Ulasan Buku Anak-Anak Kota Lama: Potret Sosial dalam Latar Budaya yang Beragam

Ayu Nabila | Ade Feri
Ulasan Buku Anak-Anak Kota Lama: Potret Sosial dalam Latar Budaya yang Beragam
Buku Anak-Anak Kota Lama (Goodreads.com)

Rasanya senang sekali menemukan buku yang sekaligus membicarakan tentang indahnya persahabatan, kekeluargaan, dan identitas budaya. Apalagi kalau isu kompleks itu dibawakan dengan tampilan visual yang menarik dan jauh dari kata membosankan. Lebih istimewa kali, buku itu dikemas lewat POV atau sudut pandang anak-anak yang tampak polos dan tulus.

Perasaan gembira ini tercipta setelah aku selesai membaca buku Anak-Anak Kota Lama. Bagaikan melihat warna-warni pelangi selepas hujan, buku ini memberi gambaran soal dinamika sosial, kebudayaan, dan mengangkat sisi humanis yang kental. Buku yang lahir dari kolaborasi dengan Komunitas Lintas Budaya Indonesia ini akan mengenalkan pembaca dengan kebudayaan Tionghoa Peranakan. Cerita yang diangkat juga sangat sederhana, tetapi dekat dengan kehidupan sehari-hari dan pastinya menyelipkan pengetahuan yang relevan dengan kondisi sosial budaya.

Pertama-tama, mari kita bedah dulu isi bukunya secara singkat. Buku yang tergolong sebagai graphic novel ini mengisahkan persahabatan lima kawan bernama Tika, Jojo, Dinda, Mario, dan Tami. Kisah mereka akan terbagi menjad tiga bab, yang masing-masing diberi judul Rumah Hantu, Baju Kerja Papa, dan Tami si Anak Berbakti.

Bab Rumah Hantu mengisahkan tentang sebuah rumah tua di daerah Kota Lama yang sudah lama tidak berpenghuni. Rumah itu terletak di pinggir jalan sehingga selalu dilewati oleh Jojo, Mario, Tika, dan Tami. Namun, mereka selalu mengalami kejadian janggal saat berjalan di sekitar rumah itu. Hingga suatu hari, mereka mendapati rumah tersebut sudah dibeli oleh keluarga Dinda dan sedang dilakukan renovasi agar layak huni.

First of all, aku sangat suka bab ini karena berhasil menjadi pembuka yang mengenalkan tokoh dan latar kebudayaan Tionghoa peranakan dengan sangat baik. Tiap tokoh diperkenalkan dengan caranya tersendiri sehingga pembaca bisa tahu latar belakang mereka lewat aktivitas sehari-hari. Begitu pula dengan potret kebudayaan yang dikenalkan pada bab ini adalah struktur bangunan rumah orang Tionghoa peranakan yang khas dan mempunyai ciri unik.

Pada bab yang berjudul Baju Kerja Papa, kita akan lebih dekat dengan kisah keseharian Jojo sebagai anak penjual lumpia. Keluarga Jojo memiliki kedai masakan yang diberi nama Kedai 5 Rasa yang dikelola langsung oleh sang ayah. Anehnya, ayah Jojo selalu memakai kaos yang sama, yaitu kaos merah berukuran besar dan berkerah. Setelah Jojo membantu ayahnya berbelanja hingga membuat lumpia, Jojo jadi paham pekerjaan ayahnya itu sangat berat sehingga harus berpakaian dengan nyaman.

Sebenarnya di bab ini, aku kira penulis akan mengangkat soal latar belakang budaya jenis kaos yang ayah Jojo pakai. Namun, perkiraanku sangat melenceng karena penulis justru mengenalkan berbagai masakan khas Tiongkok yang sudah diadaptasi ke dalam budaya lokal, seperti lumpia, capcai, dan tahu. Tidak lupa, penulis pun menyelipkan informasi tambahan untuk menjelaskan maksud dari istilah "lima rasa" yang sangat identik dengan masakan khas Tionghoa.

Kemudian bab terakhir diberi judul Tami si Anak Berbakti. Mengisahkan tentang keluarga Tami yang sedang mengalami masalah ekonomi sehingga ayahnya memutuskan untuk jadi driver ojek online. Di rumah, Tami juga harus menjaga kedua adiknya sehingga ia tidak punya waktu bermain. Suatu ketika, sekolah mengumumkan jadwal study tour ke Candi Borobudur, tetapi Tami memutuskan tidak ikut karena terkendala dengan biaya. Maka, keempat kawan Tami kemudian merencanakan suatu proyek rahasia untuk membantu Tami.

Sedikit berbeda dengan dua bab sebelumnya, yang masing-masing tokohnya memiliki keterkaitan langsung dengan budaya Tionghoa. Pada bab ini, kisah Tami justru mengajak pembaca untuk mengenali legenda dan cerita rakyat asli Tionghoa yang berkaitan dengan bakti anak pada keluarganya. Pada bab ini juga penulis berusaha menunjukkan potret sikap gotong royong dan saling membantu antarsesama.

Overall, buku ini ternyata berhasil memberikan makna lebih mendalam perihal humanisme dan toleransi kebudayaan. Tidak hanya menyuguhkan kisah anak-anak saja, tetapi buku ini turut mengenalkan budaya Tionghoa peranakan yang rupanya sudah sangat akrab dengan kebudayaan lokal. Perpaduan beberapa aspek yang berbeda ini rupanya bisa menjadi harmoni yang menakjubkan. 

Hal yang paling aku suka dari buku ini adalah setiap bab selalu ditutup dengan trivia yang menjelaskan secara singkat perihal kebudayaan Tionghoa yang sedang dibahas di ceritanya. Bahkan penulis juga menyajikan informasi soal akulturasi budaya sehingga kita sangat familier dengan versi soalnya. Tidak heran kalau buku ini dinilai sangat tepat untuk menggambarkan kisah persahabatan, kebudayaan, dan toleransi.

Identitas buku

Judul Buku: Anak-anak Kota Lama

Pengarang dan ilustrator: Renny Yaniar dan Dionesia Nadya D.

Penerbit: Gramedia Pustaka Utama (GPU)

Tahun terbit: 2020

Tebal buku: 80 halaman

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak