Sensus Penduduk Online: Big Data di Era Transformasi Digital

Tri Apriyani | ferdinand david aritonang
Sensus Penduduk Online: Big Data di Era Transformasi Digital
Petugas mengamati pergerakan sensus penduduk secara online di ruang kendali eksekutif sensus penduduk Kantor Badan Pusat Statistik (BPS) Jakarta, Senin (17/2). [ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat]

Pandemi corona yang melanda seluruh dunia menyebabkan berbagai aktivitas terhenti. Mulai dari aktivitas di sektor ekonomi, hiburan, pendidikan, dan lain-lain. Dampak dari terhentinya aktivitas tersebut menghasilkan efek domino yang juga berimbas pada sektor lain yang berkaitan secara langsung, tak terkecuali pelaksanaan sensus penduduk 2020.

Pada awal tahun 2020, setidaknya terdapat 54 negara yang akan melaksanakan sensus penduduk, termasuk salah satunya adalah Indonesia. Sensus penduduk 2020 merupakan sensus ke-7 yang pernah dilaksanakan.

Selain itu, sensus ke-7 ini berbeda dari sensus-sensus sebelumnya yang pernah dilaksanakan di Indonesia, adanya pendataan mandiri secara online yang dapat dilakukan oleh setiap penduduk di Indonesia.

Awalnya pelaksanaan sensus penduduk online berlangsung dari tanggal 15 Februari – 31 Maret 2020. Namun, semuanya berubah setelah munculnya kasus corona pertama di Indonesia pada awal Maret 2020.

Kasus tersebut makin bertambah banyak pada pertengahan hingga akhir Maret. Kebijakan pembatasan aktivitas di luar digalakkan oleh pemerintah untuk memutus penyebaran virus corona di tengah masyarakat.

Sebagai respons dari kebijakan pemerintah dalam menangani pandemi corona, BPS sebagai institusi penyelenggara sensus penduduk juga memutuskan untuk memperpanjang pelaksanaan sensus penduduk online hingga 29 Mei 2020. Keputusan tersebut juga berdampak terhadap mundurnya pelaksanaan sensus penduduk wawancara yang semula dijadwalkan 1-31 Juli menjadi 1-30 September 2020.

Di beberapa negara lain, pelaksanaan sensus penduduk juga mengalami beberapa penyesuaian, seperti misalnya negara Panama yang menghentikan pelaksanaan sensus penduduk di tahun 2020, kemudian Arab Saudi yang menghentikan sementara pelaksanaan sensus penduduk hingga waktu yang belum ditentukan dan Amerika Serikat yang memperpanjang masa pendataan sensus penduduk hingga Oktober 2020.

Berdasarkan hasil pengisian sensus penduduk online, hingga 24 April 2020, terdapat lebih dari 40,4 juta penduduk telah berpartisipasi. Jika dibandingkan dengan proyeksi jumlah penduduk Indonesia di tahun 2020, maka setidaknya 15 persen penduduk Indonesia telah berpartisipasi untuk memperbaharui data kependudukannya.

Berkaca dari data yang dihasilkan oleh Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), terdapat kurang lebih 171,17 juta penduduk Indonesia yang telah menggunakan internet atau sebesar 64,8 persen dari jumlah penduduk. Hal ini mengindikasikan bahwa potensi penduduk yang seharusnya dapat memperbaharui datanya di sensus penduduk 2020 sangat besar.

Kendati demikian, pemikiran penduduk Indonesia saat ini boleh jadi sedang terpecah antara harus melengkapi administrasi kependudukannya atau mencari pekerjaan dan usaha yang dapat membantu keberlangsungan hidupnya di tengah krisis pandemi corona.

Kesadaran penduduk Indonesia untuk tertib administrasi mungkin masih rendah. Tertib administrasi yang dimaksud berupa pelaporan adanya kelahiran, kematian, pernikahan, perceraian dan lain-lain. Ketersediaan data-data tersebut merupakan informasi fundamental yang dibutuhkan oleh negara untuk mengetahui karakteristik penduduk di suatu wilayah, sehingga kebijakan yang tepat sasaran dapat berdampak bagi kesejahteraan penduduknya.

Data-data tersebut merupakan statistik vital yang harus tersedia secara real time. Hingga saat ini, pencatatan fenomena demografi tersebut masih dilaksanakan secara tradisional seperti pencatatan seederhana di dalam komputer, bahkan di beberapa remote area pencatatan masih menggunakan buku.

Pencatatan yang terpisah-pisah baik antar wilayah ataupun instansi menimbulkan pluralisme data, padahal yang ingin dihasilkan harusnya satu data.

Sensus penduduk 2020 berusaha untuk menyatukan berbagai versi data menjadi satu data kependudukan dengan mengkombinasikan data dasar dari Dinas Pencatatan Sipil (Dukcapil) dengan pembaharuan data yang diisi langsung oleh penduduk yang bersangkutan. Namun, dalam pelaksanaannya, tidak berjalan semulus dengan yang diharapkan akibat rendahnya partisipasi penduduk.

Lantas bagaimana solusi ke depannya?

Ke depannya, penggunaan teknologi digital menjadi syarat wajib di dalam pelaksanaan berbagai pendataan di Indonesia. Dengan adanya teknologi digital, data-data yang dihasilkan dapat lebih cepat, akurat, dan tepat.

Selain pemanfaatan teknologi digital, juga perlu adanya transformasi digital. Transformasi digital yang dimaksud berupa perubahan paradigma di dalam mengumpulkan, memproses dan menghasilkan data. Salah satu bentuk transformasi digital yang sedang gencar-gencarnya adalah big data analytic.

Beberapa negara maju telah memanfaatkan analisis big data dalam bidang kesehatan, keuangan, sosial, dan pemerintahan. Pemanfaatan big data dapat menghimpun data dalam jumlah yang sangat besar dan dalam waktu yang singkat. Data yang sangat besar tersebut dapat menjadi unit analisis secara real time bagi pembuat kebijakan di dalam menyelesaikan suatu permasalahan.

Salah satu contoh pemanfaatan big data di bidang kesehatan seperti yang dilakukan negara Korea Selatan dalam pencegahan penyebaharan virus corona.

Pemerintah memonitoring setiap pergerakan penduduknya melalui telpon seluler. Mobilitas penduduk yang terekam di dalam ponsel tersebut, dapat memberikan sinyal bagi pemilik ponsel apakah dia sedang berada di wilayah yang terkena pandemi atau tidak sehingga dapat lebih meningkatkan kehati-hatian penduduk tersebut dalam melaksanakan aktivitasnya di luar.

Melalui pemanfaatan big data tersebut pemerintah Korea Selatan dapat menekan penyebaran dan kasus kematian yang disebabkan oleh virus corona.

Di dalam bidang pemerintahan, WHO (World Health Organization) juga memanfaatkan penggunaan big data untuk menghasilkan data-data statistik fundamental, yaitu melalui CRVS (Civil Registration and Vital Statitics). Setiap harinya penduduk dapat melaporkan adanya kematian, kelahiran, pernikahan, perceraian, dan kematian anak sehingga dapat menghasilkan data demografi dasar secara real time.

Berdasarkan data yang diperoleh WHO, saat ini hampir 10 juta anak yang baru dilahirkan tidak tercatat dan dua pertiga kematian belum dilaporkan. Belum adanya sistem terintegrasi untuk menyatukan berbagai data tersebut menyebabkan kebijakan yang dihasilkan menjadi tidak efektif.

Indonesia sebagai negara dengan jumlah populasi terbesar ke-4 di dunia dengan jumlah pulau mencapai 17.000, sudah harus mulai beralih memanfaatkan big data dalam berbagai sektor. Dengan karakteristik wilayah yang berbeda-beda antar pulau bahkan antar provinsi, pemanfaatan teknologi big data menjadi instrumen untuk menghasilkan kebijakan tepat sasaran.

Pemanfaatan big data merupakan wujud nyata dari adanya Perpres Nomor 39 Tahun 2019 tentang satu data Indonesia. Namun, pemerintah juga perlu menyiapkan berbagai peraturan untuk tetap menjaga privasi dan kerahasiaan data setiap penduduknya. Ke depan, data yang komprehensif akan menjadi sumber utama dalam menyelesaikan setiap polemik permasalahan ekonomi, sosial, budaya dan kependudukan untuk menuju Indonesia unggul.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak