Siapa yang mampu menanggung beban dari merebaknya wabah virus corona yang telah menyerang di 203 negara? Sejak pertama kali diumumkan terdapat kasus positif korona di Indonesia oleh Presiden Jokowi pada tanggal 2 Maret 2020, masyarakat mulai merasa khawatir dan cemas.
Kepanikan juga terlihat pada fenomena panic buying atau pembelian barang secara berlebihan yang dilakukan oleh masyarakat karena adanya isu lockdown.
Dampak signifikan betul-betul terasa pada pekerja UMKM hingga beberapa diantaranya harus menutup lapak produksinya lantaran beberapa pasar ditutup sehingga pangsa pasar mereka menurun drastis. Akibatnya, alur kegiatan perekonomian mandek dan dapat memicu terjadinya krisis ekonomi sebagai skenario terburuk.
Tidak hanya pada sektor ekonomi, COVID-19 ini juga secara langsung mempengaruhi dunia pendidikan. Pemberlakuan kebijakan physical distancing yang kemudian menjadi dasar pelaksanaan belajar dari rumah, dengan pemanfaatan teknologi informasi yang berlaku secara tiba-tiba, tidak jarang membuat pendidik dan siswa kaget termasuk orang tua bahkan semua orang yang berada dalam rumah.
Pembelajaran teknologi informasi memang sudah diberlakukan dalam beberapa tahun terakhir dalam sistem pendidikan di Indonesia. Namun, pembelajaran daring yang berlangsung sebagai kejutan dari pandemi COVID-19, membuat kaget hampir di semua lini, dari kabupaten/kota, provinsi, pusat bahkan dunia internasional.
Proses kegiatan belajar mengajar yang semula bisa di ruang-ruang kelas secara tatap muka, kini harus digantikan dengan metode PJJ (Pembelajaran Jarak Jauh) yang memanfaatkan media sosial dan sejumlah aplikasi belajar pada laman internet.
Pembelajaran jarak jauh memang bukanlah hal yang baru dalam dunia pendidikan. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indinesia Nomor 24 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pendidikan Jarak Jauh. Sistem PJJ menjadi bagian yang yang menyatu dalam dunia pendidikan di Indonesia.
Di Indonesia sendiri, selain UT terdapat 6 universitas lain yang menerapkan PJJ diantaranya Universitas Indonesia, Institut Teknologi Bandung, Universitas Gajah Mada, Universitas Teknologi Surabaya, Universitas Binus, dan AMIKOM Yogyakarta (Kompas 2015).
Namun kali ini, PJJ dilakukan sebagai bentuk upaya merespons edaran dari Kemdikbud untuk membuat belajar dari rumah lebih fleksibel. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Ditjen Dikti) mengimbau agar perguruan tinggi dengan otonomi yang dimilikinya dapat memberikan fleksibilitas dalam pelaksanaan pembelajaran jarak jauh di masa darurat COVID-19.
"Diberikan otoritas yg luas kepada Pimpinan Perguruan Tinggi agar dapat mengambil langkah-langkah yang paling tepat dan paling baik yang disesuaikan dengan kondisi daerah masing-masing, maupun kondisi perguruan tinggi masing-masing. Mengingat kondisi tiap daerah dan perguruan tinggi pasti beragam," disampaikan Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi (Plt. Dirjen Pendidikan Tinggi) Nizam di Jakarta dalam pertemuan virtual yang dikoordinasikan oleh Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi (LLDikti) Wilayah I Sumatera Utara, Kamis (02/04).
Kendati demikian, selama proses pembelajaran jarak jauh, beberapa keluhan dari mahasiswa muncul lantaran PJJ ini menjadikan tugas perkuliahan lebih banyak diberikan dari dosen dengan tenggat waktu yang cukup sebentar.
Tidak hanya itu, permasalahan seperti gangguan sinyal, jaringan internet yang belum memadai di daerah tempat tinggal, dan keterbatasan sarana aplikasi belajar sudah seharusnya menjadi perhatian bersama.
Berdasarkan pengalaman penulis, tidak semua dosen menguasai penggunaan teknologi dalam upaya memanfaatkannya sebagai media belajar. Beberapa dosen hanya menggunakan saluran grup telekomunikasi seperti whatsapp dan telegram untuk memberikan bahan ajar yang sudah disiapkan. Mahasiswa dipersilahkan untuk memahami sendiri dan di ujung sesi perkuliahan, akan ada tugas menanti.
Mungkin cara seperti ini bisa diterapkan jika materi yang dipelajari biasanya disampaikan dengan metode ceramah dikelas. Lain halnya jika materi tersebut seharusnya disampaikan dengan cara praktik, simulasi dan melakukan eksperimen. Mahasiswa harus dengan cepat berupaya memahaminya lalu mengaplikasikannya dalam mengerjakan tugas.
Selain itu, sinyal dan jaringan internet bagi mahasiswa kerapkali menghambat koneksi untuk bergabung ke ruang kelas. Keterlambatan menjadi lumrah karena mahasiswa membutuhkan waktu untuk menghubungkan gawainya dengan sambungan internet.
Terlepas daripada itu semua, pembelajaran jarak jauh ini menghadirkan beragam peluang yang bisa disikapi dengan optimisme oleh mahasiswa. Contohnya yaitu dapat meningkatkan wawasan berpikir mahasiswa untuk mendalami lebih giat lagi materi yang sudah diberikan oleh dosen.
Mahasiswa yang aktif dan kritis pasti akan mempelajari lebih lanjut lagi materi perkuliahan yang didapatnya karena akses belajar mampu dijangkau lebih luas lagi.
Kemudian, mahasiswa dan dosen dapat mengatur jam perkuliahan menjadi lebih fleksibel namun tetap tidak mengurangi waktu inti yang seharusnya. Waktu sisa yang tersedia menjadi efektif bagi mahasiswa untuk melakukan kegiatan produktif lainnya dirumah, seperti membantu orang tua melakukan pekerjaan rumah.
Penulis meyakini bahwa dibalik semua fenomena ini menyimpan hikmah dan pelajaran yang bisa diambil. Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) menjadi efektif bila terdapat sinergisitas yang baik antar seluruh elemen pendidikan. Baik itu kemdikbud sebagai pemerintah, guru/dosen sebagai tenaga pendidikan, dan juga peserta didik sebagai objek pendidikan.
Semangat belajar tidak boleh meredup dan harus tetap berkobar agar nilai-nilai moral kependidikan bisa terus diamalkan dalam menjalani metode belajar seperti ini.
Oleh: Afidah Nur Aslamah / Mahasiswi S1 Pendidikan Ekonomi, Universitas Negeri Jakarta