"Keberagaman itu bukan hanya dikatakan atau diomongkan, tapi harus merasakan langsung supaya tahu indahnya keberagaman yang sesungguhnya," kata Ai Nurhidayat, Penggagas Kelas Multikultural.
Indonesia memang negara kaya raya. Bukan hanya kaya hartanya, tetapi Indonesia juga memiliki suku bangsa, bahasa, agama dan adat istiadat yang berbeda-beda. Di balik itu, masih banyak konflik sosial yang terjadi di berbagai wilayah. Pada tahun 1999,, Ambon dijadikan lapangan darah, kala itu konflik yang terjadi antar kelompok agama, hingga terjadi peperangan yang menimbulkan pertikaian yang tak kunjung usai.
Sejarah ini menjadi pertimbangan saya ketika lulus Madrasah Tsanawiyah (MTs), pada tahun 2019 waktunya pelepasan. Saatnya melanjutkan tujuan pendidikan, tibalah keputusanku untuk masuk Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). Sempat ragu untuk masuk sekolah ini. Sebab, sekolah ini sedikit berbeda dari sekolah lainnya.
Siswa yang berasal dari berbagai pelosok yang ada di Indonesia, kian melanjutkan pendidikannya ke sekolah ini. Ya, sekolah SMK Bakti Karya Parigi (SBK), sekolah berbasis kejuruan yang berada di tengah-tengah Kabupaten Pangandaran.
SMK Bakti Karya Parigi (SBK) menerapkan program multikultural, satu-satunya sekolah yang memiliki program seperti ini di Kabupaten Pangandaran. Sempat menjadi sorotan publik karena pernah dituduh sekolah kristenisasi, padahal kesalahpahaman itu terjadi karena orang sekitar masih belum menerima situasi seperti ini, belum melek untuk melihat perbedaan yang sesungguhnya.
Perjalanan Menerima Keberagaman
Nur Aziz itulah nama saya, hobinya menggerakan mouse dan memijat keyboard untuk menghasilkan sebuah karya yang bermakna. Saya bertempat tinggal di Dusun Cikuya, Desa Kertajaya, Kecamatan Cigugur, Kabupaten Pangandaran.
Lepas Madrasah Tsanawiyah, saya melanjutkan pendidikan ke SMK Bakti Karya Parigi, 33 menit naik sepeda motor dari rumah, saya tinggal di asrama "Samana Anantara". Asrama ini merupakan bagian dari sekolah SBK. Setelah masuk sekolah, saya merasa tertampar dengan keadaan. Kenapa? Saya memiliki latar belakang yang cukup minim, kurangnya sosialisasi dengan orang luar, jangankan luar pulau luar kabupaten saja jarang banget.
Setelah masuk SMK Bakti Karya Parigi pada tahun 2019 saya berusaha untuk beradaptasi dengan lingkungan sekitar, karena SBK memiliki program kelas multikultural di mana keberagaman lebih diprioritaskan. Teman angkatan saya ada 33 orang waktu itu, yang lebih mengejutkan saya sendiri melihat depan mata langsung wajah dan postur tubuh orang Papua. Memiliki rambut keriting, postur tinggi dan kulit hitam, membuat saya merasa takut akan terjadi hal yang tak diinginkan.
Hari-hari berlalu, saya mulai dekat dengan mereka. Nyatanya mereka tak sejahat yang saya pikirkan, orang Papua itu jahat, galak dan seram tapi itu semua tidak benar. Pertama kali yang saya alami yaitu bahasa mereka berbeda, ada beberapa orang yang susah untuk melafalkan bahasa Indonesia, terpaksa harus mencerna bahasa daerahnya dan menanyakan ke teman sebelahnya yang mengerti bahasanya.
Bahkan ada beberapa kejadian konyol yang baru diceritakan setelah 1 tahun kemudian, namanya Marice, dia berasal dari Papua Barat. Mendengar kata ‘naon’ dalam bahasa sunda, dia sempat garuk-garuk kepala dan ternyata yang membuatnya heran, ‘naon’ itu dalam bahasa daerahnya Papua Barat yang artinya berak, cukup kaget bukan? Saya juga sempat terbahak-bahak mendengar cerita ini.
Rutinitas saya di asrama yaitu makan bareng, salah satu momen yang berkesan sekali, saya “Bismillahirrahmanirrahim” temanku di sebelah nunduk sambil memanjatkan doanya.
Malam harinya di asrama sering melaksanakan rutinitas pengajian di Pesantren Ekologi Hidayatul Irpan. Di sana saya sendiri seorang muslim yang ngaji Al-Qur’an dan kitab kuning, tapi mereka di bawah bernyanyi melantunkan lagu rohaninya. Jika saya berangkat shalat jumat ke masjid, bagaimana dengan mereka yang beragama kristen? Ya, mereka berangkat ke gereja yang berada di Pangandaran setiap hari Sabtu sore dan Minggu pagi.
Dengarkan Cerita Unik Mereka
Sampai pada titik keakraban, saya sering bercanda sama mereka. Suatu hari saya sedang baca buku di bawah pohon nangka datanglah teman saya, Friska Mabel. Sapaan akrabnya, Friska menceritakan keheranannya selama tinggal di pulau jawa, khususnya sunda kenapa tidak boleh berisik kalau sudah waktu magrib.
Dia bilang kalau di kampungnya Wamena Provinsi Papua kebiasaan berisik menjelang malam itu tidak dipermasalahkan, tapi kalau di sini sangat sensitif sekali kalau berisik waktu magrib.
Ada juga Erni berasal dari Papua Barat, dia bilang “sa baru pertama kalinya melihat sawah depan mata, apalagi menginjakkan kakinya” sambil tersenyum manis. Memangnya di Papua Barat tidak ada sawah? Dia bilang kalau ditempat lain ada, tapi di tempatnya tinggalnya itu tidak ada sama sekali. Makanya saya lihat seorang Erni ini begitu semangat dan bahagia ketika melihat sawah di Pulau Jawa.
Jelang Ramadan yang Beragam
Ramadan sendiri salah satu bulan yang penuh berkah dan diwajibkan berpuasa bagi umat muslim, inilah kisah saya ketika menjalankan tradisi puasa ramadhan ditengah perbedaan. Seringkali saya mendengar ungkapan “Aku juga puasa deh...” padahal dia seorang yang beragama kristen. Saya takjub sama ungkapan tersebut, lebih menghargai teman-temannya dalam menjalankan ibadah puasa, walaupun tidak ikut puasa mereka tetap menutupinya sebagai bentuk menghargai sesama umat beragama. Selain itu, saya merasakan juga sahur bareng hingga buka bersama.
Dari Malmingser, hingga Festival 28 Bahasa
Setelah memasuki lingkungan yang beragam dan penuh perbedaan, saya sebagai siswa mencoba untuk mencerna butiran yang bergulir di pikiranku. “Papua itu serang, orangnya galak dan gak asik bla bla bla”.
Hal tersebut terungkap ketika sudah bergabung dengan mereka, “nyatanya aku baik-baik saja. Selain bisa berteman dengan mereka, aku juga bisa berkolaborasi dalam berkarya hingga berpendapat dari masing-masing pemikirannya,” gumam saya dalam hati.
Ya, saya bisa berkolaborasi bersama mereka dalam menjadikan sebuah karya yang bermakna. Salah satu acara yang kerap sering dilaksanakan yaitu Malam Minggu Seru (Malmingser). Kalau orang tua yang sering melarang kita untuk keluar dari rumah pada malam minggu, eits di sini tidak ada istilah dilarang.
Yang artinya, saya bersama mereka diwajibkan untuk keluar pada malam minggu, dengan adanya malmingser bersama mereka lebih bisa membangun kerjasama hingga kekompakkan dalam mewujudkan penampilan. Sebab, malmingser ini merupakan salah satu wadah bagi para siswa yang ingin unjuk bakat. Selain siswa, warga sekitar juga turut menghadiri malmingser ini sebagai sarana hiburan pada malam hari.
“Merayakan Keberagaman”, Festival 28 Bahasa sendiri adalah perayaan Bulan Bahasa dan Sumpah Pemuda yang dirayakan pada satu tahun sekali. Dalam acara ini, berbagai macam kegiatan dilaksanakan, mulai dari workshop, pameran kuliner daerah, orasi kebahasaan dan pementasan budaya daerah. Dalam Festival 28 Bahasa didalamnya termasuk ada rumah-rumah adat yang dibangun oleh para siswa dan warga, pengerjaan dilakukan dengan gotong royong, salah satunya Honai dari rumah adat Papua.
Di SMK Bakti Karya Parigi, Saya Belajar
Hampir tiga tahun menjalani lika liku keberagaman yang telah saya alami, banyak sekali butiran yang saya dapatkan ketika bergabung dengan mereka, saya belajar banyak hal dimulai dari cara menghargai orang yang berbeda, berkolaborasi untuk mewujudkan kebersamaan, dan saya juga mendapatkan cerita inspiratif yang sesungguhnya mereka alami. Ternyata, berbeda itu indah!