Tindakan atau perbuatan hukum (rechtshandelingen) yang dilakukan oleh negara dapat menjadi tidak sah apabila memiliki kekurangan. Agar sama sekali tidak memiliki kekurangan, maka suatu tindakan harus dilakukan oleh alat negara yang berkuasa secara ratione materiae atau memiliki materi/ kompetensi wewenang untuk melakukan tindakan. Sebagai contoh tidak berkuasanya suatu alat negara secara ratione materiae adalah (misalnya) Kementerian Pemuda & Olahraga melakukan tindakan penahanan terhadap seseorang. Hal ini disebabkan tidak ada satupun peraturan perundang-undangan yang memberikan wewenang kepada Kementerian tersebut untuk melakukan tindakan penahanan. Tidak berkuasanya alat negara dalam melakukan tindakan hukum menyebabkan tindakan tersebut tidak sah dan mengandung konsekuensi batal mutlak (absoluut nietig).
Dari berbagai macam tindakan-tindakan hukum yang dapat dilakukan oleh negara, ada tindakan-tindakan hukum yang bersinggungan langsung dengan Hak Asasi Manusia (HAM), yakni tindakan penyidikan. Penyidikan sebagaimana KUHAP adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya. Secara sederhana penyidikan dapat diartikan sebagai kumpulan tindakan/ cara yang ditentukan untuk memperoleh bukti. Dengan demikian, setiap alat negara yang diberi wewenang penyidikan pasti dilekatkan pula padanya bentuk-bentuk tindakan yang boleh/ wenang untuk dilakukan.
Salah satu alat negara yang diberi wewenang penyidikan adalah Kejaksaan. Wewenang ini diberikan kepada Kejaksaan untuk menyidik tindak pidana tertentu seperti Korupsi dan HAM yang bentuk-bentuk tindakannya diatur tersendiri dalam UU Korupsi dan UU HAM. Berbeda dengan Kejaksaan, Kepolisian diberikan wewenang oleh KUHAP untuk menyidik semua tindak pidana (kecuali ditentukan secara khusus) dan dilekatkan pula secara eksklusif dalam wewenang penyidikannya bentuk-bentuk tindakan seperti penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, pemanggilan, penghentian penyidikan dan tindakan lain yang bertanggung jawab. Ini artinya, wewenang penyidik Kejaksaan hampir sama dengan wewenang penyidik PNS dalam KUHAP dimana bentuk-bentuk tindakannya diatur dengan undang-undang tersendiri.
Dalam UU Korupsi tahun 1971 yang sudah dicabut dan tidak berlaku, Kejaksaan selaku penegak hukum diberikan wewenang untuk memimpin/ mengkoordinir Kepolisian dalam penyidikan tindak pidana korupsi. Artinya, apabila mengacu pada asas legalitas dalam hukum pidana terutama pengertian lex certa dan lex stricta (aturan harus jelas dan ditafsirkan secara ketat), maka bentuk tindakan yang wenang untuk dilakukan Kejaksaan dalam UU Korupsi tahun 1971 hanyalah memimpin/ mengkoordinir penyidikan kepolisian, bukan melakukan tindakan-tindakan yang lain seperti penangkapan, penggeledahan, penyitaan, ataupun tindakan lainnya.
Dalam UU Korupsi tahun 1999 yang telah dirubah pada tahun 2001 dan masih berlaku sampai saat ini, Kejaksaan diberi wewenang yang serupa dengan UU Korupsi tahun 1971 namun dengan redaksi yang berbeda yaitu mengkoordinasikan dan mengendalikan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi. Lain halnya dalam UU Pengadilan HAM tahun 2000, Kejaksaan selaku penyidik diberi wewenang penyidikan dengan bentuk tindakannya berupa penangkapan dan penahanan. Tampak jelas bahwa pemberian wewenang penyidikan tidak serta merta membuat penyidiknya bebas melakukan tindakan apa saja untuk memperoleh bukti.
Bagaimana dengan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)? Dalam UU KPK tahun 2002 maupun tahun 2019, penyidik KPK diberikan wewenang yang sama dengan penyidik Kepolisian sebagaimana KUHAP (termasuk berbagai macam bentuk tindakan-tindakan eksklusifnya) untuk menyidik Tindak Pidana Korupsi. Bahkan lebih dari itu, penyidik KPK juga dibekali bentuk-bentuk tindakan penyidikan yang lain seperti penyadapan, dan meminta bantuan Interpol. Hal ini menunjukkan bahwa bentuk-bentuk tindakan penyidikan yang diberikan kepada Kepolisian, Kejaksaan dan KPK untuk memperoleh bukti adalah tidak sama. Jadi, harus dipahami bahwa wewenang penyidik Kejaksaan dalam menyidik tindak pidana korupsi adalah sangat terbatas.
Bentuk tindakan penyidikan berupa mengkoordinasikan dan mengendalikan (dalam bahasa UU Korupsi 1971 disebut “memimpin”) seharusnya diterjemahkan secara teknis dengan membentuk dan memimpin tim yang beranggotakan penyidik Kepolisian maupun penyidik PNS untuk menyidik tindak pidana korupsi, atau dengan kata lain penyidik Kejaksaan berfungsi sebagai atasan penyidik Kepolisian ataupun penyidik PNS dalam penyidikan tersebut.
Sepertinya pembatasan wewenang bagi penyidik kejaksaan memang dimaksudkan supaya tidak terjadi tumpang tindih wewenang, karena “ketumpangtindihan” wewenang pada akhirnya dapat menyebabkan kekacauan hukum yang ujung-ujungnya menimbulkan ketidakpastian hukum bagi masyarakat. Ketidakpastian akan cenderung mengusik rasa keadilan masyarakat.
Di dunia persilatan, para praktisi hukum (seperti penasihat hukum dan hakim) jarang atau bahkan tidak pernah mempermasalahkan atau menguji keabsahan tindakan yang dilakukan oleh penyidik Kejaksaan. Padahal keabsahan tindakan penyidikan berpengaruh pada keabsahan bukti yang nantinya akan digunakan sebagai bahan untuk menetapkan tersangka. Lebih dahsyat lagi, ketika bukti-bukti tersebut digunakan hakim untuk memutuskan bahwa seseorang telah bersalah melakukan tindak pidana korupsi dan kemudian menghukumnya (misalnya dengan hukuman mati).
Apabila siklus ini berlangsung terus menerus, bukan tidak mungkin suatu hari nanti ketika misalnya Kementerian Sekretaris Negara, Kementerian Sosial, Kementerian Pendidikan, Kementerian Pemuda & Olahraga atau Kementerian lain atau bahkan mungkin Organisasi Kemasyarakatan melakukan tindakan-tindakan penyidikan seperti penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, pemanggilan, ataupun penyadapan untuk mendapatkan bukti tindak pidana, juga tidak akan menjadi suatu masalah penting dan akan tetap dianggap sebagai suatu due process of law (proses peradilan yang layak).
Oleh: Rendi Yudha Syahputra, Praktisi dan Pengamat Hukum