Waspada Kecanduan Paylater: Digital Debt Trap yang Mengincar Generasi Muda

M. Reza Sulaiman
Waspada Kecanduan Paylater: Digital Debt Trap yang Mengincar Generasi Muda
Ilustrasi belanja menggunakan paylater (Freepik/tirachardz)

Dalam beberapa tahun terakhir, layanan Buy Now, Pay Later (BNPL), atau yang lebih kita kenal sebagai paylater, telah menjadi tren global. Tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di berbagai negara, paylater digunakan sebagai solusi belanja cepat tanpa harus membayar langsung.

Bagi generasi muda, fitur ini terasa sangat praktis dan fleksibel. Namun, di balik kenyamanan tersebut, para pakar keuangan memperingatkan adanya risiko yang perlu diwaspadai.

'Paylater' di Mana-mana: Tren yang Gak Ada Matinya

Berdasarkan laporan Fintech Futures, pasar global BNPL diperkirakan akan tumbuh sebanyak 13,7% pada tahun 2025, mencapai lebih dari US$560 miliar nilai transaksi. Pertumbuhan ini banyak dipengaruhi oleh merek-merek besar seperti Klarna, Afterpay, dan PayPal.

Data ini menunjukkan bahwa paylater telah menjadi bagian tak terpisahkan dari sistem pembayaran modern di seluruh dunia.

Kenapa Sih 'Paylater' Begitu Menggoda?

Bagi anak muda yang sering dihadapkan dengan keterbatasan dana, paylater menawarkan beberapa keuntungan. Fitur ini memungkinkan pembeli untuk membeli kebutuhan mendesak tanpa harus pusing karena uang di dompet sedang mepet.

Proses pengajuannya yang cepat, tidak serumit kartu kredit, dan pilihan cicilan yang terasa ringan menjadikan paylater sebagai pilihan favorit.

Survei dari CFPB (Biro Perlindungan Keuangan Konsumen AS) menemukan bahwa 1 dari 5 konsumen dengan riwayat kredit aktif pernah menggunakan BNPL dalam kurun waktu setahun terakhir. A

ngka tersebut menunjukkan bahwa paylater juga dapat membantu akses finansial bagi mereka yang tidak bisa atau belum punya kartu kredit.

Sisi Gelapnya: Ilusi 'Belanja Gratis' yang Bikin Boncos

Meskipun kelihatannya fitur ini sangat menguntungkan, di satu sisi, paylater bisa menimbulkan masalah baru. Berdasarkan laporan dari AP, fitur ini sering membuat seseorang berbelanja lebih banyak dari yang direncanakan, karena adanya ilusi “belanja tanpa bayar langsung”.

Akibatnya, tanpa disadari, utang pun turut menggunung. Penggunanya juga memiliki risiko terjerat dalam siklus utang, karena seringkali hanya membayar jumlah minimum atau bahkan menunda-nunda pelunasan.

Gen Z, Si Paling Melek Digital tapi Rentan 'Digital Debt Trap'

Generasi muda dikenal sangat melek digital, tetapi belum tentu melek finansial. Mudahnya mengakses paylater membuat mereka sangat rentan terhadap gaya hidup konsumtif.

Fenomena ini bahkan melahirkan istilah baru, “digital debt trap”, yaitu kondisi ketika seseorang terus menambah cicilan paylater hanya untuk bisa menutup tagihan sebelumnya.

Berdasarkan laporan dari Morgan Stanley, disebutkan bahwa BNPL sudah mencakup kurang lebih 6% dari total transaksi e-commerce di Amerika Serikat.

Jika tren ini terus meningkat tanpa adanya edukasi keuangan yang tepat, maka generasi muda dapat menghadapi risiko finansial yang sangat serius di masa depan.

Jadi, Gimana Biar Gak Terjebak?

Paylater tidak selamanya buruk, justru bisa memberikan banyak manfaat jika digunakan dengan bijak. Agar kamu tidak kebablasan dalam menggunakannya, cobalah untuk:

  • Menggunakannya hanya untuk kebutuhan yang mendesak, bukan keinginan sesaat.
  • Membatasi total cicilan maksimal 30% dari penghasilan bulananmu.
  • Disiplin dalam membayar tagihan tepat waktu untuk menghindari denda.

Paylater memang memberi kemudahan, terutama bagi generasi muda yang ingin serba cepat. Namun, di balik fleksibilitas itu, ada jebakan finansial yang berbahaya jika tidak dikelola dengan baik.

Sebelum menekan tombol “Bayar Nanti”, tanyakan dulu pada dirimu sendiri, "Apakah ini benar-benar kebutuhan, atau sekadar keinginan karena FOMO?"

Penulis: Flovian Aiko

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak