Menyoal Urgensi Pilkada di Tengah Pandemi

Tri Apriyani | indah dahriana yasin
Menyoal Urgensi Pilkada di Tengah Pandemi
Ilustrasi Pilkada. [Shutterstock]

Pelaksanaan pemilihan kepala daerah (Pilkada) akan dilaksanakan pada bulan Desember yang akan datang. Pilkada kali ini tentu akan berbeda dari pilkada-pilkada sebelumnya. Pasalnya pilkada tahun ini akan diselenggarakan di tengah merebaknya Covid-19. Bahkan tingkat penyebaran virus ini terus meningkat.

Jika melihat tingkat penyebaran virus yang tak kunjung melandai. Maka sudah sewajarnya jika pilkada tahun ini ditunda. Sebab, bisa menyebabkan munculnya klaster-klaster baru. Bahkan bisa menjadi bom waktu yang melipatgandakan kasus penyebaran virus Covid-19.

Banyak kalangan yang mengusulkan agar pilkada tahun ini ditunda. Apalagi jika merujuk kepada lampiran Undang-undang Republik Indonesia Nomor Nomor 6 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota Menjadi Undang-Undang, ketentuan Pasal 120 diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut:

Dalam hal pada sebagian wilayah pemilihan, seluruh wilayah pemilihan, sebagian besar daerah, atau seluruh daerah terjadi kerusuhan, gangguan keamanan, bencana alam, bencana non alam, atau gangguan lainnya yang mengakibatkan sebagian tahapan penyelenggaraan pemilihan atau pemilihan serengak tidak dapat dilaksanakan, dilakukan pemilihan lanjutan atau pemilihan serentak lanjutan. Kompas.com, 13/9/2020

Keputusan yang Dipaksakan

Menko Polhukam Mahfud Md menilai penundaan Pilkada 2020 sulit diwujudkan karena berbagai alasan. Menurut Mahfud, usulan soal Pilkada Serentak kembali ditunda sulit diwujudkan karena perubahan UU membutuhkan waktu. Selain itu, Mahfud menyebut penundaan Pilkada Serentak pada 9 Desember 2020 nanti bisa mengakibatkan munculnya banyak pejabat pelaksana tugas (Plt) di beberapa pemerintahan daerah. MakassarTerkini.id, 13/9/2020

Begitu pentingkah pilkada ini dilaksanakan sementara negara sedang berada dalam kondisi merebaknya wabah Covid-19? Meskipun dengan adanya kebijakan new normal di mana aktivitas masyarakat kembali berjalan. Namun korban masih terus berjatuhan, bahkan tidak menunjukkan adanya penurunan.

Selain masih tingginya angka penyebaran virus, penyelenggaraan pilkada tahun ini sungguh tak berperikemanusiaan. Pasalnya, penyelenggaraan pilkada tentu akan memerlukan biaya yang besar. Sementara negara saat ini membutuhkan dana yang besar pula untuk melakukan pemulihan di semua lini. Khususnya bagi yang terdampak wabah Covid-19 seperti tingginya angka pengangguran akibat ‘tsunami’ PHK,  biaya pendidikan berbasis daring, kurangnya fasilitas kesehatan dan sebagainya.

Lantas, mengapa pilkada di tengah pandemi ini terkesan dipaksakan? Dengan melihat kondisi tingkat penyebaran virus yang belum melandai bahkan cenderung meningkat. Padahal melaksanakan pemungutan suara ditengah Pandemi Covid-19 tentu juga harus mempertimbangkan risiko yang mungkin akan dihadapi.

Terutama masalah keamanan dan keselamatan petugas dan pemilih dari ancaman penularan Covid-19. Hal ini dikarenakan beberapa tahapan penting Pilkada memungkinkan menimbulkan kerumunan massa.

Darurat Kepemimpinan

Dalam Perpu Nomor 2 Tahun 2020 tersebut sangat jelas bahwa salah satu alasan yang menguatkan dilanjutkannya pelaksanaan Pilkada 2020 adalah agar tak banyak kekosongan jabatan. Karena saat posisi kepala daerah diisi oleh pelaksana tugas kepala daerah, bukan hanya legitimasi tak kuat dalam menjalankan roda pemerintahan, tapi juga lemah dalam eksekusi kebijakan penanganan Cocid-19 di daerahnya masing-masing.

Mungkin alasan tersebut tepat. Namun masyarakat saat ini tidaklah darurat ‘pemimpin’ tapi darurat kepemimpinan. Dalam KBBI disebutkan pemimpin adalah orang yang memimpin sedangkan kepemimpinan adalah perihal memimpin; cara memimpin. Menjadi seorang pemimpin adalah mudah, cukup punya massa banyak serta didukung oleh dana yang besar. Namun belum tentu pandai soal kepemimpinan.

Melihat penanganan wabah Covid-19 ini, dengan kebijakan-kabijakan yang tidak berpihak kepada rakyat dimana rakyat saat ini berada dalam kondisi dilematis. Mau tinggal di rumah tapi tidak bisa makan atau keluar rumah dengan ancaman terserang virus. Belum lagi rasa tidak aman dengan informasi-informasi seputar penyebaran virus yang tidak benar. Banyaknya angka pengangguran yang bertolak belakang dengan masuknya Tenaga Kerja Asing dari China, meningkatnya kemiskinan serta masih banyak masalah lain. Terlihat sangat jelas bahwa rakyat membutuhkan kepemimpinan yang baik dan benar, bukan hanya sosok seorang pemimpin.

Berbicara tentang kepemimpinan, Islam sebagai aturan hidup yang sempurna tentulah sangat tepat dijadikan acuan. Dalam Islam, kepemimpinan tidak hanya dimaknai kekuasaan, tetapi juga bermakna tanggungjawab.

Ketika kepemimpinan dimaknai sebagai kekuasaan, Allah SWT. mengingatkan kita dalam surat Ali Imran ayat 26 bahwa hakikat kekuasaan itu adalah milik Allah SWT. Allah SWT yang memberi kekuasaan kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah pula yang mencabut kekuasaan dari siapapun yang dikehendaki-Nya.

Kepemimpinan bukan berarti keistimewaan, tapi ia adalah tanggung jawab. Bukan fasilitas tetapi pengorbanan. Bukan leha-leha, tetapi kerja keras. Juga bukan kesewenang-wenangan bertindak, tetapi kesewenangan melayani. Selanjutnya kepemimpinan adalah keteladanan berbuat dan kepeloporan bertindak.

Substansi kepemimpinan dalam perspektif Islam merupakan sebuah amanat yang harus diberikan kepada orang yang benar-benar “ahli”, berkualitas dan memiliki tanggung jawab yang jelas dan benar serta adil, jujur dan bermoral baik. Inilah beberapa kriteria yang Islam tawarkan dalam memilih seorang pemimpin yang sejatinya dapat membawa masyarakat kepada kehidupan yang lebih baik, harmonis, dinamis, makmur, sejahtera dan tentram Wallahu a’lam bisshawab.

Oleh: Indah Ummu Izzah (Pemerhati sosial)

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak