Pilkada 2020: Polemik dan Kritik Kepemimpinan

Tri Apriyani | riezky purnama e. p
Pilkada 2020: Polemik dan Kritik Kepemimpinan
Ilustrasi Pilkada 2020

Penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak 2020 di 270 daerah kerap kali mengundang kritik dari berbagai pihak. Rangkaiannya yang diselenggarakan di tengah Pandemi Covid-19 dinilai terlalu dipaksakan dan minim pertimbangan terhadap beberapa hal, seperti jaminan kesehatan masyarakat, anggaran yang kurang memadai, serta potensi politisasi bantuan sosial (bansos) Covid-19.

Feri Amsari selaku Direktur Pusat Studi Konstitusi (PuSaKo) Fakultas Hukum Universitas Andalas menyampaikan, sulit untuk membayangkan bagaimana berjalannya Pilkada tahun ini mengingat kondisi Covid-19 di Indonesia masih belum mereda.

Oleh sebab itu, Feri Amsari beserta pemerhati Pemilu lain menuntut penundaan Pilkada hingga tahun 2021. Sejumlah tokoh masyarakat dalam Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pilkada Sehat juga ikut mendorong penundaan Pilkada 2020 melalui petisi di situs change.org.

Sebanyak 51,2 persen dari total 1.200 responden dalam survei yang dilaksanakan oleh Lembaga Survei Roda Tiga Konsultan turut menyatakan perlunya penundaan Pilkada 2020. 

Meski dihujani tuntutan, pemerintah tetap bersikeras untuk mengadakan Pilkada pada tanggal 9 Desember 2020. Komisi Pemilihan Umum (KPU) menyatakan bahwa tidak memungkinkan lagi untuk melakukan penundaan jadwal, sehingga rangkaian tahapannya dimulai kembali pada tanggal 15 Juni 2020.

Pemerintah menambahkan bahwa negara lain seperti Korea Selatan dan Perancis juga tetap melaksanakan agenda Pilkadanya meski dilanda Pandemi Covid-19.

Padahal, guna mengoptimalkan agenda demokrasi tersebut, pemerintah sebagai pemimpin visioner sudah sepatutnya bersikap partisipatif dalam mengambil keputusan secara efektif. Yukl dalam bukunya yang berjudul “Leadership in Organizations” menjelaskan, sebagai hal signifikan dalam memperoleh mufakat yang konkret pada kepemimpinan partisipatif, seorang pemimpin perlu mendorong serta menciptakan keterlibatan masyarakat.

Namun, dilansir dari Tirto.id, Ikhsan Maulana selaku koordinator harian Konstitusi dan Demokrasi (Kode) Inisiatif menyampaikan, pemaksaan penyelenggaraan yang berpotensi meminimalisir kesadaran masyarakat terhadap Pilkada 2020 mampu menurunkan partisipasi masyarakat dalam pengawasan. Terlebih lagi, kritik dan pendapat masyarakat yang disalurkan melalui berbagai kanal saat ini terasa diabaikan.

Bagaimana kesehatan warga dijamin?

Kurva Covid-19 di Indonesia saat ini belum kunjung mencapai pelandaian, malah dikabarkan masih menuju ke titik puncak. Oleh karena itu, pemerintah tengah merencanakan Peraturan KPU (PKPU) yang mengatur mengenai mekanisme penyelenggaraan Pilkada 2020 dengan memperhatikan aspek keselamatan pada setiap tahapnya.

Persoalan penyelenggaraan Pilkada 2020 juga disampaikan sudah disepakati bersama Kemenkes dan Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19.

Meski demikian, pelaksanaan Pilkada 2020 yang dipaksakan dikhawatirkan malah memicu gelombang kedua Pandemi Covid-19.

Kekhawatiran ini disampaikan oleh Wakil Ketua DPD RI, Sultan Bakhtiar Najamudin, saat ini garda terdepan pandemi yang sudah memenuhi aturan mengenai APD saja masih dapat terpapar. Pilkada 2020 yang akan mendatangkan sejumlah masyarakat tentunya memiliki potensi untuk menimbulkan klaster-klaster baru Covid-19.

Pendapat yang sama juga dilontarkan oleh dr Corona Rintawan, menurutnya saat ini kesehatan masyarakat yang seharusnya menjadi prioritas utama malah dikalahkan dengan agenda politik yang berpotensi menimbulkan kasus baru Covid-19.

Apabila ingin dibandingkan dengan negara lain, maka perlu dilakukan asesmen terhadap karakteristik wilayahnya terlebih dahulu. Misalnya, Korea Selatan yang juga hendak menyelenggarakan Pilkada, sebelumnya mereka sudah berhasil menurunkan angka penyebaran Covid-19. 

Demi memperoleh keputusan yang efektif, Yukl (2013) menjelaskan mengenai beberapa determinan penentu, seperti: komitmen pada tujuan dan strategi tugas, kondisi eksternal, sumber daya dan dukungan politik, kepercayaan dan kekompakan kerja sama, serta collective efficacy and potency.

Menilik sikap kepemimpinan pemerintah saat ini, determinan-determinan tersebut seakan tidak dihiraukan. Pemerintah sebagai wakil masyarakat seyogianya berkomitmen terhadap prinsip mengedepankan kepentingan publik. Namun, jaminan kesehatan warga seolah tersisihkan oleh kegiatan politik, sebagaimana disampaikan oleh dr Corona Rintawan.

Selain itu, hujan kritik yang dilontarkan mencerminkan keraguan masyarakat terhadap kemampuan pemerintah dalam mementingkan kesejahteraan mereka pada penyelenggaraan Pilkada 2020.

Padahal, kondisi eksternal dan kepercayaan masyarakat merupakan hal esensial dalam menyukseskan penyelenggaraan Pilkada 2020, sebab agenda ini tentunya membutuhkan sumber daya serta dukungan politik upaya membentuk kerja sama yang baik.

Apa kabar anggaran Pilkada 2020?

Bertambahnya keperluan Pilkada 2020 akibat pemenuhan protokol kesehatan dan penanganan penyebaran Covid-19, dikhawatirkan tidak dapat diimbangi dengan ketersediaan dana yang memadai.

Dilaporkan oleh Kemendagri, terdapat 204 daerah yang memiliki keterbatasan APBD sehingga dana Pilkada mereka perlu ditangani oleh APBN. Contohnya, APBD Kalimantan Selatan saat ini banyak disedot untuk percepatan penanganan Covid-19, sehingga anggaran Pilkada 2020 di Kalimantan Selatan terancam tidak terpenuhi. 

Sehubungan dengan hal tersebut, Komisi II DPR bersama Mendagri, KPU, DKPP dan Bawaslu RI menggelar rapat kerja tertutup mengenai revisi anggaran Pilkada 2020. Hasilnya, penambahan anggaran Pilkada 2020 melalui APBN telah disepakati dengan menyesuaikan terlebih dahulu kapasitas APBD setiap daerah.

Dilansir dari Liputan6.com, Sri Mulyani selaku Menteri Keuangan telah menyetujui permintaan KPU akan penambahan anggaran Pilkada sebesar Rp 4.77 triliun.

Peneliti dari Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Fadli Ramadhanil, mempertanyakan urgensi diadakannya pembahasan revisi anggaran Pilkada 2020 melalui rapat tertutup; padahal umumnya rapat-rapat DPR dapat diawasi secara daring.

Kritik lain dilontarkan oleh Veri Junaedi selaku Ketua Kode Inisiatif, dengan anggaran yang kurang memadai tidak realistis bagi pemerintah untuk memaksakan penyelenggaraan Pilkada 2020 di tengah pandemi. 

Upaya menghadapi dinamika perubahan lingkungan layaknya Pandemi Covid-19, pemerintah sebagai pemimpin yang visioner tentunya membutuhkan suatu visi yang memiliki hubungan erat dengan masa mendatang dan berbagai kemungkinannya.

Menurut Yukl (2010), seorang pemimpin dalam mengembangkan visi memerlukan diantaranya keterlibatan stakeholder penting, identifikasi terhadap sasaran strategis dengan persetujuan yang luas, serta identifikasi terhadap elemen yang relevan.

Masyarakat sebagai tombak demokrasi di Indonesia sudah sepantasnya diberikan lapak untuk menyuarakan aspirasinya, terutama terkait agenda yang mengutamakan partisipasi mereka.

Walaupun demikian, urgensi pendapat serta partisipasi masyarakat terhadap pengawasan perencanaan Pilkada 2020, salah satunya mengenai persoalan anggaran, terasa tidak di rekognisi oleh pemerintah. Oleh karena itu, penyampaian visi pemerintah kini tidak tersampaikan secara efektif.

Membuka pintu bagi politisasi bansos Covid-19

Dilansir dari Merdeka.com, Titi Anggraini selaku Direktur Eksekutif Perludem, menjelaskan bahwa Pilkada 2020 memiliki banyak celah untuk melakukan kecurangan, salah satunya adalah politisasi bansos Covid-19.

Menteri Sosial, Juliari P Batubara, mengafirmasi maraknya kejadian ini di lapangan; politisasi dilakukan dengan beberapa modus, seperti kemasan bansos yang dilabeli gambar calon kepala daerah atau jargon kampanye mereka.

Bahkan sejak bulan Mei lalu, Bawaslu telah menemukan sejumlah kasus politisasi bansos Covid-19 oleh calon kepala daerah di 23 Kabupaten/Kota. 

Menurut analis politik dari Exposit Strategic, Arif Susanto, kampanye melalui politisasi bansos merupakan tindakan yang tidak etis serta mencerminkan rendahnya kualitas calon kepala daerah petahana.

Ia menyampaikan, perlu dilakukan beberapa hal; pemerintah pusat menegaskan kembali kepada calon kepala daerah untuk tidak melakukan politisasi bansos, pemberitahuan oleh Bawaslu mengenai sanksi sosial atas politisasi bansos, dan penerbitan PKPU perlu disegerakan. 

Berdasarkan bentuk partisipasi dalam pengambilan keputusan menurut Yukl (2013), pemerintah tengah menerapkan bentuk yang otokratik.

Meski disampaikan oleh Wakil Ketua Komisi II DPR, Saan Mustopa, bahwa kritik dan saran masyarakat terhadap penyelenggaraan Pilkada 2020 akan menjadi catatan DPR untuk pemerintah, keputusan yang ditentukan oleh pemerintah saat ini terkesan mutlak. Oleh karena itu, masyarakat seolah tidak berdaya dalam mempengaruhi secara langsung keputusan yang telah ditetapkan.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak