Sekali waktu, Kerajaan Pemecutan mengadakan sayembara untuk menyembuhkan penyakit yang diderita Anak Agung Ayu Rai atau Raden Siti Khodijah. Penyakit yang hampir tak ada obatnya. Siapapun yang berhasil menyembuhkan penyakit tersebut berhak mempersunting Ayu Rai untuk menjadi permaisurinya. Kemudian Raden Sastorningrat pun mencoba peruntungannya dan berhasil. Karena keberhasilannya lah, ia dinikahkan oleh Siti Khodijah dan diberi hadiah Kampung Kepaon untuk ia dan pasukannya.
Entah zaman apa kisah itu terjadi, Efri menceritakannya dengan seksama. Tutur narasinya berhasil membawa kami seakan hadir dalam masa Kepaon terbentuk. Sepenggal kisah pendek itu cukup menjadi penawar rasa penasaran kami, mengapa ada sejumput Islam di Pulau Bali.
Sore itu, Tim KKN Mandiri Pengakuan (MP) UIN Walisongo dan Tim Humanis English Teaching berkumpul mendengar Efri Arsyad, cucu H. Ahmad Ja'far, yang bercerita di Komplek Makam Muslim Kampung Islam Kepaon. Kami memang tengah melakukan ziarah ke Makam H. Ahmad Ja’far bin Usman bersama Efri.
Kondisi makam saat itu sangat sepi, hanya ada kami, sebab sebenarnya makam sudah ingin ditutup. Namun atas permohonan izin untuk berziarah, akhirnya kami diizinkan untuk mendoakan sosok yang kami ziarahi, pada Selasa (29/03).
Setelah berziarah, kami hanya membutuhkan waktu kurang dari 5 menit berkendara motor untuk sampai ke Kampung Islam Kepaon yang kemudian disambut dengan gardu hijau kokoh yang bertuliskan “Kampung Islam Kepaon”. Dengan masjid hijau bernama al Muhajirin serta hilir mudiknya warga dengan atribut muslim membuat kami sejenak lupa bahwa sedang berada di Bali. Kami baru tersadar ketika melihat plat motor, suara orang bercengkrama, serta suara Trisandya yang menandakan bahwa sedang berada di Pulau Bali.
Hal menarik dari kampung Islam di Jalan Raya Pemogan ini adalah letaknya di tengah Kota Denpasar dengan masyarakat muslim yang mayoritas merupakan Bali wit/ wed atau Bali asli. Kepaon merupakan kampung yang terdata menjadi Banjar dengan ketua yayasan al Muhajirin sebagai ketuanya. Menurut pemaparan Efri, H. Ja’far pernah menjabat sebagai ketua banjar kampung tersebut.
Sambil berkunjung ke Masjid al Muhajirin, Efri mengajak kami untuk berkunjung ke rumahnya. Saat itu, ia bercerita tentang kakeknya yang memiliki peran cukup besar dan merupakan orang yang cukup disegani sebagai juru bicara kampung kepada Puri Pemecutan. Di beberapa kesempatan, raja kerap berkunjung ke rumah Efri untuk berdiskusi perihal masalah yang ada.
Suasana jalan cukup ramai ketika kami menuju kediaman Efri, hal tersebut karena waktu Maghrib telah tiba sehingga para warga berbondong-bondong untuk pergi ke masjid. Namun demikian, kami tetap diizinkan masuk terlebih dahulu untuk kemudian dipersilakan shalat Maghrib berjamaah.
Rumah sederhana yang di tempati Efri dan keluarga membuat kita tak sadar bahwa sedang berada di rumah keluarga Puri Pemecutan. Di sana, keluarga H.Ja’far memberi sambutan yang cukup hangat dilengkapi dengan makanan khas Bali yang turut disajikan untuk kami.
Setelah makan, kami diceritakan tentang sejarah Kampung Kepaon sambil disajikan kopi dan teh serta beberapa makanan sebagai teman mengobrol dengan keluarga H. Ja’far.
Di tengah cerita Efri yang kami simak dengan seksama, muncul pertanyaan terkait alasan dinamakannya Kampung Kepaon. Dengan wajah santai dan seruputan minum sesekali, Efri kembali menjelaskan bahwa nama kampung tersebut berasal dari kata ke pawon yang berarti ke dapur yang kemudian berubah menjadi Kepaon. Karena pada jaman tersebut, desa Kepaon dikelilingi oleh pawon atau dapur.
Ikatan kuat yang terjalin antara Kepaon dengan Pemecutan membuat dua elemen ini masih kerap berkolaborasi di beberapa kesempatan sampai sekarang. Berbeda dengan beberapa Kampung Islam di Bali, Kepaon masih dikuasai oleh masyarakat asli Bali yang menjunjung adat dan tradisinya.
Karena waktu sudah bertambah malam, akhirnya kami pamit dari kediaman keluarga H. Ja’far tersebut. Pertemuan yang sungguh kami syukuri tersebut ditutup dengan jawaban akan harmonisasi Bali oleh Efri.
“Kita merasa lebih nyaman sekalipun di Bali. Baik antara Hindu dan Muslim itu sudah harmoni tanpa dicari letak harmoninya karena memang dari dulu seperti itu”