Iklim Politik dan Ambiguitas Masa Pandemi

Tri Apriyani | adam radiatama
Iklim Politik dan Ambiguitas Masa Pandemi
Ilustrasi politik

"Manusia adalah binatang politik," ungkap Aristoteles dalam beberapa karangannya dalam bidang politik. Manusia tidak bisa dinafikan dalam kehidupan berpolitik meskipun dalam situasi seperti saat ini, politik tetap saja ikut andil dalam berbagai proses kehidupan masyarakat tidak memandang situasi epidemi ataukah pandemi, tetap saja ada aktor politik yang bermain ditengah pandemi.

Pandemi dengan krisis sudah menjadi hubungan kausal yang saling mempengaruhi satu sama lain, pandemi sebagai independen variabel dan krisis sebagai dependen variable, atau singkatnya pandemi menjadi sebab dari krisis nasional, dalam bidang ekonomi, sosial, bahkan politik.

Masyarakat pada saat ini sangat menaruh harapan besar kepada pemerintahan yang sedang berlangsung, jika pada masa kampanye para aktor politik selalu mencari kesempatan dengan berbagai skenarionya dalam meraih legitimasi masyarakat, maka inilah saat yang tepat bagi aktor politik khususnya di dalam pemerintahan untuk mendapatkan citra politik yang baik di tengah masyarakat yang kemudian meningkatkan legitimasi masyarakat dan tingkat elektabilitas mereka.

Samuel Huntington dalam bukunya Gelombang Demokrtisasi Ketiga menyebutkan bahwa krisis ekonomi adalah salah satu indikator dalam gelombang demokratisasi, gelombang demokratisasi menurutnya terbagi menjadi tiga. Pertama, gelombang demokratisasi sebagai protes terhadap kekuasaan absolut dari gereja gereja atau pemerintahan kolonial.

Kedua, demokratisasi sebagai protes terhadap otoritarianisme militer dan kediktatoran perorangan, dan ketiga adalah demokratisaasi yang ditimbulkan karena faktor kemajuan ekonomi atau krisis.

Ketika kemajuan ekonomi suatu negara semakin melesat, maka terbangunlah kekuatan kekuatan kaum menengah yang cenderung mendukung liberalisasi karena ketidakpuasan mereka terhadap pemerintah yang terlalu mengekang kebebasan individu mereka.

Sedangkan krisis yang ditimbulkan oleh rezim rezim otoriter ataupun demokratis cenderung akan menimbulkan respons masyarakat kelas menengah dan kelas bawah untuk melakukan reformasi, entah itu rezim otoriter yang dilanda krisis sehingga digantikan oleh rezim demokratis ataupun sebaliknya, sebagai contoh dalam konteks ini adalah reformasi 1998.

Dalam kaitannya dengan gelombang demokratisasi, pandemi ini telah menjadi sebab terjadinya krisis ekonomi yang secara kasat mata dapat kita lihat sekarang ini. Maka dari teori yang dikemukakan Huntington krisis yang ditimbulkan oleh pandemi ini akan mendorong kepada gelombang demokratisasi.

Tetapi lain halnya jika pemerintah yang berkuasa saat ini dapat mengatasi permasalahan krisis ini dengan baik, sudah tentu hal tersebut akan menjadi harga jual dalam kampanye politik di kemudian hari karena legitimasi masyarakat terhadap kinerja pemerintah saat ini.

Sebaliknya jika krisis krisis yang di timbulkan oleh wabah ini mencapai puncaknya sehingga pemerintah kwalahan dalam mengatasi krisis ini, sudah tentu hal tersebut menurunkan legitimasi masyarakat terhadap kinerja pemerintah yang saat ini berkuasa.

Terjadi ambivalensi antara kebijakan pemerintah pada masa pandemi dengan perilaku masyarakat dalam mencegah pandemi. Mengapa ambivalensi? Di satu sisi Pemerintah berusaha menakan angka penyebaran pandemi dengan kebijakan kebijakan seperti PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) tetapi di sisi lain pemerintah menyelundupkan maksud dan kepentingan tertentu dengan mengesahkan Undang Undang Minerba yang sejak awal rancangannya menimbulkan kontroversi, serta pengesahan kenaikan BPJS sebagai pemalakan negara terhadap rakyat kecil.

Di pihak lain, yaitu masyarakat yang sedang berjuang bersama melawan pandemi, masih saja ada pihak yang kurang memahami langkah langkah efektif melawan pandemi ini. Di sisi lain masih saja ada pihak yang menyulut api perpecahan antara umat beragama dengan pemerintah.

Sebagai contoh kebijakan pemerintah untuk tidak mengadakan kegiatan sholat berjamaah, dipolitisir oleh sebagian pihak dengan mengklaim bahwa pemerintah lebih takut dengan wabah daripada dengan Allah. Sehingga terjadi suatu makna yang ambigu antara menghadapi pandemi atau menghadapi lawan politik?.

Pandemi melatih rational choice masyarakat. Rational choice atau pilihan rasional menjadi salah satu ukuran dalam menentukan tingkat demokrasi suatu negara, kejadian pandemi yang menimbulkan banyak ambiguitas, serta upaya upaya politisasi agama seperti yang disebutkan sebelumnya dalam kebijakan pemerintah tentang sholat berjamaah di tengah pandemi yang dipolitisir oleh sebagian pihak.

Dalam praktiknya hal tersebut tidak berpengaruh bagi masyarakat untuk membenci rezim penguasa dengan dalih dalih tersebut, simplenya masyarakat terlatih untuk menjadi pemilih rasional dengan melihat obyektifitas faktual daripada keyakinan subyektif.

Maka diharapkan dalam praktik parktik demokratis masyarakat yang berpartisispasi menjadi pemilih yang rasional dengan melihat kinerja dan kebutuhan untuk kebaikan bersama bukan hanya melihat dari sisi subyektifitas keyakinan tanpa kinerja sehingga tidak sesuai dengan apa yang dibutuhkan.    

Oleh: Adam Radiatama

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak