Tulisan Seorang Apatis: Tentang Keseimbangan Reaksi Terhadap Masalah

Tri Apriyani | billie adrian
Tulisan Seorang Apatis: Tentang Keseimbangan Reaksi Terhadap Masalah
Ilustrasi apatis / apatisme (mercatornet.com)

Peradaban telah membawa kita menuju masa depan yang lebih baik dimana terdapat kemudahan mendapatkan akses informasi dan komunikasi. Kini, Kita tidak perlu bersusah payah berlangganan koran ataupun majalah untuk mendapatkan informasi. Masyarakat hanya perlu menggunakan smartphone mereka untuk mendapatkan semua informasi yang mereka inginkan.

Kemudahan dan kepraktisan ditambah dengan akses internet yang memadai dalam waktu 24 jam nonstop membuat informasi mudah tersebar ke masyarakat. Hal ini membuat beberapa orang melihat ini sebagai suatu kesempatan bagi mereka untuk memberikan informasi ke masyarakat yang dikemas dengan cara mereka sendiri.

Mereka dapat membuat konten-konten edukatif yang dapat mencerdaskan masyarakat. Akan tetapi, tidak sedikit juga beberapa oknum yang melihat ini sebagai suatu kesempatan untuk memanipulasi banyak orang menggunakan konten mereka sebagai suatu cara untuk mendapatkan keuntungan melalui emosi pembaca atau penonton.

Reaksi Manusia Terhadap Konten Manipulasi

Di dalam buku James W. Williams —seorang penulis terlaris yang berasal dari Amerika Serikat— yang berjudul Dark Psychology, dia menuturkan bahwa manipulasi berarti mengontrol atau memengaruhi orang dengan cerdik dan tidak bermoral yang merupakan bagian dari sifat manusia dan dilakukan dengan alasan tertentu si manipulator.

Dalam hal konten, manipulasi merupakan salah satu strategi advertising untuk meningkatkan popularitas suatu konten dengan memancing reaksi pembaca atau penonton dan tidak peduli dampak yang dihasilkan terhadap mereka. Semakin besar masalah yang terdapat di dalam suatu konten akan sejalan juga  dengan reaksi masyarakat baik reaksi positif maupun reaksi negatif.

Tidak hanya itu, media lain pun dapat mencari keuntungan juga dengan meliput konten tersebut yang membuat popularitas konten tersebut tambah melejit. Hal ini akan berdampak profit bagi si pembuat konten dan media yang meliputnya tanpa peduli dengan kontennya yang dia buat.

Masyarakat yang terpengaruh terhadap kontennya pun tidak sadar telah mengalami kerugian secara waktu dan pikiran. Ini dapat dibuktikan dari teori tingkah laku psikologi karena manipulasi dapat terjadi ketika seseorang sudah menunjukkan tingkah laku ingin tahu yaitu perilaku yang menunjukkan sikap keingintahuan yang tinggi terhadap perkara atau persoalan apa pun yang dilihat.

Teori ini merupakan salah satu kunci tercapainya manipulasi psikologis, yaitu gaya dalam memengaruhi pengetahuan sosial seseorang atau sekompok guna memajukan kepentingan sang manipulator metodenya dapat berupa eksploitasi, penyalahgunaan ilmu pengetahuan psikologi secara kasar, licik, menipu dan lainnya.

Oknum Media Massa

Kualitas media massa kini menjadi turun karena adanya oknum media yang dengan mudah memengaruhi penonton dan pembaca. Manipulasi yang dilakukan oknum media pun beragam mulai dari menggunakan kata kata provokatif pada judul konten, memberikan informasi rancu pada konten, bersifat subjektif, dan masih banyak lagi.

Namun, tidak ada pihak yang dapat disalahkan karena Indonesia merupakan negara yang menjamin hak kebebasan bagi masyarakatnya untuk berpendapat dan berkarya.

Kebebasan berpendapat dan berkarya di jamin dalam Pasal 28 E ayat (2), Pasal 28 E ayat (3), Pasal 28 F, dan Pasal 28 I UUD 1945. Selain menjadi hak konstitusional, kebebasan berpendapat juga dapat ditemui dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang lain seperti dalam Pasal 14, 19, 20, dan 21 Tap MPR RI No XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia; Pasal 14, Pasal 23 ayat (2), dan Pasal 25 UU No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia; Pasal 19 Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik (UU No 12 Tahun 2005). Sayangnya, tidak ada hukum yang menerapkan standar sebuah karya. Jadi, oknum media dapat sesuka hati membuat suatu konten tanpa memedulikan dampaknya bagi masyarakat.

Pentingnya Sikap Apatisme dan Pemikiran Kritis

Meskipun begitu, manipulasi dapat dilawan dengan menumbuhkan sikap apatisme dan pemikiran kritis. Apa itu apatisme?  Penggunaan kata apatis pertama kali muncul pada tahun 1594 dan berasal dari bahasa Yunani yaitu Apatheia yang berarti “tidak adanya gairah” atau “ketidaksensitifan”. 

Dalam kultur Inggris modern, kata apatis merupakan konotasi negatif yang berarti kurangnya perasaan, emosi, minat, atau perhatian tentang sesuatu. Ini adalah keadaan ketidakpedulian, atau penghapusan emosi seperti perhatian, kegembiraan, motivasi, atau gairah.

Mengapa harus apatisme? Bukankah  sikap apatisme adalah hal yang buruk?

Masyarakat harus tahu bahwa apatisme tidak selalu buruk. Dalam Stoisisme, sebuah aliran yang mengajarkan bagaimana manusia selaras dengan alam sekaligus menerapkan pengendalian hidup oleh akal budi menjelaskan bahwa apatisme mengacu pada keadaan pikiran di mana seseorang tidak terganggu oleh nafsu. Ini paling baik diterjemahkan dengan kata keseimbangan daripada ketidakpedulian.

Apatisme dijadikan sebuah timbangan dalam otak di mana seseorang mampu menimbang kualitas dan membuat tanggapan terhadap suatu permasalahan secara rasional yang berarti menghilangkan kecenderungan untuk bereaksi secara emosional atau egois terhadap peristiwa eksternal dan hal tersebut dapat dikendalikan dalam diri sendiri untuk tidak bereaksi secara emosional dan egois. Kaum stoa pun menyatakan apatheia adalah salah satu kualitas yang menjadi ciri orang bijak.

Berbeda dengan kultur Inggris modern, apabila masyarakat Indonesia dapat menyerap ajaran apatisme stoa yang dipelajari dengan benar akan bermanfaat bagi masyarakat Indonesia. Masyarakat tidak akan bertindak menggunakan emosi mereka tetapi pikiran mereka karena hanya masyarakat sendirilah yang dapat mengendalikan pemikirannya.

Mereka dapat menilai secara kualitatif suatu permasalahan yang layak didiskusikan dan sepadan dengan waktu dan pikiran yang mereka berikan. Apatisme pun dapat menjadi salah satu kunci masyarakat Indonesia belajar bagaimana cara mengembangkan pemikiran kritis yang tidak melibatkan emosi mereka tetapi pikiran mereka dalam menganalisis suatu topik.

Semua itu kembali lagi kepada penonton dan pembaca yaitu masyarakat. Sudah saatnya masyarakat Indonesia berkembang menjadi masyarakat maju. Masyarakat maju adalah masyarakat yang maju dalam segi pemikiran, kesejahteraan, infrastruktur dan lainnya. Masyarakat maju adalah masyarakat yang mampu menyelesaikan suatu permasalahan secara objektif dan mengesampingkan semua hal yang berhubungan dengan penilaian subjektif.

Masyarakat maju adalah masyarakat yang tidak mau dikendalikan pemikirannya oleh oknum ataupun dikontrol  karena setiap manusia berhak mempunyai pemikiran masing-masing dan membuat penilaian mereka sendiri terhadap suatu permasalahan.

Masyarakat maju adalah masyarakat yang tidak memberikan oknum media kesempatan untuk memengaruhi pemikiran mereka. Masyarakat maju adalah masyarakat yang tidak menolak bersikap apatis dan berpikir kritis. Pada akhirnya, masyarakat maju adalah masyarakat yang hidup dalam KEBENARAN dan bukan KEBOHONGAN.

“Hal-hal yang ada di bawah kendali kita bersifat merdeka, tidak terikat, tidak terhambat; tetapi hal-hal yang tidak di bawah kendali kita bersifat lemah, bagai budak, terikat, dan milik orang lain. Karenanya, ingatlah, jika kamu menganggap hal-hal yang bagaikan budak sebagai bebas, dan hal-hal yang merupakan milik orang lain sebagai milikmu sendiri...maka kamu akan meratap, dan kamu akan selalu menyalahkan para dewa dan manusia.” -Epictetus

Referensi:

  • https://en.wikipedia.org/wiki/Apatheia
  • https://id.wikipedia.org/wiki/Stoisisme
  • https://www.kompasiana.com/fajarkurnianto/54ffaa29a33311894c510c94/hak-berkarya-di-era-informasi’
  • https://en.wikipedia.org/wiki/Apathy
  • https://id.wikipedia.org/wiki/Manipulasi_psikologis
  • https://dosenpsikologi.com/macam-macam-tingkah-laku-dalam-psikologi

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak