Civil Society Based Governance vs. Pilkada Desember 2020

Tri Apriyani | Hendy Setiawan (MPP Universitas Gadjah Mada)
Civil Society Based Governance vs. Pilkada Desember 2020
Ilustrasi Pilkada. [Shutterstock]

Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 9 Desember 2020 menjadi pemilihan umum pertama dan terberat yang akan dihelat Indonesia. Hal tersebut dikarenakan perhelatan Pilkada akan dilakukan di masa pandemi virus Covid-19. Bukan hanya Indonesia namun seluruh negara di belahan dunia juga terjangkit virus ini sehingga keadaan ini akan menghambat aktivitas diberbagai sektor multidimensional.

WHO mencatat setidaknya ada 216 negara di dunia yang terjangkit pandemi Covid-19 ini. Salah satu aktivitas yang terdampak nyata ialah proses demokrasi yang akan dijalankan yakni pemilihan umum. Perhelatan pemilu bagi negara penganut sistem demokrasi tentu menjadi barometer ukur untuk menilai atas penggunaan hak konstitusional warga negara sebagai pemilih.

Negara wajib memberikan jaminan dan kesempatan bagi warga negaranya yang memiliki syarat tertentu untuk menyalurkan hak politiknya. Adanya perlindungan dan penggunaan hak konstitusional warga negara memperlihatkan bahwa proses demokrasi tersebut sedang berjalan dengan baik.

Kebijakan perhelatan pemilihan kepala daerah yang akan digelar serentak pada 270 daerah di Indonesia memunculkan silang pendapat di masyarakat. Setidaknya ada tiga kelompok besar yang memiliki pandangan multidimensional atas implikasi perhelatan Pilkada 9 Desember 2020.

Pemerintah yang telah menyepakati Pilkada akan tetap digelar beralasan jika pemilu sebagai jaminan dan perlingdungan hak konstitusional sebagai warga negara. Selain itu juga pandemi Covid-19 tidak ada yang tahu kapan berakhir sehingga di tengah ketidak-pastian tersebut jangan sampai menghambat hak konstitusional warga negara. Di samping itu juga untuk mengisi potensi kekosongan jabatan kepala daerah di 270 wilayah.

Berdasarkan data Kemendagri ada 269 jabatan kepala daerah yang purna tugas pada bulan September 2021  dan dengan jumlah paling banyak pada tanggal 17 Februari 2021 yakni mencapai 2000 kepala daerah sementara seorang kepala daerah akan berakhir masa jabatanya pada tanggal 22 Februari 2022. 

Tentu jika kekosongan itu dibiarkan maka akan diisi oleh pejabat administratif seperti Pejabat Sementara (Pjs), Pelaksana Harian (Plh), Pelaksana Tugas (Plt), Pejabat (Pj) dengan kekuasaan tidak penuh dalam mengambil kebijakan strategis.

Sementara itu dalam pandangan civil society atau aktor tengah seperti Muhammadiyah, NU dan komunitas sipil pemerhati demokrasi lainya jika Pilkada 9 Desember sebaiknya ditunda tahun depan demi keselamatan jiwa masyarakat warga negara. Bagaimanapun mereka melihat jika gejolak pandemi ini masih terus bergejolak bahkan akhir-akhir ini terjadi lonjakan kasus yang tidak terkendali. Oleh karenanya asas keselamatan warga negara adalah hukum tertinggi yang wajib dipegang teguh oleh negara.

Lain pula dengan masyarakat di mana mereka merasakan kondisi yang takut dan cemas atas dihelatnya pemilu di tengah pandemi. Tentu hal tersebut bisa dirasakan jika berada daam posisi sebagai masyarakat yang harus menggunakan hak pilihnya di tengah situasi pandemi yang bergejolak.

Harus diakui bahwa keputusan pemerintah untuk melaksanakan Pilkada memicu kekhawatiran publik. Menghelat pesta demokrasi di tengah wabah menjadi kontestasi yang paling berat dan bahkan menciptakan tantangan baru bagaimana pesta demokrasi bisa tetap berjalan dan juga keselamatan warga negara juga dapat diwujudkan.

Nampaknya menyelenggarakan pemilu saat wabah dan juga melindungi keselamatan warga saat menggunakan hak konstitusional memerlukan usaha yang sangat ekstra berat mengingat akan berdampak pada risiko yang fatal jika keduanya tidak berjalan dengan baik. munculnya desakan dari kalangan kelompok civil society bukan tanpa alasan. Hal yang paling penting ialah tetap mengacu pada dasar bahwa keselamatan warga negara adalah hukum tertinggi dan tidak boleh ditawar lagi.

Negara Vis a Vis Kelompok Intermediary

Muhammadiyah, NU, dan masyarakat sipil lainya menilai jika kontestasi politik di tengah pandemi ini harus ditunda. Hal tersebut mengingat kasus Covid-19 tanah air semakin meningkat dan bahkan ada kecenderungan terjadi lonjakan tajam. Apa yang dikhawatirkan kelompok intermediary ini nampaknya terbukti dengan apa yang disampaikan oleh Presiden Jokowi dalam rapat terbatasnya hari Senin 30 November 2020.

Presiden Jokowi menyatakan jika kasus Covid-19 di Indonesia per 29 November 2020 meningkat menjadi 13,41 persen. Padahal pada minggu lalu angkanya baru 12,78 persen. Tentu hal tersebut menunjukkan kondisi pandemi tanah air semakin memburuk dalam tata kelola penangananya. Bahkan lebih lanjut Jokowi mengingatkan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) serta seluruh Kepala Daerah untuk mengendalikan laju penyebaran wabah ini.

Hal tersebut tentunya akan diperkeruh dengan pentahapan Pilkada 9 Desember 2020 yang diperkirakan akan menjadi klaster baru. Menghimpun data dari IDEA (Institute For Democracy and Electoral Assistance) selama 21 Februari 2020 hingga 19 Juli 2020 setidaknya terdapat 70 negara yang menunda pelaksanaan pemilu nasional atau subnasional.

Menurutnya saat pandemi yang dibutuhkan ialah konsesus politik yang mengedepankan kepentingan bangsa dengan melihat pertimbangan mengenai keselamatan jiwa, partisipasi, mekanisme pemilu di masa pandemi, bahkan sampai risiko atas rusaknya legitimasi demokrasi. Namun PKPU No 5 Tahun 2020 telah terbit dan menguraikan jadwal Pilkada serentak yang akan dihelat di 270 daerah.

Penundaan yang disampaikan oleh ormas besar NU dan Muhammadiyah pada dasarnya sebagai representasi dari masyarakat. Berdasarkan survei yang dilakukan oleh New Indonesia Research dan Consulting pada Oktober 2020 menyebut sebanyak 80,5% publik menolak Pilkada dan hanya 12,6% yang setuju. Sementara mengacu pada Lembaga Indikator Politik menyebut 50,2% menolak dan 46,3% setuju dan bahkan Polmatrix menyebut 72,4% menolak.

Tentu menghelat pesta demokrasi di masa pandemi memerlukan kajian kesiapan secara holistik agar pendewasaan politik demokrasi tidak serampangan. Proses pentahapan kampanye Pilkada menurut PKPU dimulai sejak 26 September dan berakhir pada 5 Desember 2020.

Namun dilihat dari prosesnya saja Bawaslu RI mencatat ada 2.126 pelanggaran protokol kesehatan dalam kampanye Pilkada. Namun dari hasil temuan Bawaslu jika dalam ptoses pentahapan Pilkada telah melahirkan lonjakan kasus Covid-19 diberbagai provinsi di Indonesia. Tentu ini akan bertampak pada kerusakan legitimasi demokrasi kedepanya.

Bahkan dari data media terbaru memperlihatkan jika Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta, Pimpinan PBNU dan berbagai pejabat daerah telah dinyatakan positif Covid-19 dan diiringi memburuknya tata kelola penangananya. Artinya gejolak pandemi di tanah air belum bisa dikendalikan dengan cepat sehingga dihelatnya Pilkada 2020 akan sangat berpotensi menyeret klaster baru dari kelompok pemilih. Ini tentu juga harus dipertimbangkan oleh berbagai pihak-pihak yang berkepentingan karena sangat berisiko tinggi.

Kecenderungan memburuknya penanganan Covid-19 di Indonesia tidak bisa disangkal lagi. Oleh karenanya pemerintah dan aktor lainya perlu mengkaji ulang kebijakan yang akan dilaksanakan sebelum memunculkan kasus luar biasa akibat pesta demokrasi 9 Desember 2020.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak