Makan Ramah Lingkungan dengan Tadisi Lama, Cara Kembali Menyayangi Bumi

Hikmawan Firdaus | Dini Hariyani
Makan Ramah Lingkungan dengan Tadisi Lama, Cara Kembali Menyayangi Bumi
Ilustrasi makanan beralas daun pisang (Freepik/Freepik)

Konsep sustainable living atau hidup berkelanjutan santer terdengar akhir-akhir ini saat masyarakat mulai menyadari pentingnya kehidupan ramah lingkungan. Namun, jika kita telusuri ke belakang maka hidup berkelanjutan ini sudah diterapkan sejak zaman dahulu oleh nenek moyang kita dalam berbagai bidang kehidupan. Sehingga jika kita melihat sejarah zaman dahulu,kelestarian alam tetap terjaga sementara kebutuhan masyarakat juga ikut terpenuhi. 

Salah satu penerapan hidup keberlanjutan dalam hal makan. Aktivitas satu ini pasti tak lepas dari keseharian kita bukan? Tetapi pernahkah kalian menyadari bahwa makan juga menyumbang permasahalan lingkungan yang cukup besar? Misalnya saja penggunaan alat makan yang tidak ramah lingkungan, pembungkus makanan berakhir di tempat pembuangan hingga sisa sampah makanan yang terbuang percuma menjadi segelintir permasalahan dari aktivitas makan ini.

Melihat Sejarah Penggunaan Bahan Alami Ramah Lingkungan sebagai Alat Makan di Masyarakat Nusantara

Melihat dari kacamata sejarah, dahulu masyarakat Nusantara menggunakan bahan alami untuk alat makan mereka di berbagai tradisi maupun kehidupan keseharian. Mengutip dari laman Historia orang Pasundan akrab dengan tradisi ngaliwet yaitu mengolah nasi liwet lalu memakannya bersama-sama di atas daun lembaran daun pisang. Budaya ini sepertinya diadopsi dari budaya orang Arab melalui pesantren. 

Hal yang sama juga sering terjadi di berbagai daerah di Jawa Tengah dimana masyarakat kerap kali menggunakan daun pisang untuk berbagai acara tradisi seperti kenduri. Sementara itu, penduduk pedalaman dari daerah Ponorogo dan sebagian Jawa Timur biasa menggunakan daun jati untuk alas makan mereka sehari-hari.

Selain berupa dedaunan masyarakat kita zaman dahulu juga banyak yang menggunakan alas berupa piring kayu yang tentunya sangat ramah lingkungan. Mereka juga tidak menggunakan sendok maupun garpu melainkan memakan makanan dengan tangan cesara langsung.

Sayangnya kebiasaan tersebut mulai bergeser karena adanya akulturasi budaya dari luar seperti penggunaan alat makan berupa sendok dan garpu maupun plastik yang berasal dari budaya Eropa. Hal ini awalnya diikuti oleh kaum elit bumiputra yang lama-kelamaan menyebar ke seluruh lapisan masyarakat.

Selain alat makan, masyarakat Indonesia zaman dahulu juga menggunakan bahan alami ramah lingkungan untuk minum maupun menyimpan air, seperti gelas dan botol yang kita kenal sekarang. Alat tersebut berupa kendi yang berasal dari istilah Melayu  yang berarti wadah air (Kompas.com). Kendi ini berguna seperti teko tetapi lebih ramah lingkungan karena berbahan tanah liat. Waktu itu kendi banyak berasal dari Jawa, kendi yang biasa ditaruh di depan rumah dan diperuntukkan bagi orang yang agar mereka tetap bisa minum saat melakukan perjalanan. Adapun gelasnya biasanya berbentuk cangkir kecil yang juga terbuat dari tanah liat.

Untuk pembungkus makanan sendiri orang zaman dulu juga memanfaatkan daun pisang karena belum adanya kemajuan teknologi. Dengan penampangnya yang lebar dan tidak ada getah membuat daun ini tidak berbahaya untuk membungkus makanan. Orang zaman dahulu beranggapan makanan yang dibungkus daun pisang terasa lebih enak. Hal ini benar adanya karena kandungan polifenol yang  menghasilkan aroma khas dan menambah rasa sedap makanan. 

Selain daun pisang, pembungkus makanan ramah lingkungan yang lain adalah besek, wadah berasal dari kerajinan bambu yang berbentuk kotak. Besek ini cukup higenis dan tidak mengandung bahan berbahaya karena tidak ada zat kimia dalam pembuatannya. Besek sudah cukup lama digunakan biasanya untuk menyimpan bumbu dapur atau tempat makanan basah. 

Kembali ke Produk Ramah Lingkungan untuk Makan

Konsep sustainable living ini jika ingin menerapkannya 100 % memang terlihat berat. Aalagi di tengah kemajuan zaman yang menuntut serba cepat membuat kita ingin hal yang serba praktis. Mengutip dari lamaneigeradventure sebenarnya secara praktis konsep ini tidak kemudian menyeluruh pada produk yang 100% ramah lingkungan dan berkelanjutan, akan tetapi kita berupaya mengurangi dampak buruk aktivitas manusia pada lingkungan. Jadi kita berusaha sebisa mungkin menggunakan produk ramah lingkungan untuk menjaga bumi tetap lestari. Salah satu contoh yang  dilakukan oleh Balai Besar Taman Nasional Gunung Leuser Aceh tahun 2021 dengan tajuk “from Kresek to Besek” (Goodnewsfromindonesia). Mereka menggunakan besek bambu sebagai wadah daging kurban menggantikan plastik kresek. 

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak