Puluhan ribu orang turun ke jalan di Yangon, kota terbesar Myanmar untuk hari kelima berturut-turut pada hari Rabu (10/02/2021), menentang larangan protes ketika militer bergerak untuk memperketat cengkeramannya di negara itu.
Massa menuntut pembebasan Aung San Suu Kyi, menghadapi polisi yang berusaha untuk membubarkan kerumunan dengan gas air mata dan peluru karet. Peningkatan kekuatan militer sejak terjadinya kudeta di negara itu pekan lalu memicu kecaman internasional, apalagi setelah insiden petugas melepaskan tembakan langsung pada satu demonstrasi di ibu kota Naypyidaw tersebar luas.
Dua orang terluka parah dalam insiden tersebut, termasuk seorang wanita yang ditembak di kepala. Gambar yang menggambarkan dirinya pada saat-saat setelah dia ditembak pada hari Rabu muncul di spanduk protes besar dan telah dibagikan secara luas secara online.
"Mereka dapat menembak seorang wanita muda tetapi mereka tidak dapat mencuri harapan dan ketetapan hati orang-orang yang bertekad," cuit salah satu anggota PBB Tom Andrews di Twitter pada Rabu.
Massa besar-besaran kembali ke jalan-jalan Yangon pada hari Rabu, di mana sehari sebelumnya mereka berhadapan dengan barisan polisi anti huru hara yang berdiri di samping truk meriam air dekat kediaman Aung San Suu Kyi.
Melansir dari Channel New Asia, Aung San Suu Kyi ditahan pada hari Selasa bersama dengan 30 orang lainnya-termasuk seorang jurnalis dari penyiar lokal DVB. Penangkapan mereka di kota terbesar kedua Myanmar terjadi ketika polisi menembakkan gas air mata ke pengunjuk rasa yang mengibarkan bendera NLD merah.
Media pemerintah melaporkan massa telah melemparkan benda-benda ke polisi dan melukai empat petugas. Aksi protes dimulai pada akhir pekan lalu dan ratusan pengunjuk rasa di Mandalay pada hari Rabu, kembali ke jalan membawa banyak spanduk yang bertuliskan "Gulingkan kediktatoran".
Di tempat lain, empat petugas membelot untuk bergabung dalam protes anti-kudeta, menurut laporan media lokal.
Pihak militer Myanmar membenarkan perebutan kekuasaan pekan lalu dengan mengklaim kecurangan pemilu yang meluas dalam jajak pendapat pada bulan November lalu, yang dimenangkan secara telak olah partai Aung San Suu Kyi.
Dalam 10 hari sejak panglima militer Min Aung Hlaing menggulingkan Aung San Suu Kyi dari kekuasaan, Myanmar diguncang oleh protes besar-besaran.
Staf medis, pengawas lalu lintas udara, dan guru melakukan mogok kerja, meskipun masih ada juga warga yang tetap beraktifitas seperti biasa dengan mengenakan pita merah di seragam mereka dan saling melemparkan salam tiga jari.
Pada hari Rabu, militer mengumumkan bahwa hotline khusus telah disiapkan untuk pegawai negeri sipil untuk melaporkan jika mereka diintimidasi karena tidak berpartisipasi dalam kegiatan anti-kudeta.
Amerika Serikat yang turut mengecam kudeta tersebut, pada hari Selasa menyerukan agar para jenderal mundur. Sementara, Kepala kebijakan luar negeri Uni Eropa Josep Borrell memperingatkan jika pihaknya dapat memberlakukan sanksi baru terhadap militer Myanmar.