Pandemi COVID-19 yang turut terjadi di Indonesia dewasa ini telah menjadi salah satu alasan Pemerintah untuk menerapkan social distancing (pembatasan sosial) dalam melakukan pencegahan terhadap perluasan pandemi COVID-19. Namun pada realitasnya, imbauan untuk melakukan social distancing ini.
Hal ini tampak pada beberapa acara keagamaan yang mengumpulkan sejumlah massa yang besar tetap digelar di beberapa tempat. Menjadi sebuah catatan yang amat penting bahwa acara keagamaan tersebut terjadi pada situasi kekhawatiran dunia dalam menanggulangi pandemi COVID-19.
Selain itu yang melaksanakan acara-acara keagamaan tersebut adalah pihak-pihak yang mencakup lintas agama. Pada umumnya, alasan untuk menggelarnya adalah karena telah terjadwalnya acara tersebut dalam waktu yang telah lama namun alasan ini begitu amat subjektif apabila dibandingkan dengan prinsip solidaritas yang tertanam pada jati diri bangsa.
Tidak hanya berkenaan dengan penggelaran beberapa acara keagamaan dengan jumlah massa yang besar, beberapa waktu yang lalu tersiar pemberitaan yang mengemukakan bahwa terdapat beberapa pejabat badan usaha milik daerah yang justru berlibur di tengah pandemi COVID-19 dan ke negara yang terinfeksi virus COVID-19.
Alasannya kembali subjektif bahwa hal tersebut adalah hak cuti dari oknum pejabat badan usaha milik daerah tersebut. Selain itu fenomena ‘liburan’ di tengah COVID-19 yang memanfaatkan situasi imbauan Pemerintah untuk beraktivitas di dalam rumah oleh beberapa oknum publik menunjukkan bahwasanya capaian terhadap efisiensi imbauan Pemerintah untuk beraktivitas di dalam rumah belum tercapai secara maksimal.
Apabila menelisik lebih dalam pun, tidak hanya imbauan social distancing yang belum berjalan secara efisien, pembatasan penggunaan angkutan umum yang menjadi imbauan beberapa pemerintah daerah tidak mencapai titik efisiensi maksimal yang menjadi target capaian.
Salah satu faktor yang dapat menyebabkan hal tersebut adalah tidak terdapatnya kebijakan lain yang menjelaskan mengenai alternatif untuk publik dalam menjalankan aktivitasnya. Selain itu melaksanakan kebijakan social distancing harus bersamaan dengan kebijakan Pemerintah untuk memberikan solusi terhadap para pekerja informal maupun pekerja lepas untuk mendapatkan upah harian.
Merajut Sensitivitas Kemanusiaan
Namun yang perlu menjadi sebuah kesadaran bersama adalah sebuah kebijakan Pemerintah dapat berjalan secara efisien apabila publiknya mengikuti dan melaksanakan kebijakan tersebut. Publik pun harus menyadari bahwa dalam menghadapi pandemi COVID-19, Pemerintah tidak dapat hanya berjalan seorang diri melainkan membutuhkan partisipasi publik.
Salah satu faktor dari seorang pemimpin dan sebuah pemerintahan yang kuat adalah berdasarkan tindakan yang dilakukan oleh publiknya. Oleh karena itu sensitivitas kemanusiaan harus kembali terajut dalam menghadapi permasalahan pandemi COVID-19 maupun permasalahan lain yang terjadi pada masyarakat di dewasa ini maupun di masa mendatang.
Merajut sensitivitas kemanusiaan merupakan cara yang paling sederhana untuk melakukan penghargaan kepada sesama. Hal ini menegaskan ungkapan bahwa hidup kita bukanlah milik kita seorang karena setiap orang tidak dapat terlepas dari peranan orang lain.
Sehingga apabila kita melakukan sebuah kebaikan maka sesama di sekitar kita akan turut mengalami buah dari kebaikan tersebut namun apabila kita melakukan hal yang menimbulkan kemudharatan maka tak pelak sesama di sekitarnya akan mendapatkan dampak yang tidak baik atas tindakan tersebut.
Sensitivitas kemanusiaan tersebut berperan untuk menunjukkan bahwa istilah manusia adalah makhluk sosial adalah sebuah keniscayaan. Terlepas dari latar belakang kehidupannya, sebuah masyarakat yang abai terhadap sesamanya akan berdampak pada pengaburan rasa kebersamaan di tengah masyarakat tersebut.
Oleh karena itu meredam kehendak pribadi masing-masing secara setara bagi seluruh elemen masyarakat adalah suatu hal yang mutlak.