Kerap Berselisih dengan Istana, Inilah Gaya Anies Tangani Covid-19 di DKI

Tri Apriyani | siti amalia
Kerap Berselisih dengan Istana, Inilah Gaya Anies Tangani Covid-19 di DKI
Anies Baswedan Gubernur DKI Jakarta di Balai Kota, Jakarta Pusat. (Dok. Pemprov. DKI)

Pandemi Covid-19 hingga kini masih menjadi persoalan utama di berbagai negara, tak terkecuali Indonesia. Sejak awal ditemukannya kasus positif Covid-19 di Indonesia pada tanggal 2 Maret 2020, setiap harinya kasus positif tersebut terus meningkat dengan jumlah yang signifikan.

Berdasarkan data Kemenkes RI, tercatat pada tanggal 10 Juni 2020, kasus positif di Indonesia mencapai 34.316 kasus dan menjadikan Indonesia sebagai negara dengan kasus positif Covid-19 terbanyak di Asia Tenggara. Dari total jumlah tersebut, Jakarta menjadi provinsi dengan penyumbang kasus positif terbanyak di Indonesia, dengan jumlah kasus positif sebanyak 8.355 orang.

Anies Baswedan selaku Gubernur DKI Jakarta telah mengeluarkan berbagai tindakan dan kebijakan guna menangani hal tersebut. Namun, pada pelaksanaannya, kebijakan yang dikeluarkan oleh Anies kerap kali bertentangan dengan kebijakan pemerintah pusat.

Merujuk pada hasil wawancaranya dengan media Australia, The Sidney Morning Herald yang bertajuk ‘Not allowed to do testing: governor says Jakarta was tracking Covid-19 cases in January’, Anies mengklaim bahwa sejak 6 Januari atau kurang lebih satu bulan sebelum ditemukannya kasus positif di Indonesia, Jakarta sudah memulai untuk melakukan pemantauan kasus positif dengan melakukan pertemuan dengan beberapa rumah sakit guna membahas mengenai ‘Pneumonia Wuhan’ sebelum dinyatakan sebagai Covid-19 dan melakukan pengecekan massal.

Namun, upaya tersebut terganjal oleh restu dari istana yang saat itu masih menyatakan bahwa Indonesia tidak memiliki kasus positif. Menanggapi hal tersebut, Anies mengaku frustasi dengan sikap pemerintah pusat atau dalam hal ini Kemenkes yang dinilai tidak transparan mengenai data yang dimiliki dan lamban dalam penanganannya.

Selanjutnya, setelah Indonesia mengumumkan adanya kasus positif pertama di Indonesia pada tanggal 2 Maret 2020, pemerintah pusat dan kepala daerah menyiapkan berbagai strategi guna menangani adanya penyebaran kasus Covid-19.

Di Jakarta, tindakan yang Anies lakukan pada saat itu adalah dengan menerbitkan kebijakan lockdown guna menekan angka penyebaran. Namun lagi-lagi pemerintah pusat tidak menghiraukan kebijakan tersebut karena dinilai dapat menyebabkan kepanikan publik dan justru menerbitkan kebijakan baru mengenai Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang dimuat dalam PP Nomor 21/2020 dan Keppres Nomor 11/2020 tentang Penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat.

Menanggapi hal tersebut, kemudian Anies menetapkan status PSBB DKI Jakarta pada tanggal 10 April dan diperpanjang hingga tanggal 22 Mei 2020 (katadata.co.id, 2020).

Sepanjang dilakukannya PSBB, kebijakan-kebijakan lain turut diterbitkan guna mendukung keefektifannya. Kebijakan-kebijakan tersebut yaitu aturan mengenai adanya Surat Izin Keluar Masuk (SIKM) bagi yang akan masuk atau keluar dari Jakarta, kebijakan belajar di rumah, hingga pembatasan pada kegiatan keagamaan.

Dampak dari adanya PSBB tersebut yaitu menurunnya kasus positif di DKI Jakarta tiga hari berturut-turut, meskipun dengan jumlah yang tidak signifikan. Penurunan kasus tersebut yaitu terjadi pada 1 Mei sebanyak 4.695 kasus atau turun 51 kasus dari hari sebelumnya, kemudian pada 2 Mei menjadi 4.624 kasus positif dan menurun kembali menjadi sebanyak 4.514 kasus pada 3 Mei 2020 (cnbcindonesia.com, 2020)

Belum reda kasus positif di DKI Jakarta, baru-baru ini pemerintah pusat sudah mulai menyuarakan akan adanya new normal atau tatanan normal baru yang diterapkan guna mengatasi adanya resesi ekonomi. Guna menanggapi adanya wacana pemerintah pusat guna melakukan normal baru, alih-alih menerbitkan kebijakan new normal Anies justru mengeluarkan kebijakan yang agak berbeda dengan pemerintah pusat, yaitu menerapkan kebijakan PSBB transisi pada tanggal 5 Juni 2020.

Dilansir melalui Liputan6.com, hal tersebut dilakukan Anies karena menurutnya kata normal baru belum familiar bagi masyarakat dan kata “transisi’ digunakan karena menurutnya mengandung arti bahwa Covid-19 masih ada dan belum berakhir.

Pada kebijakan ini, telah terjadi pelonggaran aktivitas ekonomi, namun tetap ada batasan yang harus dipatuhi serta masih terdapat sanksi bagi pelanggarnya

Namun demikian, baru empat hari diterapkan, kasus positif di DKI Jakarta kembali mengalami lonjakan tajam pada tanggal 9 Juni yaitu sebanyak 239 kasus atau kurang lebih tiga kali lipat dari tanggal 5 Juni yang sebanyak 61 kasus. Melihat hal tersebut, sebaiknya sebelum menerapkan kebijakan, Anies harus mempertimbangkan dengan matang.

Namun, pada dasarnya, kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh Anies sudah cukup tepat, karena pada saat ini masih diperlukan pembatasan guna mengurangi penyebaran Covid-19, hanya saja perlu kesadaran masyarakat untuk mematuhi segala aturan yang diberlakukan.

Oleh karena itu, pemerintah harus lebih jauh mengedukasi masyarakat mengenai pentingnya penerapan protokol kesehatan dalam keseharian.

Berdasarkan berbagai kebijakan yang telah dikeluarkan tersebut, merujuk pada gaya kepemimpinan yang dikemukakan Robbins and Judge (2018), kepemimpinan yang dimiliki oleh Anies Baswedan termasuk dalam gaya kepemimpinan karismatik karena keberaniannya dalam pengambilan keputusan, adanya visi yang jelas, dan menyukai adanya tantangan serta perubahan terkait dengan adanya Covid-19 di DKI Jakarta.

Kemudian, meskipun kerap bersitegang dan berbeda pandangan dengan pemerintah pusat, Anies tetap bersikap demokratis dalam hal pengambilan keputusan yang dibuktikan dengan adanya pertimbangan persetujuan pemerintah pusat terlebih dahulu sebelum menerapkan suatu kebijakan untuk daerahnya dan menimbang masukkan dari berbagai pihak termasuk akademisi.

Selain itu, kekuasaan yang dimiliki Anies dalam menangani Covid-19 juga didasari atas legitimasi yang didapatkan karena adanya wewenang formal dari pekerjaannya sebagai seorang gubernur.

Selanjutnya, perbedaan-perbedaan yang terjadi antara Anies dengan pihak istana tersebut membuktikan kurangnya koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah.

Oleh karena itu, sebagai negara penganut desentralisasi, komunikasi yang efektif sangat dibutuhkan guna mengurangi adanya perselisihan da menciptakan kesepahaman, sehingga publik tidak merasa kebingungan akan mematuhi peraturan dari pusat atau dari daerahnya sendiri.

Adanya kesepahaman antara pusat dan daerah juga menyebabkan pencapaian tujuan dapat dengan mudah tercapai, khususnya dalam menangani Covid-19 di Indonesia.  

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak