Review Film Sound of Falling: Horor Empat Zaman di Rumah Tua

Hikmawan Firdaus | Athar Farha
Review Film Sound of Falling: Horor Empat Zaman di Rumah Tua
Poster Film Sound of Falling (IMDb)

Ada rumah tua yang diam membatu di tengah ladang sepi, berdiri nggak berubah dari generasi ke generasi. Dan waktu seakan-akan nggak terasa di sana, bak mengendap, lalu menunggu untuk meledak dalam ingatan seseorang. 

Seperti itulah nuansa Film Sound of Falling besutan Sutradara Mascha Schilinski, yang ditayangkan perdana di Cannes Film Festival 2025. Ini merupakan film kontemplatif yang menyelami luka-luka terdalam Jerman dalam rentang satu abad, dengan balutan atmosfer suram, simbolisme yang gelap, dan trauma yang diwariskan turun-temurun.

Film ini aslinya berjudul In Die Sonne Schauen, yang berarti ‘Menatap Matahari’. Eits, jangan salah sangka, ya. Matahari di sini bukan cahaya hangat yang menenangkan, melainkan sorotan menyilaukan yang memaksa penonton melihat kebenaran. Dan di dunia ‘Sound of Falling’, kebenaran itu nggak manis, tapi pahit, menyakitkan, dan seringkali berselimut mitos serta diam-diam diwariskan sebagai kutukan keluarga.

Menarik, kan? Yuk, kepoin lebih dalam lagi!

Sinopsis Film Sound of Falling 

Struktur naratif film ini seperti mosaik waktu. Empat babak berbeda, semuanya berlangsung di satu tempat yang sama, yakni peternakan di Saxony-Anhalt, Jerman timur laut. Dalam empat garis waktu yang terbentang dari Perang Dunia I hingga era Jerman modern, Sobat Yoursay akan diajak mengenal karakter-karakter yang saling berkaitan, bukan hanya lewat darah, tapi juga lewat trauma dan kenangan. 

Di awal abad ke-20, Fritz (Filip Schnack), pemuda yang kehilangan kakinya akibat kecelakaan kerja. Dia dirawat Trudi (Luzia Oppermann), pembantu rumah tangga yang memikul beban kekejaman. Namun, narasi lebih menyoroti karakter Alma, gadis kecil yang menyerap semua keganjilan rumah itu dengan wajah polos, memperhatikan ritual foto kematian, bayang-bayang sejarah kelam, dan foto misterius seseorang yang mirip dirinya.

Melompat ke masa berikutnya, ada Erika (Lea Drinda), remaja yang mulai terobsesi pada Fritz (pamannya). Ya, Fritz kini lebih tua (Martin Rother). Ada nuansa gelap dan erotis dalam ketertarikannya, sekaligus keinginan aneh untuk menjadi seperti sang paman. Ini adalah fase di mana keluarga mulai terlihat benar-benar retak secara psikologis.

Lalu, di zaman Jerman Timur, kisah berpindah ke Angelika (Lena Urzendowsky), remaja yang bekerja di peternakan dan mengalami pelecehan dari pamannya sendiri, Uwe (Konstantin Lindhorst). Sepupunya, Rainer, yang juga diam-diam menyukainya, menambah rumit kondisi mental Angelika. 

Di era paling modern, pasca reunifikasi Jerman, ada Lenka (Laeni Geiseler), gadis muda yang menjalin persahabatan dengan Kaya (Ninel Geiger), anak perempuan penuh misteri yang baru kehilangan ibunya. Di sinilah semua benang mulai terasa terhubung, meskipun nggak secara eksplisit. Ada teka-teki, ada gema masa lalu, dan tentu saja, ada sungai. Sungai yang mengalir dari masa ke masa, tempat mereka berenang dan menjadi batas antara dunia mereka dan dunia lain.

Review Film Sound of Falling 

Jelas film ini bukan drama keluarga biasa. Sound of Falling terass sunyi, lambat, tapi penuh desahan ketakutan. Kamera bergerak pelan, seperti arwah yang mengambang di lorong-lorong rumah tua. Soundtrack-nya terasa mengganggu dan kayak menggerutu di latar yang memunculkan kegelisahan. Setiap adegan seolah-olah dihantui sesuatu yang nggak terlihat. 

Film Sound of Falling justru menakutkan karena keheningannya. Ya, film ini nggak banjir jumpscare, melainkan meresap pelan-pelan (slowburn), seperti kelembapan pada dinding yang perlahan menumbuhkan jamur.

Apa sebenarnya yang diwariskan dalam keluarga dalam film ini? Apakah sekadar tanah, foto lama, dan kisah masa kecil? Atau ada semacam ‘gen hantu’ yang hidup dalam ingatan, dalam mimpi, dalam cara mereka memperlakukan satu sama lain? Film ini nggak ngasih jawaban pasti. 

Lewat satu lokasi yang sama, empat zaman, dan satu garis keturunan, film ini menulis ulang sejarah Jerman. Bukan dengan catatan, tapi dengan tangisan yang nggak benar-benar terdengar. Bagiku, ini keren tapi belum tentu kamu sanggup nonton sampai akhir. 

Skor: 3,9/5

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak