Hukum militer dari suatu negara merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sistem hukum yang berlaku di suatu negara termasuk juga Indonesia, keberadaan peradilan militer di Indonesia tidak terlepas dari sistem hukum pidana yang berlaku pada masa kolonial Belanda. Hingga saat ini wetboek militair van strafrect masih berlaku sebagai hukum pidana materil terhadap subjek hukum militer.
Reformasi internal Tentara Nasional Indonesia (TNI), pada tahun 2004 dengan diterbitkannya Keputusan Presiden Nomor 56 Tahun 2004 tentang Pengalihan Organisasi, Administrasi, dan Finansial Pengadilan Dalam Lingkungan Peradilan Militer dari Markas Besar Tentara Nasional Indonesia Ke Mahkamah Agung, peradilan militer yang sebelumnya berada di bawah Badan Pembinaan Hukum Tentara Nasional Indonesia (Babinkum TNI) dengan lahirnya Kepres tersebut berada dibawah lingkup Mahkamah Agung.
Pengalihan tersebut merupakan implementasi dari pelaksanaan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman dan dimuat kembali dalam Pasal 25 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman serta Pasal 24 Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang mengatur badan peradilan di bawah Mahkamah Agung meliputi Lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer, dan Peradilan Tata Usaha Negara.
Pelaksanaan kebijakan satu atap (one Roof system) pada sistem peradilan di Indonesia sayangnya belum dapat terwujud dalam sistem kebijakan dan pengendalian penuntutan tindak pidana. Undang-Undang Nomor 31 tahun 1997 Tentang Peradilan Militer berusaha membangun relasi fungsional antar subsistem secara terintegrasi.
Dalam penjelasan Pasal 57 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 tahun 1997 Tentang Peradilan Militer mengatur Oditur Jenderal TNI dalam melaksanakan tugas di bidang teknis penuntutan bertanggung jawab kepada Jaksa Agung Republik Indonesia melalui Panglima, penjelasan dalam pasal tersebut memiliki titik singgung dengan penjelasan Pasal 18 Undang-Undang Nomor 16 tahun 2004 Tentang Kejaksaan yang menyebutkan Jaksa Agung adalah juga pimpinan dan penanggung jawab tertinggi dalam bidang penuntutan.
Kedua penjelasan yang berfungsi sebagai tafsir resmi pembentuk Peraturan Perundang-undangan atas norma dalam undang-undang tersebut secara yuridis normatif mempertegas kedudukan Jaksa Agung sebagai pimpinan tertinggi yang memimpin dan mengendalikan kebijakan penuntutan di seluruh tanah air, implementasi dari kedua penjelasan tersebut dapat mewujudkan kesatuan penuntutan (De Een Ondeelbaarheid Van Het Parket) dalam pelaksanaan penuntutan sipil dan militer yang masih berjalan terpisah hingga saat ini.
Wujud konkret dari kesatuan penuntutan (De Een Ondeelbaarheid Van Het Parket) yakni terbentuknya Struktur Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Militer (Jampidmil) pada Kejaksaan Agung Republik Indonesia yang dapat menjembatani kebutuhan penuntutan pidana subjek hukum sipil maupun subjek hukum militer.
Urgensi Koneksitas
Suatu perbuatan pidana yang dilakukan oleh militer secara bersama-sama dengan masyarakat sipil sebagaimana dalam ketentuan Pasal 89 Ayat (1) KUHAP, yang berbunyi: "...tindak pidana yang dilakukan bersama-sama oleh mereka yang termasuk dalam lingkungan peradilan umum dan lingkungan peradilan militer...”.
Secara prinsip pemeriksaan dan peradilan perkara koneksitas akan diperiksa dan diadili di lingkungan peradilan umum. Namun dalam realitasnya banyak perkara tindak pidana yang dilakukan oleh prajurit TNI aktif, yang tidak hanya melanggar KUHP Militer, melainkan juga melanggar hukum pidana umum ataupun secara bersamaan dengan subjek hukum sipil melanggar beberapa peraturan perundang-undangan (concursus idealis).
Penanganan perkara yang tidak melalui koneksitas dapat menyebabkan disparitas penanganan perkara dan tidak sahnya proses penanganan, selain itu tidak adanya koordinasi teknis antara Jaksa dan Oditur Militer berimplikasi terhadap subjek hukum perkara koneksitas yang dilakukan bersama-sama oleh anggota militer dengan warga sipil.
Perbedaan kebijakan penuntutan terhadap suatu tindak pidana yang dilakukan oleh subjek hukum militer dan subjek hukum sipil dapat memunculkan gugatan kepada negara oleh mereka yang merasa terdiskriminasi, karena suatu tindak pidana yang dilakukan secara bersama-sama pada waktu dan tempat yang sama namun diproses dengan kebijakan penuntutan yang berbeda.
Mekanisme penanganan perkara yang dilakukan oleh subjek hukum militer secara bersama-sama dengan subjek hukum sipil juga diatur dalam penanganan tindak pidana korupsi sebagaimana dalam Pasal 39 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyebutkan Jaksa Agung mengkoordinasikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntut tindak pidana korupsi, yang dilakukan bersama-sama oleh orang yang tunduk pada peradilan umum dan peradilan militer.
Berdasarkan catatan penulis hingga saat ini hanya ada sedikit penanganan tindak pidana korupsi yang melalui penanganan perkara secara koneksitas antara lain Putusan Pidana Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. 2478 / Pid.B / KON / 2006 / PN.Jak.Sel. tanggal 01 Mei 2007 yakni Kasus korupsi Tabungan Wajib Perumahan Prajurit (TWPP) yang merugikan keuangan negara sebesar Rp100 Milyar.
Penanganan perkara dengan model yang sama hingga saat ini belum dapat terlaksana karena penanganan perkara masih dilakukan secara terpisah karena tidak melalui lembaga koneksitas dan tetap diadili secara terpisah, salah satunya perkara yang pernah ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yakni perkara Perkara Korupsi Pengadaan Helikopter Augusta Westland 101 (AW-101) Tahun Anggaran 2016 pada TNI AU yang hingga saat dengan berbagai factor masih sulit untuk menyelesaikan pekara tersebut.
Hambatan Regulasi
Relasi antara Jaksa dan Oditur Militer secara ideal harusnya dapat diwujudkan dalam bentuk struktur Jaksa Agung Muda Pidana Militer (Jampidmil) pada Kejaksaan Agung Republik Indonesia sebagai unsur pembantu pimpinan yang dimungkinkan secara struktur akan diisi oleh Jaksa dan Oditur Militer.
Namun penempatan Oditur Militer yang juga prajurit aktif TNI pada Kejaksaan Republik Indonesia mendapat hambatan dan tantangan dalam hukum positif, salah satunya Pasal 47 ayat (2) Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia yang mengatur secara limitatif penempatan TNI aktif hanya pada 10 Kementerian/Lembaga/Institusi Pemerintahan yang mana Kejaksaan Republik Indonesia tidak termasuk dalam 10 Kementerian/Lembaga/Institusi Pemerintahan tersebut.
Realitasnya Kementerian/Lembaga/Institusi Pemerintahan dengan menggunakan pendekatan tugas pokok dan fungsi serta penguatan kelembagaan banyak memberikan ruang pada prajurit aktif untuk menduduki jabatan pada Kementerian/Lembaga/Institusi Pemerintahan di luar 10 Kementerian/Lembaga/Institusi Pemerintahan yang diatur dalam pasal 47 ayat (2) UU TNI.
Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) salah satunya dengan mengingat gerakan dan aksi terorisme yang saat ini terjadi tidak hanya merupakan persoalan pelanggaran hukum positif, tapi juga telah menjadi persoalan sosial yang mengancam ideologi dan kedaulatan negara, keutuhan wilayah, dan keselamatan segenap bangsa, selanjutnya dalam catatan penulis masih terdapat beberapa Kementerian/Lembaga/Institusi Pemerintahan antar lain Badan Keamanan Laut RI (Bakamla), Badan Penanggulangan Nasional Bencana (BNPB), Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman, dan Kantor Staf Presiden.
Asas Proprio Motu
Penempatan prajurit aktif untuk menduduki jabatan pada Kementerian/Lembaga/Institusi Pemerintahan sering kali dibenturkan dengan Dwi Fungsi TNI sebelum reformasi, belum lagi penempatan Oditur Militer sebagai prajurit aktif di Kejaksaan Republik Indonesia diasumsikan akan menghambat penuntasan perkara Ham (Hak Asasi Manusia) berat yang ditangani oleh Kejaksaan Republik Indonesia.
Statuta Roma sebagai perjanjian internasional yang mengatur penegakan hukum atas kejahatan HAM berat di dunia internasional menganut asas Proprio Motu, asas ini memberikan kewenangan yang luas terhadap Jaksa Penuntut Umum dalam penanganan perkara pelanggaran HAM Berat, telah diatur secara tegas dan jelas dalam ketentuan Pasal 15 Statuta Roma.
Dalam hal ini, Jaksa/ Penuntut Umum dapat melakukan penyelidikan atas insiatif sendiri berdasarkan informasi ataupun data-data akan adanya dugaan terjadinya pelanggaran HAM berat. Jika Penerapan asas Prorio Motu dapat dilaksanakan secara baik dan komprehensif dalam penanganan perkara HAM berat di Indonesia, penempatan Oditur Militer di Kejaksaan Republik Indonesia tidak akan akan dapat dikaitkan dengan isu tersebut.
Jaksa Agung Muda Pidana Militer
Relasi fungsional antara Jaksa dan Oditur Militer yang mengintegrasikan kebijakan penuntutan harus diimplementasikan dalam struktur kelembagaan Jaksa Agung Muda Pidana Militer sebagai unsur pembantu pimpinan yakni Jaksa Agung yang pada hakikatnya merupakan mandat konstitusional untuk mewujudkan kesatuan kebijakan penuntutan sebagai marwah penegakan hukum.
Penempatan Oditur Militer pada Kejaksaan RI yang menghadapi tantangan regulatif, sehingga perlu dikaji baik untuk penguatan kelembagaan, tugas pokok dan fungsi, sampai pada pendekatan kompetensi dan keahlian, karena relasi fungsional antara Jaksa dan Oditur Militer tidak hanya sekadar integrasi kebijakan penuntutan namun merupakan sebuah kebutuhan dalam mewujudkan penegakan hukum yang mencerminkan kepastian, keadilan dan kemanfaatan.