Jika ditanya siapakah teman sejati dalam hidup ini? Jawabannya adalah buku, Ya, buku menjadi salah satu teman paling setia yang bisa dimiliki siapa pun.
Ia tidak menuntut, tidak menghakimi, dan tidak pernah meminta imbalan. Buku hadir di antara bisingnya dunia, namun mereka tetap diam tetapi memberi banyak arti dan makna lewat kata-kata. Ia bisa menjadi pelipur lara, tempat belajar, hingga cerminan diri.
Pemikir dan sastrawan Muslim klasik, Al-Jahiz, pernah mengatakan dengan sangat indah “Buku adalah teman duduk yang tidak akan memujimu berlebihan, sahabat yang tidak akan menipumu, dan teman yang tidak membuatmu bosan.”
Kalimat ini terasa begitu relevan, bahkan hingga kini. Buku tak seperti manusia yang bisa menyimpan pamrih. Buku hadir apa adanya, dan bersedia menemani dalam berbagai keadaan, tanpa protes, tanpa basa-basi.
Bagi mereka yang kesepian, buku bisa menjadi pengisi ruang kosong. Saat dunia nyata terasa menyesakkan, buku menawarkan pelarian yang sehat.
Melalui lembar demi lembar, seseorang bisa menjelajahi dunia baru, memahami perspektif orang lain, atau sekadar merasakan kedamaian dari cerita yang sederhana.
Buku tidak akan menuntut balasan, tidak akan mengejek jika seseorang membaca sangat lambat, atau tidak paham isi paragraf tertentu.
Buku juga tidak pilih-pilih. Ia bersedia duduk di samping siapa pun, anak-anak, orang dewasa, pemula atau bahkan seorang ahli.
Buku tidak memandang status sosial, penampilan, atau latar belakang. Ia hanya ingin dibaca, dipahami, dan dijadikan teman untuk berpikir lebih kritis.
Bahkan saat seseorang tengah berada di titik rendah dalam hidupnya, buku tetap bersedia mendengarkan, dalam diamnya yang penuh akan makna.
Tidak sedikit pula orang yang merasa lebih didengar dan dimengerti oleh buku, dibanding manusia. Buku bisa menjadi tempat bertanya, mencari jawaban, atau bahkan tempat untuk menangis diam-diam.
Selain itu, tak jarang orang yang menemukan buku sebagai obat dari luka emosional. Saat patah hati, misalnya, membaca novel atau puisi bisa memberi ruang untuk menumpahkan rasa sedih dan menata ulang perasaan.
Ketika hidup terasa tak punya arah, buku-buku reflektif atau self-help bisa menjadi pelita kecil yang memberi pengingat bahwa setiap orang berhak merasa tersesat dan tetap bisa menemukan jalan pulang.
Buku tidak menyembuhkan secara instan, tapi ia mendampingi proses pemulihan dengan sabar. Dalam kata-katanya, ada pelukan yang tak terlihat, tapi terasa.
Buku mungkin tidak bisa menyembuhkan secara instan, tapi buku bisa mendampingi proses pemulihan dengan lebih sabar dan memvalidasi perasaan manusia dengan cara yang lembut dan penuh pengertian.
Hebatnya, buku tidak pernah menghakimi sebuah keputusan atau pemikiran siapa pun. Ia hanya memberi perspektif, lalu membiarkan pembacanya mengambil makna tentang permasalahan hidup masing-masing.
Tentu saja, tidak semua buku bisa cocok dengan semua orang. Tapi seperti halnya sahabat sejati, ketika seseorang menemukan buku yang cocok dengannya, maka hubungan itu bisa bertahan seumur hidup.
Buku-buku tertentu bisa dikenang bukan karena isinya saja, tetapi karena momen saat membacanya, seperti di sore hari saat hujan, dalam perjalanan, atau di malam-malam yang penuh dengan keresahan.
Dalam dunia yang penuh tuntutan dan ekspektasi seperti saat ini, buku memberi ruang bagi manusia untuk menjadi dirinya sendiri.
Dan itu mungkin mengapa buku selalu punya tempat istimewa di hati para pembacanya. Ia tidak hanya menyimpan pengetahuan, tapi juga menawarkan kenyamanan.