karena suhu malam yang tinggi akibat pelepasan panas dari material urban. Oleh karenanya, warga Jakarta masih harus siaga banjir dan tetap menjaga kebersihan saluran air dan sungai dari sampah.
Mitigasi Perubahan Iklim
Di level Pemerintah Provinsi DKI, normalisasi sungai jalan terus. Untuk mitigasi bencana iklim, hujan lebat yang terus menghantui di musim penghujan dan pancaroba serta polusi udara di musim kemarau dan dampak ekstrim yang ditimbulkannya harus ditangani dengan cara yang ekstrim pula. Selama ini pembangunan situ/waduk serta RTH, sumur resapan merupakan cara konvensional untuk mengantisipasi banjir.
Penulis mengusulkan strategi langsung ke pokok permasalahan. Kalau perubahan iklim diakibatkan oleh tingginya konsentrasi karbon di udara maka karbon inilah yang kita sasar. Ada wacana Indonesia akan memberlakukan pajak karbon dari emisi kendaraan layaknya gagasan kantong plastik berbayar, boleh jadi ini opsi terbaik untuk dipertimbangkan.
Jakarta menjadi pilot projek penerapan pajak karbon oleh Pemerintah Indonesia guna mereduksi disrupsi iklim yang menimbulkan dampak sosial dan kerugian material yang dikabarkan mencapai 20 Triliun.
Pendapatan dari pajak ini digunakan untuk memperkuat infrastruktur banjir, revitalisasi situ/waduk, pengembangan energi terbarukan serta transportasi publik berbasis listrik yang lebih terintegrasi diiringi subsidi dengan harga murah dan menambah ruang-ruang hijau publik. Tentu saja output utamanya: banjir berkurang, udara nyaman dan masyarakat sehat.
Oleh: Dr. Yopi Ilhamsyah / Peneliti Post-Doktoral Klimatologi Terapan Institut Pertanian Bogor