Politik Populisme, Islam, dan Demokrasi

Tri Apriyani | Hendy Setiawan (MPP Universitas Gadjah Mada)
Politik Populisme, Islam, dan Demokrasi
Ilustrasi populisme dan demokrasi (123rf)

Politik populisme dan demokrasi selalu hadir dan bergandeng erat dikancah perpolitikan kontemporer. Apalagi dalam konteks Indonesia sebagai negara demokrasi dengan mayoritas penduduk memeluk agama Islam, politik populisme Islam menjadi gaya dan model yang bisa bersanding luwes dengan demokrasi.

Politik populisme Islam mampu memasuki ranah politik electoral dengan cara yang pasti sehingga aktor populisme menjadikan agama sebagai instrumen untuk membangun opini publik dan menggaet suara dalam pemilu. Realita perpolitikan telah menunjukkan bagaimana politik populisme Islam di Indonesia masih menjadi isu yang sangat kuat dan terus terbangun apalagi di tengah situasi pandemi ini.

Harus diakui jika pandemi Covid-19 tidak cukup mampu menumbangkan politik populismenya namun hanya sebatas dan terbatas membunuk aktor populisnya semata. Oleh karena itu demokrasi dan politik populisme di Indonesia harus dilihat dari berbagai sisi yang berbeda karena akan berimplikasi pada dampak yang multidimensional pula. Apakah politik populisme menjadi ancaman bagi negara-negara demokrasi seperti Indonesia atau politik populisme justru menjadi warna dan kewajaran yang harus dijamin sebagai konsekuensi sebagai negara demokrasi tentu perlu dilihat secara mendalam. 

Populisme Islam

fenomena populisme di Indonesia menjadikan agama sebagai basis dan tameng untuk merebut dan mendapatkan dukungan publik. Hal itu dapat dilihat bagaimana gejolak politik populisme di tanah air yakni kasus politik populisme Islam yang direpresentasikan oleh FPI (Front Pembela Islam). Bagaimana negara merespons atas eksistensinya populisme Islam banyak dianggap tidak tepat sehingga berujung pada konflik yang semakin rumit.

Tentu dalam sistem politik demokrasi memang ini sangat bertentangan pasalnya negara menolak ruang kebebasan di luar negara. Negara terlalu bertindak gegabah dalam menyikapi fenomena politik populisme Islam sehingga alih-alih berbagai ilmuwan politik tanah air menyebut negara gagal paham atas kasus populisme Islam. Negara cenderung menempatkan politik populisme Islam sebagai ancaman yang sangat besar sehingga menutup celah untuk melihat bagaimana kehadiran fenomena politik populisme yang disandingkan dengan sebuah sistem demokrasi.

Isu terbaru dapat lihat bagaimana Menteri Agama RI yang baru saja dilantik yakni Gus Yaqut yang melontarkan sebuah pernyataan jika negara yang diwakili oleh Kemenag tidak ingin populisme Islam merebak di Indonesia. Lebih jauh juga disebut bahwa populisme Islam sebagai tempat mereduksi norma konflik dan akan sangat berbahaya jika dibiarkan. Berdasarkan dinamika persepsi dari persoalan ini maka dapat diurai bagaimana memahami populisme Islam di tanah air dengan menggunakan berbagai pendekatan multidimensional.

Hal ini akan memberikan posisi yang jelas agar bisa netral dan tidak cenderung meminggirkan konsep politik populisme Islam yang hadir di masa pandemi ini. Populisme muncul tepat ketika sebuah sistem yang telah mapan mengalami kondisi dislokasi dan berubah secara fluktuaktif akibat munculnya peristiwa. Populisme pada dasarnya menjadi pengisi celah hampa yang hadir ketika muncul jarak antara kenyataan yang diwacanakan dan bagaimana peristiwa yang dialami oleh manusia.

Demokrasi dan Gerakan Populisme

Menguatnya politik populisme Islam telah menjadi karakter dan basis yang selalu digunakan dalam ranah demokrasi. Tidak salah jika politik populisme Islam menjadi bagian dari dinamika demokrasi di mana aktor kontestasi pemilihan umum menggunakan sebagai alat untuk mencetak kejayaanya. Tentu dibenak publik masih teringat bagaimana Jokowi dalam periode keduanya pada lanskap Pilpres 2019 menggandeng Wakil Presiden sekaligus Ketua MUI yakni KH Ma’ruf Amin.  Bagaimana Jokowi menciptakan strategi politik dengan menggandeng elit NU sehingga secara otomatis warga NU akan tergiring opininya untuk memilihnya dalam Pilpres 2019 (Sihidi, 2020).

Alhasil politik populisme Islam tersebut berhasil dilakukan dengan final yang dimenangkan oleh Jokowi-Ma’ruf sebagai presiden dan wakil presiden terpilih 2019-2024. Sudah diprediksi sebelumnya oleh berbagai pakar politik di mana NU sebagai ormas Islam terbesar dengan simpatisan terbanyak di Indonesia memiliki dan berkontribusi besar terhadap kemenangan dalam konteks Pilpres Jokowi-Ma’ruf.

Strategi politik populisme dalam negara demokrasi memang sah-sah saja dilakukan. Hal itu dikarenakan demokrasi telah memberikan jaminan sebagai bagian dari kebebasan berekspresi, berpendapat, dan berpikir. Namun acapkali juga politik populisme sering disebut sebagai ancaman bagi demokrasi.

Sebenarnya untuk menilai politik populisme tersebut benar atau tidaknya mengancam eksistensi demokrasi juga perlu dilihat melalui berbagai sisi yang multidimensional. Hal itu memungkinkan untuk melihat secara jelas agar tidak timbul praduga yang keliru terhadap politik populisme. Lebih jauh lagi di masa pandemi ini tumbuhnya politik populisme Islam dianggap menjadi ancaman bagi demokrasi di Indonesia.

Hal itu dapat dilihat bagaimana negara mengumandangkan bahwa FPI menjadi ormas terlarang di Indonesia. Lantas bagaimana demokrasi dan politik populisme itu berjalan? Lalu bagaimana pula relasi keduanya bagi diskursus ilmu politik kontemporer saat ini?

Aktor populis akan selalu membawa narasi jika mereka akan mengakomodasi dan menyuarakan orang-orang tertindas “wong cilik”. Oleh karenanya dalam kasus FPI berusaha untuk membangun narasi bagi umat Islam untuk saatnya bangkit dari kehidupan bangsa yang tengah tertindas baik secara ekonomi, sosial, agama, dan politik. Hanya saja seperti apa yang dikatakan oleh  Mietzner (2015) tentang karakteristik populisme antara Jokowi dan Prabowo di mana gaya populisme politik FPI cenderung sebagai penentang total penguasa dan berciri sebagai oposisi terhadap kekuasaan negara.

Oleh karenanya negara menilai apa yang dilakukan oleh FPI menjadi ancaman dan hambatan serius bagi negara sehingga tidak segan-segan negara memberikan tindakan keras dengan menyudut bahwa politik populisme Islam ini secara tidak langsung menjadi ancaman. Pimpinan FPI muncul sebagai simbol yang berhadapan dengan penguasa total dengan merepresentasikan umat Islam sebagai orang yang disuarakan aspirasinya.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak