Lebih dari Sekadar Slogan: Urgensi Membangun Ruang Aman bagi Perempuan

M. Reza Sulaiman | Ernik Budi Rahayu
Lebih dari Sekadar Slogan: Urgensi Membangun Ruang Aman bagi Perempuan
ilustrasi Kebebasan Perempuan (pexels.com/Tima Miroshnichenko)

Perjuangan para puan untuk terus melawan tampaknya memang tak akan pernah padam. Gerakan aktivisme dan kampanye terus digaungkan agar perempuan mendapatkan hak-haknya.

Pada momentum ini, perempuan di berbagai daerah kembali menggelar Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (16 HAKTP). Tema yang diangkat pada tahun ini adalah “Kita Punya Andil, Kembalikan Ruang Aman”.

Tema tersebut bukan sekadar slogan seremonial belaka, melainkan panggilan untuk menyadarkan bahwa ruang aman bagi perempuan tidak akan pulih hanya dengan regulasi dan lembaga. Istilah “ruang aman” yang digaungkan menjadi simbol dari keberanian kolektif untuk bersuara dan bertindak, terutama ketika kasus kekerasan terus meningkat, baik secara fisik, psikis, seksual, maupun digital.

Data dari Catatan Tahunan Komnas Perempuan 2024 menunjukkan peningkatan kasus kekerasan terhadap perempuan sebesar 14% dari tahun sebelumnya, mencapai 330.097 kasus. Angka ini mengkhawatirkan. Banyak perempuan yang masih memilih bungkam karena takut disalahkan, tidak dipercaya, kehilangan pekerjaan, atau kembali dipaksa hidup dengan pelaku.

Dalam konteks ini, kampanye 16 HAKTP menjadi momentum penting untuk membuka mata publik bahwa kekerasan bukan hanya urusan pribadi korban, melainkan persoalan struktural yang perlu kita selesaikan bersama.

Penulis melihat bahwa perempuan hidup dalam tiga ruang yang seharusnya bisa memberi keamanan: ruang privat, ruang publik, dan ruang digital. Ketika ketiga ruang ini tidak mampu memberikan perlindungan, maka hak dasar perempuan untuk hidup tanpa rasa takut tidak akan terpenuhi.

1. Ruang Privat

Ruang privat sering dianggap sebagai tempat paling aman. Namun, sering kali justru di sinilah luka dimulai. KDRT, gaslighting, pengendalian, hingga kekerasan dalam pacaran sering dinormalisasi sebagai masalah privat yang aibnya harus disimpan. Akhirnya, banyak korban memilih diam karena takut disalahkan.

Relasi dan ketergantungan ekonomi turut membuat perempuan sulit keluar dari kekerasan. Di sinilah andil kita dimulai: berhenti menutup-nutupi kasus dan berhenti menyalahkan korban. Ketika masyarakat mulai membuka ruang untuk mendengar dan memvalidasi, maka satu pintu menuju ruang aman telah berhasil dikembalikan.

2. Ruang Publik

Ruang publik pun masih jauh dari kata aman. Ketika perempuan masih harus mempertimbangkan pakaian apa yang aman, rute mana yang lebih terang, dan jam berapa mereka sebaiknya pulang, itu tandanya ada yang salah. Ruang publik, dari jalanan hingga tempat kerja, masih menyimpan banyak bentuk kekerasan, termasuk catcalling, pelecehan di transportasi, hingga intimidasi.

Peran masyarakat di ruang publik sangatlah penting. Bystander intervention (mengintervensi secara aman) menjadi langkah sederhana yang berdampak besar. Kita bisa berusaha membantu korban keluar dari situasi, menegur pelaku dengan aman, atau sekadar berdiri di dekat korban untuk menunjukkan bahwa ia tidak sendirian.

3. Ruang Digital

Internet memberikan ruang untuk belajar, bekerja, dan mengekspresikan diri. Namun, bagi perempuan, ruang digital juga membawa ancaman baru: cyberharassment, doxing, penyebaran foto intim tanpa izin, hingga fenomena deepfake porno yang semakin marak.

Hadirnya UU TPKS sudah memberikan dasar hukum untuk menindak pelaku, tetapi pengetahuan masyarakat tentang kekerasan digital masih sangat rendah. Yang sering terjadi justru masyarakat ikut menyebarkan konten, menambah kerusakan yang seharusnya bisa dihentikan.

Andil kita di ruang digital sebenarnya sederhana: tidak menyebarkan konten kekerasan, melaporkan akun pelaku, dan melindungi identitas korban.

Aman bukan hanya tugas dan urusan hukum; aman adalah kerja budaya. Kita punya andil, mulai dari percakapan sehari-hari hingga bagaimana kita menanggapi korban di dunia digital. Jika perempuan masih harus takut di rumah, di jalan, dan di dunia maya, itu berarti kita semua masih punya pekerjaan rumah.

Ruang aman mungkin terdengar seperti konsep besar, tetapi ia dimulai dari tindakan kecil: berani tidak diam, berani percaya pada korban, dan berani melawan budaya yang melanggengkan kekerasan. Kita punya andil, kita punya suara. Dari suara-suara kecil itulah ruang aman bisa kembali ditemukan.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak