Secara bahasa mahar berasal dari bahasa arab alshidaq atau shadaq yang berarti harta yang dibayarkan oleh laki-laki kepada pihak perempuan ketika menikah. Dalam maknanya terkandung perasaan tulus dan jujur, sehingga dengan hati yang suci harta tersebut diserahkan kepada seorang istri dari suami. Mahar menandakan sebuah simbol kejujuran, ketulusan cinta dan kasih sayang dalam ikatan suci pasangan suami istri. Sudah merupakan hak seorang istri untuk menerima mahar dari suaminya.
Sebelum adanya mahar kedudukan perempuan sangat rendah. Seperti pada masa Yunani apabila isteri melahirkan seorang anak yang tidak cantik, mereka membunuhnya. Begitu pula bagi perempuan yang subur bisa dipinjam orang lain (bukan suaminya) untuk melahirkan anak. Bahkan bangsa Yunani sangat terkenal dengan pemikiran filsafatnya, namun terhadap hak dan kewajiban kaum perempuan diabaikan. Di kalangan elite, para perempuan ditempatkan (disekap) dalam istana, sedangkan di kalangan bawah, kaum perempuan diperjualbelikan. Bagi yang sudah menikah berada sepenuhnya dalam kekuasaan suami, di mana mereka tidak punya hak sipil termasuk hak waris.
Setelah kedatangan Islam, derajat kaum perempuan mulai diangkat dan dimuliakan. Perempuan tidak lagi mendapat diskriminasi, dan kehinaan, akan tetapi posisi mereka diangkat menjadi lebih baik, terhormat, dan mulia. Rasulullah SAW merupakan pejuang paling gigih dalam meningkatkan martabat kaum perempuan. Beliau sangat mengecam dan ikut memberantas yang suka membunuh bayi perempuan. Rasulullah SAW begitu hormat pada isterinya, sampai beliau rela tidur di depan pintu hanya agar isterinya tidak terganggu dari tidur pulasnya. Selain itu beliau juga sayang pada perempuan yang memiliki aktifitas bermanfaat, seperti Khadijah merupakan seorang saudagar dan Aisyah yang merupakan seorang ilmuan di bidang hadis dan fiqh.
Pemberian mahar merupakan bukti upaya Islam dalam meninggikan harkat kaum perempuan yang sebelumnya hanya dipandang sebelah mata. Sehingga semenjak saat itu dengan adanya mahar kaum perempuan tidak bisa dengan seenaknya saja dinikahi oleh orang lain. Setiap laki-laki yang berniat menjadikan seorang perempuan sebagai isterinya, maka ia harus mempersiapkan sesuatu yang bernilai guna diberikan kepada isterinya saat akad nikah.
Dasar hukum pemberian mahar ada pada alquran di surat an-nisa ayat 4, yang memilki arti: “Dan berikanlah kepada perempuan mahar (sebagai pemberian) sukarela. Akan tetapi jika mereka (perempuan atas kemauan sendiri) merelakan sebagian darinya untukmu, maka nikmatilah dengan kenikmatan dan penuh manfaat”
Allamah Kamal Faqih Imani mengatakan bahwa dalam sebuah riwayat dinyatakan tentang harta yang terbaik harus dipergunakan untuk tiga keperluan yaitu; mahar, ibadah haji, dan kafan. Jika kamu menafkahkan harta yang terbaik untuk mahar, maka keturunanmu akan menjadi orang-orang shaleh.
Ada salah satu macam mahar yaitu mahar mitsil (sepadan), mahar mitsil merupakan mahar yang tidak disebutkan besar kadarnya pada saat sebelum maupun ketika terjadi pernikahan, atau mahar yang diukur (sepadan) dengan mahar yang telah diterima oleh keluarga terdekat, dengan mengingat status sosial, kecantikan dan sebagainya.
Di indonesia mahar disesuaikan dengan kebudayaan yang ada, seperti muslim Sumatera Barat masih menganut tradisi bajapuik, yaitu tradisi perkawinan yang menjadi ciri khas di daerah Pariaman. Tradisi ini mewajibkan pihak keluarga perempuan memberi sejumlah uang atau benda kepada pihak laki-laki sejenis kompensasi untuk menghargai keluarga laki-laki yang telah melahirkan dan membesarkannya, namun masih mewajibkan pengantin laki-laki untuk memberikan mahar sesuai dengan ketentuan agama islam.