Budaya Inklusif sebagai Bagian dari Etika Bisnis dalam Sebuah Perusahaan

Tri Apriyani | Rheina Magista
Budaya Inklusif sebagai Bagian dari Etika Bisnis dalam Sebuah Perusahaan
Ilustrasi disabilitas (pixabay)

Etika merupakan salah satu cabang pada ilmu filsafat yang mengacu kepada prinsip dan nilai untuk membedakan suatu perbuatan dikatakan baik atau buruk. Adanya etika dalam kehidupan manusia sangat mempengaruhi cara manusia berpikir dan mengambil keputusan dalam hidup. Manusia kadang bisa saja bersikap tidak etis atau tidak rasional, etika disini berperan sebagai alat untuk menuntun manusia berpikir secara etis dan bermoral. Setiap kegiatan yang dilakukan oleh berbagai macam sektor industri, tak terkecuali sektor bisnis, pasti menerapkan etika di lingkungan pekerjaan. 

Richard De George (2010) menyatakan bahwa jika sebuah perusahaan ingin sukses maka ia memerlukan tiga hal pokok yaitu produk yang baik, manajemen yang baik, serta etika. Etika di dalam sektor bisnis atau etika bisnis merupakan etika terapan yang diperlukan sebagai dasar pembentukan nilai dan norma yang berlaku, lingkup penerapan nilai dan norma tersebut adalah pada sektor ekonomi dan bisnis.

Etika bisnis menurut Keraf (2010) memiliki lima prinsip yaitu otonomi, keadilan, kejujuran, integritas, serta saling menguntungkan. Adanya etika bisnis ini bertujuan untuk mendorong kesadaran moral para pelaku bisnis, menjaga tata sikap dan perilaku, dan memberi batasan kerja yang profesional dalam menjalankan bisnis. 

Penerapan etika dalam sektor bisnis, khususnya dalam lingkup internal perusahaan, dapat dilakukan oleh sumber daya manusia melalui sikap profesionalisme seperti datang ke kantor tepat waktu, menyelesaikan tanggung jawab sesuai dengan jabatan yang dipegang. Di sisi lain, perusahaan juga memiliki peran dalam menerapkan etika dalam lingkup perusahaan, seperti menentukan nilai-nilai moral dalam bentuk budaya organisasi di dalam perusahaan.

Edgar H. Schein (1992) dalam bukunya “Organizational Culture and Leadership” juga mendefinisikan kebudayaan dalam arah yang lebih luas yaitu “suatu pola asumsi dasar yang diciptakan, ditemukan atau dikembangkan oleh kelompok tertentu sebagai pembelajaran untuk mengatasi masalah adaptasi eksternal dan integrasi internal yang resmi dan terlaksana dengan baik dan oleh karena itu diajarkan kepada anggota-anggota baru sebagai cara yang tepat untuk memahami, memikirkan dan merasakan terkait dengan masalah-masalah tersebut”.

Budaya organisasi dalam perusahaan merupakan salah satu wadah untuk menerapkan etika di dalam perusahaan. Oleh karena itu, budaya organisasi dalam perusahaan berperan dalam mensukseskan penerapan etika di dalam lingkungan perusahaan. Salah satu budaya perusahaan yang merepresentasikan etika adalah budaya inklusif.

Inklusif menurut KBBI berasal dari kata inclusive yang berarti termasuk di dalamnya. Istilah ini kemudian umum digunakan untuk menggambarkan usaha untuk membuat sebuah lingkungan yang terbuka dan mengikutsertakan seluruh orang dengan latar belakang yang berbeda.

Berdasarkan Jurnal Building an Inclusive Diversity Culture: Principles, Processes and Practice (2004), dikatakan bahwa budaya inklusif dalam organisasi berarti adanya lingkungan organisasi yang memberikan ruang bagi orang dengan latar belakang, mindset, serta cara berpikir yang berbeda untuk bekerja sama secara efektif untuk mencapai potensi terbesar mereka supaya dapat mencapai tujuan organisasi.

Inklusivitas merupakan salah satu buah hasil etika yang menggambarkan adanya persamaan kesempatan dan persamaan perilaku yang diberikan oleh perusahaan dalam memfasilitasi sumber daya manusia yang ada di perusahaan. Adanya budaya inklusif di dalam perusahaan menggambarkan bahwa perusahaan mementingkan kepentingan bersama dibandingkan dengan kepentingan individu atau kelompok sehingga akan mengurangi risiko konflik internal yang terjadi dalam perusahaan.

Budaya inklusif bukan merupakan hal baru dalam pelaksanaan etika perusahaan mengingat banyak perusahaan yang sudah mempopulerkan gerakan ini selama beberapa tahun. Inklusivitas dalam perusahaan sendiri memiliki banyak bentuk, seperti kesetaraan gender, disabilitas, dan lainnya. Inklusivitas dapat berbentuk pengakuan hak dan gerakan anti diskriminasi pada kelompok minoritas dalam perusahaan. Hal ini bisa diwujudkan melalui proses rekrutmen yang tidak diskriminatif serta pemberian kesempatan yang sama dalam perusahaan.

Pentingnya budaya inklusif lahir dari banyaknya isu mengenai diskriminasi dalam lingkungan kerja yang tentunya akan mempengaruhi citra dari sebuah perusahaan atau bisnis, ditambah lagi dengan berkembangnya masyarakat sehingga lebih banyak norma-norma baru yang diserap yang kemudian melahirkan budaya dan normalitas baru.

Isu mengenai kesetaraan gender merupakan salah satu isu inklusivitas yang paling banyak dibicarakan dan mendapatkan perhatian dari masyarakat, bagaimana masyarakat yang dicerminkan oleh perusahaan berubah dari yang sangat patriarki menjadi sebuah organisasi yang menjunjung tinggi persamaan derajat antar gender serta terjadinya penetrasi kaum wanita dalam industri atau jabatan yang sebelumnya kokoh pegang dan dikuasai oleh kaum pria.

Dengan berkembangnya budaya inklusif pada perusahaan, maka wanita dapat menduduki jabatan dan berkarir dalam industri yang sebelumnya dianggap hanya bisa dilakukan oleh kaum pria. Bukti nyata dari hal ini dapat dilihat dari perbandingan jajaran direksi perusahaan pada beberapa tahun yang lalu dibandingkan dengan jajaran direksi perusahaan dewasa ini, maka akan terlihat bahwa representasi wanita dalam top level management menjadi lebih banyak.

Selain itu, isu kesetaraan hak bagi kaum disabilitas juga ramai diperbincangkan. Hak bagi kaum disabilitas pun mulai diperhatikan beberapa perusahaan dengan mulai membuka perekrutan bagi kaum disabilitas serta penyediaan fasilitas perusahaan yang ramah bagi kaum disabilitas.

Budaya inklusif dalam perusahaan sangat perlu untuk diwujudkan mengingat beragamnya anggota perusahaan sehingga pembatasan atau kurasi kelompok dan komunitas tertentu dalam sebuah perusahaan sangat tidak relevan lagi pada masa sekarang.

Perusahaan lewat pembentukan peraturan dan budaya organisasinya harus memberikan ruang untuk keragaman agar dirinya tetap relevan dan eksis dalam persaingan bisnis yang tidak hanya serta merta mengenai penjualan dan keuntungan, melainkan juga citra serta loyalitas. Implementasi dari etika kesetaraan ini dapat dilakukan lewat pembentukan lingkungan kerja yang anti diskriminasi sehingga semua anggota perusahaan dapat bekerja sesuai dengan deskripsi pekerjaannya dan menjabat pada jabatan yang sesuai dengan kemampuannya tanpa mementingkan faktor-faktor personal.

Administrator dalam perusahaan juga memiliki kewajiban untuk menciptakan lingkungan kerja yang inklusif dan mempromosikan inklusivitas dalam kampanye perusahaannya untuk memancing terjadinya internalisasi budaya pada anggota perusahaan. Hal tersebut bertujuan untuk meratakan implementasinya sehingga inklusivitas tidak hanya menjadi kampanye yang terlihat dari luar, melainkan sebuah budaya yang benar-benar tumbuh dan berkembang dalam perusahaan.

Budaya inklusif tentunya tidak hanya lahir dari perkembangan dan perubahan masyarakat, melainkan ada faktor lain yang menjadi pendorong mengapa perusahaan memilih untuk mempopulerkan budaya inklusif. Tentunya dalam sebuah bisnis dan perusahaan, keuntungan merupakan salah satu faktor penting yang harus dipertimbangkan dalam mengambil keputusan.

Dengan perusahaan memilih untuk mempopulerkan budaya inklusif dalam perusahaannya maka masyarakat akan menganggap perusahaan tersebut baik dan beretika sehingga akan mendapatkan dukungan dari masyarakat, brand image sebuah perusahaan juga akan meningkat apabila ia mempopulerkan dan mengembangkan sentimen yang sesuai dengan dinamika masyarakat.

Semakin perusahaan beroperasi dengan mementingkan etika dan menciptakan citra yang baik pada masyarakat, maka konsumen dan calon konsumen akan memberikan simpati lebih pada perusahaan yang selanjutnya dapat menguntungkan perusahaan. Perusahaan yang bersikap etis tidak hanya akan mendapatkan dukungan dari pihak eksternal, melainkan juga pihak internal seperti karyawan dalam perusahaan.

Apabila perusahaan mempromosikan budaya inklusif maka karyawan akan lebih nyaman untuk bekerja dalam perusahaan, hal ini akan meningkatkan loyalitas pekerja terhadap perusahaan yang selanjutnya akan meningkatkan produktivitas pada karyawan.

Karyawan akan merasa nyaman untuk bekerja pada perusahaan yang mempromosikan inklusivitas dan kesetaraan karena ia akan merasa bahwa ia diterima dan memiliki kesempatan yang sama dengan anggota perusahaan yang lain untuk meningkatkan karirnya dalam perusahaan. Dengan demikian, karyawan memiliki motivasi dan insentif yang jelas dalam meningkatkan produktivitas dan loyalitasnya pada perusahaan.

Hal ini sejalan dengan pendapat dari Cox dan Blake (1991) yang mengatakan bahwa semakin meningkatnya kompetisi global maka semakin banyak juga perusahaan yang berusaha membentuk budaya inklusif yang dapat memberikan peningkatan yang dramatis dalam produktivitas, kualitas, kreativitas, kepuasan akan pekerjaan, serta retensi pekerja. 

Melihat banyaknya manfaat yang didapatkan melalui penerapan budaya inklusif sebagai salah satu bentuk etika dalam sebuah perusahaan, dapat dikatakan bahwa budaya inklusif kini menjadi penting untuk diimplementasikan dalam etika sebuah perusahaan. Hal ini akan menunjukkan bagaimana perusahaan mengedepankan kesetaraan dengan merekrut dan menempatkan karyawannya pada posisi yang sesuai dengan kemampuan mereka dan meniadakan faktor lain seperti gender, disabilitas, maupun lainnya.

Budaya inklusif ini juga dirasa penting untuk diterapkan karena dapat menguntungkan kedua sisi, yakni baik pihak perusahaannya dan yang pasti adalah pihak karyawannya. Dapat dikatakan demikian karena dari sisi pihak karyawan keuntungan yang didapatkan adalah rasa aman dan nyaman dalam melakukan pekerjaannya di perusahaan tersebut. Sementara bagi pihak perusahaan, keuntungan yang didapatkan adalah loyalitas dari karyawannya itu sendiri dan juga peningkatan brand image dalam masyarakat sekitar karena masyarakat melihat bahwa perusahaan tersebut mendukung dan sejalan dengan apa yang menjadi concern masyarakat dalam dinamika di saat tersebut.

Referensi

  • Priharto, S. (2020, June 10). Etika Bisnis : Pengertian, Tujuan, Contoh, Dan Manfaatnya untuk Bisnis. Retrieved from https://accurate.id/marketing-manajemen/pengertian-lengkap-etika-bisnis/
  • Priharto, S. (2020, November 10). APA ITU Etika? Berikut adalah Pengertian Dan Penjelasan Lengkapnya. Retrieved from https://aksaragama.com/umum/pengertian-etika-adalah/
  • Salamadin. (2019, March 2). Pengertian etika bisnis : Prinsip, Tujuan Dan Contoh Pelanggarannya. Retrieved from https://salamadian.com/pengertian-etika-bisnis/
  • STUDILMU. (n.d.). Budaya Inklusi Adalah Kunci Sukses Organisasi. Retrieved from https://www.studilmu.com/blogs/details/budaya-inklusi-adalah-kunci-sukses-organisasi
  • Utami, N. W. (2020, January 11). Pengertian, Tujuan, Contoh Dan Manfaat Etika Bisnis. Retrieved from https://www.jurnal.id/id/blog/pengertian-tujuan-contoh-dan-manfaat-etika-bisnis-dalam-perusahaan/
  • George, R. T. (2010). Business ethics. Pearson College Division.
  • Keraf, A. S. (1998). Etika bisnis: tuntutan dan relevansinya. Yogyakarta: Kanisius.
  • Schein, E. H. (1992). Organizational culture and leadership. John Wiley & Sons.
  • Cox, T. H., & Blake, S. (1991). Managing cultural diversity: Implications for organizational competitiveness. Academy of Management Perspectives, 5(3), 45-56. doi:10.5465/ame.1991.4274465
  • Pless, N., & Maak, T. (2004). Building an inclusive diversity culture: Principles, processes and practice. Journal of Business Ethics, 54(2). doi:10.1007/s10551-004-9465-8

Penulis: Farhan Muharram, Gratia Plena Putri, Rheina Magista Pakpahan, Sherin Alvia Riza Silalahi

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak