Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) hingga hari ini masih menjadi pembahasan strategis oleh masyarakat Indonesia. Bukan hanya karena merupakan penyakit yang sangat menular, namun juga penyebarannya yang sangat cepat.
Berdasarkan data dari gugus tugas percepatan penanganan COVID-19 sampai tanggal 11 Mei 2020 menunjukkan kasus positif mecapai 14.265 orang, sembuh 2.881 orang, dan meninggal 991 orang. Data tersebut menunjukkan adanya eskalasi kasus positif COVID-19. Tentunya sebagai masyarakat yang prihatin akan pandemi ini, merasa waswas dan rela tinggal di rumah demi menghindari risiko terpapar virus tersebut.
Seiring dengan perkembangan COVID-19 di negeri insulinde ini, Pemerintah baik pusat maupun daerah telah menyiapkan segelintir strategi untuk mencegah potensi penyebaran COVID-19 baik dari tingkat perkotaan hingga pedesaan. Sebagaimana yang dipahami bahwa pandemi COVID-19 sudah memasuki daerah-daerah yang awalnya dianggap bersih dari virus tersebut kini mulai terdampak.
Seperti halnya Kabupaten Bantaeng yang menjadi salah satu kabupaten di Provinsi Sulawesi Selatan yang awalnya dianggap clear dari COVID-19 juga baru-baru ini diberitakan telah memiliki satu pasien positif COVID-19. Seperti yang dilansir oleh Tribun Banteng (6/5/2020), bahwa pasien pertama COVID-19 di Bantaeng merupakan seorang santri yang baru pulang dari Magetan, Jawa Timur.
Bantaeng sendiri dikenal sebagai kabupaten yang sangat ketat dalam penanganan COVID-19. Tetapi dengan adanya fakta tersebut menunjukkan bahwa bahkan seketat apapun pencegahan COVID-19 masih ada potensi terjadi kecolongan, apatah lagi jika sama sekali tidak memiliki keketatan dalam penanganannya.
Menyikapi pandemi COVID-19 tersebut Pemerintah telah menerbitkan segudang kebijakan yang menurut hemat penulis belum efektif dalam menangani COVID-19 dan bahkan cenderung dalam penerapannya tidak sesuai dengan ketentuan yang seharusnya.
Sebagaimana diketahui bersama Pemerintah Republik Indonesia telah menerbitkan Peraturan Pemerintah Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19).
PP tersebut dimaksudkan sebagai aturan pelaksana dari Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan (UU Kekarantinaan Kesehatan) yang memuat ketentuan mengenai Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).
Sebelumnya Pemerintah menyatakan telah terjadi kedaruratan kesehatan masyarakat melalui Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 2020 tentang Penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) yang juga dibarengi dengan diterbitkannya Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2020 tentang Penetapan Bencana Nonalam Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) Sebagai Bencana Nasional.
Kedua Kepres tersebut merupakan produk hukum yang memiliki kedudukukan yang sama. Akan tetapi jika dilihat dari keduanya itu terdapat suatu dikotomi, disatu sisi Kepres tentang Kedaruratan Kesehatan merujuk pada UU Kekarantinaan Kesehatan, di lain sisi Kepres tentang Bencana Nonalam Penyebaran COVID-19 merujuk pada Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana.
Jika menilik asas lex posterior derogat legi priori yang berarti hukum yang baru mengenyampingkan hukum yang lama, maka secara sederhana yang berlaku adalah Kepres tentang Bencana Nonalam Penyebaran COVID-19 dan tentu pelaksana tugasnya adalah Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Walaupun demikian masih terjadi kebingungan di masyarakat bahwa yang terjadi darurat kesehatan masyarakat ataukah bencana nonalam?
Sebagai pelaksana teknis dari Peraturan Pemerintah tentang PSBB, Kementerian Kesehatan juga telah menerbitkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 9 Tahun 2020 tentang Pedoman Pembatasan Berskala Besar dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19).
Peraturan Menteri tersebut secara sederhana mengatur mengenai teknis pelaksanaan PSBB bagi daerah yang telah memenuhi syarat untuk melakukan PSBB. Syarat PSBB diatur dalam Pasal 2 Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 9 Tahun 2020 tentang Pedoman Pembatasan Berskala Besar dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) yang berbunyi bahwa untuk dapat ditetapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar, suatu wilayah provinsi/kabupaten/kota harus memenuhi kriteria yakni jumlah kasus dan/atau jumlah kematian akibat penyakit meningkat dan menyebar secara signifikan dan cepat ke beberapa wilayah, dan terdapat kaitan epidemiologis dengan kejadian serupa di wilayah atau negara lain.
Beberapa daerah di Indonesia telah menerapkan PSBB sebagai wujud kekarantinaan kesehatan dalam situasi kedaruratan kesehatan masyarakat. Langkah itu diambil tentunya dengan niatan yang baik oleh Pemerintah. Dan tujuan utamanya adalah agar Pandemi COVID-19 segera berakhir. Namun, setiap kebijakan akan berlaku dengan baik jika diterapkan dengan tepat guna.
Karena tujuan dari suatu hukum atau kebijakan adalah demi kepentingan publik sebagaimana asas hukum solus publica suprema lex (kepentingan masyarakat di atas segala-galanya, termasuk di atas undang-undang).
Sebagai salah satu kota yang terdampak COVID-19 dengan perkembangan dan peningkatan kasus yang signifikan, Pemerintah Kota Makassar telah mengajukan permohonan untuk melakukan PSBB dan telah disetujui oleh Menteri Kesehatan.
Hal ini tertuang dalam Surat Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor HK.01.07/MENKES/257/2020 tentang Penetapan Pembatasan Sosial Berskala Besar di Wilayah Kota Makassar Provinsi Sulawesi Selatan dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19).
PSBB di Kota Makassar dilaksanakan sejak 24 April 2020 dan berakhir pada 7 Mei 2020. PSBB Kota Makassar disetujui setelah data menunjukkan terjadinya peningkatan kasus positif COVID-19 hingga 23 April 2020 yakni terdapat 397 orang terinfeksi COVID-19.
Setelah dilakukannnya PSBB di Makassar, data menunjukkan hingga Rabu 6 Mei 2020 kasus baru di Makassar masih terdapat peningkatan yakni mencapai 421 kasus (Sumber: infocorona.makassar.go.id, 6 Mei 2020). Jika dilihat dari data sebelum dan sesudah PSBB, maka dapat disimpulkan masih terjadi peningkatan kasus COVID-19 yang cukup signifikan di Kota Makassar.
Wilayah lain yang juga telah menerapkan PSBB yaitu Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan. Hal tersebut termaktub dalam Keputusan Menteri Kesehatan Nomor HK.01.07/MENKES/273/2020 tentang Penetapan Pembatasan Sosial Berskala Besar di Wilayah Kabupaten Gowa Provinsi Selatan dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19). Pemerintah Kabupaten Gowa resmi menerapkan PSBB pada Selasa 5 Mei 2020.
Seperti yang diketahui bersama, Gowa menjadi salah kabupaten yang mengalami peningkatan kasus COVID-19 yang signifikan. Data positif corona di Kabupaten Gowa per tanggal 22 April 2020 menunjukkan angka sebanyak 25 orang, orang dalam pemantauan 314 orang dan pasien dalam pengawasan 139 orang (Sumber: https://mediaindonesia.com/, 23 April 2020).
Terdapat hal yang sangat kontroversial dalam penerapan PSBB di Kabutepen Gowa, yaitu penutupan akses jalan dari dan menuju Gowa. Sudah banyak netizen yang membagikan di media sosial terkait fenomena penutupan jalan tersebut dan dianggap itu sebagai lockdown atau karantina wilayah bukan lagi PSBB (Sumber: https://sulsel.idntimes.com/, 4 Mei 2020).
Hal ini tentunya mengundang pro kontra, sebab konsepsi PSBB adalah membatasi pergerakan masyarakat, membatasi jarak fisik dan membatasi penumpang transportasi umum maupun pribadi.
Berdasarkan Pasal 1 Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 9 Tahun 2020 tentang Pedoman Pembatasan Berskala Besar dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) termuat ketentuan bahwa PSBB adalah pembatasan kegiatan tertentu penduduk dalam suatu wilayah yang diduga terinfeksi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) sedemikian rupa untuk mencegah kemungkinan penyebaran Corona Virus Disease 2019 (COVID-19).
Lebih lanjut pada Pasal 13 ayat (1) Peraturan Menteri tersebut diuraikan bahwa pelaksanaan PSBB meliputi peliburan sekolah dan tempat kerja, pembatasan kegiatan keagamaan, pembatasan kegiatan di tempat atau fasilitas umum, pembatasan kegiatan sosial dan budaya, pembatasan moda transportasi, dan pembatasan kegiatan lainnya khusus terkait aspek pertahanan dan kemanan.
Dari ketentuan tersebut, secara expressis verbis dijelaskan bahwa PSBB secara prinsipiel hanya mengatur mengenai pembatasan kegiatan masyarakat dengan beberapa pengecualian. Terkait pengecualian transportasi umum dan pribadi diatur dalam Pasal 13 ayat (10) Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 9 Tahun 2020 tentang Pedoman Pembatasan Berskala Besar dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) bahwa pembatasan moda transportasi dikecualikan untuk moda transpotasi penumpang baik umum atau pribadi dengan memperhatikan jumlah penumpang
dan menjaga jarak antar penumpang, dan moda transpotasi barang dengan memperhatikan pemenuhan kebutuhan dasar penduduk. Sehingga jelas dalam PSBB tidak ada pelarangan lintas kabupaten atau kota.
Berbeda halnya dengan Karantina Wilayah atau lockdown, maka setiap pergerakan masyarakat sangat dibatasi sedemikian rupa. Sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 1 angka (10) UU Kekarantinaan Kesehatan bahwa yang dimaksud dengan Karantina Wilayah adalah pembatasan penduduk dalam suatu wilayah termasuk wilayah pintu masuk beserta isinya yang diduga terinfeksi penyakit dan/atau terkontaminasi sedemikian rupa untuk mencegah kemungkinan penyebaran penyakit atau kontaminasi.
Adapun yang harus dilakukan ketika diterapkan Karantina Wilayah adalah setiap masyarakat yang dikarantina tidak boleh keluar masuk wilayah karantina (Vide: Pasal 54 ayat (3) UU Kekarantinaan Kesehatan). Inilah yang membedakan antara Karantina Wilayah (lockdown) dengan PSBB. Hal tersebut patut dipahami oleh setiap aparat penegak hukum agar tidak terjadi disorientasi dari penegakan hukum yang telah diatur sedemikian rupa.
Karena hukum akan menjadi penyembuh penyakit ketika fungsi hukum yakni law as a tool of sosial engineering (hukum sebagai alat rekayasa sosial) dilaksanakan secara komprehensif dan tepat sasaran. Sebagaimana dalam sebuah postulat hukum lex semper dabit remedium/ the law always give a remedy (hukum selalu memberi obat).
Ketika PSBB diterapkan maka hak dan kewajiban warga negara tetap berlaku. Di mana masyarakat berhak untuk mencari sumber kebutuhan sehari-harinya. Sebab, PSBB tidak melarang masyarakat untuk mencari sumber bahan pokok. Dan hal-hal yang urgen lainnya. Yang menjadi larangan adalah ketika melakukan kegiatan untuk berkumpul-kumpul layaknya tidak terjadi sebuah wabah.
Sehingga jika aparat penegak hukum melakukan tindakan penutupan akses jalan, itu berarti terjadi penerapan hukum yang keliru. Kecuali, jika Pemerintah berbalik arah untuk menerapkan Karantina Wilayah, maka hal tersebut dapat saja dilakukan, dengan konsekuensi seluruhk kebutuhan pokok masyarakat ditanggung oleh Pemerintah.
Sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 55 ayat (1) UU Kekarantinaan Kesehatan bahwa selama dalam Karantina Wilayah, kebutuhan hidup dasar orang dan makanan hewan ternak yang berada di wilayah karantina menjadi tanggung jawab Pemerintah Pusat. Pelaksanaan ketentuan tersebut juga melibatkan Pemerintah Daerah selaku pelaksana tugas Pemerintah Pusat di daerah terdampak.
Kita mengharapkan, agar kiranya Pemerintah dan aparat penegak hukum dapat berlaku adil serta mengedepankan nilai kepastian hukum. Karena dalam hal kepastian hukum tersirat sebuah harapan bahwa masyarakat harus diperlakukan dengan cara adil sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Jika yang diambil adalah kebijakan PSBB maka laksanakanlah ketentuan yang bersesuaian dengan hal itu.
Jangan sampai terjadi perlakuan yang sifatnya di luar dari ketentuan yang ada. Sebagaimana yang dikatakan oleh Satjipto Rahardjo, bahwa hukum untuk manusia, bukan manusia untuk hukum. Suatu hukum hanya akan bermanfaat jika mengedepankan nilai-nilai kepastian dan keadilan.
Keberpihakan kepada masyarakat adalah perwujudannya. Kita boleh panik, namun jangan bebal dalam penerapan kebijakan. Sebab yang harus diperjuangkan adalah keselamatan masyarakat Indonesia dari sabang hingga merauke. Intinya, melindungi diri sendiri adalah sebuah hak, namun melindungi sesama manusia adalah kewajiban moral. To render to each man what is his due (memberikan kepada setiap orang apa yang semestinya).
Oleh: M. Aris Munandar, SH. / Mahasiswa Program Magister Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Hasanuddin dan Penulis Buku