Kalau kamu bertanya satu persatu pada setiap orang di sekitarmu (iya sekitar saja, nggak perlu ke-250juta orang di seluruh penjuru negeri), kemungkinan semua akan setuju, keberagaman itu indah. Bahkan untuk mempertebal pernyataan yang konon diamini satu Indonesia itu, satu negara ngotot sepakat memboyong semboyan (bila ditulis hari ini, mungkin namanya quote) Bhinneka Tunggal Ika, walaupun berbeda suku, agama, ras, golongan tetapi tetap satu jua. Satu dalam kalimat tersebut, semoga artinya benar-benar kesamaan dalam level sebagai warga negara yang sama, atau dalam kata yang lebih kekinian: setara.
Sebelumnya, kecurigaanmu bahwa tulisan di atas terbaca begitu pesimis benar adanya. Alasanya, mari kita ulik bersama. Agar lebih mudah, realistis, dan sedikit dramatis, kita boleh menggunakan contoh hidup saya (penulis) sebagai media ulik tersebut.
Saya adalah seorang keturunan Jawa-Flores (ibu saya Jogja dan bapak saya Flores), yang secara kasat mata, terlihat begitu Timur; dari warna kulit, rambut, rahang, dan hal-hal lain yang tidak dapat saya jelaskan karena jujur saja saya juga tidak tahu apalagi yang membuat saya tidak pernah diakui sebagai orang Jogja saat berkenalan dengan orang baru. Padahal demi Sri Sultan, KTP saya Jogja!
Hidup dan tinggal di Jogja sejak balita (karena sebelumnya kami sekeluarga tinggal di Lombok), yang berarti saya belajar berbicara bukan dengan Bahasa Jawa, ternyata memperparah krisis identitas tersebut. Ibu sempat bercerita bahwa saya kesusahan saat hendak jajan di warung, atau sampai mengganti sapaan kepada beliau yaitu ibuk, yang sebelumnya adalah mama, untuk sekadar terlihat sama dengan teman-teman yang lain.
Saat dibangku TK, hampir setiap hari saya menjemur diri di bawah sinar matahari karena dulu saya berpikir berada di bawah matahari membuat kulit berkilau, sama seperti kulit teman-teman yang lain. Atau saat di bangku SMP, saya menggunakan banyak sekali jepit rambut agar rambut saya yang kribo ini dapat lebih menempel di kepala dan tidak begitu melayang di udara, karena tidak ada rambut teman-teman saya yang demikian. Atau saat di SMA, kuliah, kerja, dan berelasi dalam masyarakat yang secara jumlah atau mayoritas terlihat begitu berbeda, saya berupaya keras memangkas-menambah-mengubah-menyeragamkan berbagai atribut identitas yang sudah melekat dalam diri. Tidak lain, untuk terlihat sama, atau kalau sama tidak mungkin, minimal perbedaan ini tidak begitu mencolok.
Seumur hidup, saya betul-betul belajar untuk terlihat sama karena dengan terlihat sama itulah saya pikir dapat diterima dalam komunitas. Karena tentu saja berbagai rentetan bullying yang saya terima tidak lain karena perbedaan yang mencolok tersebut. Bhinneka Tunggal Ika, yakin?
Lalu entah sejak kapan, entah sejak Rangga dan Cinta dalam AADC balikan, atau sejak Agnes Monica ganti nama menjadi Agnezmo dan menggelapkan warna kulit, atau sejak Tara Basro mengunggah foto tubuhnya yang bertema selflove, atau entah sejak kapan narasi "berani beda" ini bergaung dan menjadi trend. Pokoknya harus beda, yang oke adalah yang anti-mainstream. Dalam setiap lini gaya hidup seperti; musik, film, fashion, dan bahkan jati diri, berbeda menjadi hal yang begitu menggairahkan. Sedangkan majemuk adalah hal yang ketinggalan zaman.
Misalnya orang-orang mulai mengulik musik dan film yang paling tidak diketahui orang lain, lebih jauh asalnya, lebih independen produksinya, lebih oke. Atau orang-orang mulai bergaya menata pakaian, riasan yang paling berbeda untuk mencapai trend -tidak mengikuti trend- tersebut.
Maksud saya, dengan melihat track record upaya seumur hidup saya untuk dapat diterima dalam masyarakat, hal ini tentu sedikit membingungkan. Walau, ya, sah-sah saja terjadi dalam dinamika kehidupan sosial. Apalagi setelah melihat Prabowo menjadi menteri Jokowi, saya rasa tidak ada lagi hal yang terlalu mengejutkan terjadi di Indonesia.
Sampai suatu hari, seorang teman yang tidak terlalu dekat mengomentari penampilan saya, "rambutnya dikeriting biar ga mainstream ya, mbak?"
Jujur saja dalam hidup, itu adalah momen di mana saya begitu kebingungan harus mengucap nama Tuhan atau setan alas.