Beberapa hari terakhir ini negara kita terasa seperti sedang di ujung tanduk. Apa yang dimulai sebagai protes soal tunjangan anggota dewan, dalam waktu kurang dari seminggu, berubah menjadi gelombang amarah massal yang berujung pada kerusuhan, pembakaran, dan penjarahan.
Banyak yang bingung, kok bisa sampai separah ini? Gimana ceritanya dari sekadar orasi di depan gedung DPR, bisa sampai ada penjarahan yang disiarkan live di TikTok? Biar nggak simpang siur, yuk kita urutkan kejadiannya dari awal.
1. Percikan Api Pertama: Pesan Berantai di Grup WA (25 Agustus)
Semua ini berawal dari sebuah pesan sederhana yang beredar di grup-grup WhatsApp, sekitar seminggu sebelum aksi. Pesan dari kelompok yang menamakan diri "Revolusi Rakyat Indonesia" ini mengajak buruh, petani, dan mahasiswa untuk turun ke jalan pada 25 Agustus.
Tuntutan utamanya saat itu sangat spesifik: protes soal tunjangan fantastis anggota DPR yang lagi viral.
2. Saat Massa Mulai Diabaikan (Malam 25 Agustus)
Ajakan itu ternyata nggak main-main. Ribuan orang dari berbagai kalangan benar-benar datang dan memadati kawasan DPR. Mereka berorasi hingga malam, tapi hasilnya nihil. Tak ada satu pun anggota dewan yang keluar menemui mereka. Rasa diabaikan ini mulai memanaskan suasana.
Puncaknya sekitar pukul 21.15 WIB, bentrokan pertama pecah di kolong jembatan layang Pejompongan. Polisi mulai bertindak represif, dan malam itu, 169 pelajar yang ikut aksi diamankan.
3. Gelombang Kedua Datang: Aksi Serikat Buruh (28 Agustus)
Tiga hari kemudian, gelombang demo kedua datang, kali ini dimotori oleh Serikat Buruh. Tuntutan mereka lebih luas, mencakup isu outsourcing, upah murah, hingga RUU Perampasan Aset. Awalnya, aksi ini berjalan super damai dan bahkan selesai pada jam 12 siang.
Tapi, setelah massa buruh bubar, datanglah gelombang massa baru yang terdiri dari mahasiswa dan pelajar. Mereka kembali membawa tuntutan awal yang lebih keras: Bubarkan DPR! dan cabut semua tunjangan dewan.
4. Titik Didih: Tragedi Affan Kurniawan (Malam 28 Agustus)
Inilah momen yang mengubah segalanya. Di tengah situasi yang mulai memanas, sebuah kendaraan taktis (rantis) Brimob secara tragis melindas seorang pengemudi ojek online bernama Affan Kurniawan hingga tewas. Affan saat itu kabarnya sedang mengantarkan pesanan.
Kematian Affan menjadi pemantik ledakan amarah yang jauh lebih besar. Solidaritas para pengemudi ojol seketika berkobar. Malam itu juga, ribuan ojol mengepung Mako Brimob di Kwitang, Jakarta Pusat.
Kemarahan ini dengan cepat menyebar ke kota-kota lain di seluruh Indonesia. Pada malam 29 Agustus, bentrokan besar terjadi di mana-mana. Massa yang marah membalas dengan membakar gedung DPRD, pos polisi, dan berbagai fasilitas umum.
5. Dari Amarah ke Penjarahan Live TikTok (30 Agustus)
Pada Sabtu pagi, situasi sebenarnya mulai sedikit kondusif. Tapi, bara dalam sekam kembali menyala, kali ini dipicu oleh informasi di media sosial.
Beredar kabar bahwa sejumlah anggota DPR, termasuk Ahmad Sahroni, kabur ke luar negeri untuk menghindari amukan massa.
Informasi ini menjadi pemicu babak baru yang paling brutal: penjarahan. Puncaknya adalah saat massa menyerbu dan menjarah rumah Ahmad Sahroni di Tanjung Priok. Yang bikin miris sekaligus ngeri, aksi ini disiarkan secara live di TikTok.
Netizen yang menonton siaran langsung itu, alih-alih ngeri, justru ikut memprovokasi. Mereka ramai-ramai menulis di kolom komentar, menyuruh massa untuk melanjutkan penjarahan ke rumah Eko Patrio, Uya Kuya, Nafa Urbach, hingga Menteri Keuangan Sri Mulyani—nama-nama yang dianggap telah melukai hati rakyat dengan pernyataan kontroversial mereka.
Dari sebuah pesan WhatsApp, dalam waktu kurang dari seminggu, negara kita menyaksikan bagaimana amarah yang diabaikan bisa berubah menjadi api yang meluluhlantakkan segalanya.