"Indonesia darurat sampah!" Kata-kata ini mungkin sudah sering kita dengar terutama belakangan ini, baik melalui internet maupun dari mulut orang di sekitar kita. Namun, apa sebenarnya yang dimaksud dengan 'Indonesia darurat sampah'?
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata darurat berarti keadaan sulit yang tidak terduga yang memerlukan tindakan segera.
Dalam konteks ini, hal itu berarti sampah yang ada di Indonesia sudah dianggap mengkhawatirkan dan membutuhkan tindakan segera untuk mengatasinya. Lalu, apakah masalah sampah sudah mencapai tahap 'darurat'? Bagaimana bisa?
Bagi kita yang tinggal di wilayah Kota Yogyakarta dan sekitarnya, tentu masih segar dalam ingatan bagaimana ramainya kota kita saat terjadi penutupan Tempat Pembuangan Sampah (TPS) Piyungan pada Juli tahun lalu.
Rupanya, hal yang sama juga menimpa banyak wilayah di Indonesia. Berdasarkan laporan Bank Dunia dalam The Atlas of Sustainable Development Goals 2023, pada tahun 2020 Indonesia menempati urutan ke-5 dalam penghasil sampah terbesar di dunia.
Sejak tahun itu, di negeri kita yang kecil ini, sebanyak 250 kg sampah dihasilkan per-orangnya dari berbagai penjuru di Indonesia. Bayangkan, 250 kg sampah! Pergi ke mana semua sampah itu selain ke TPS?
Sekarang, kiranya teman-teman dapat mulai memahami mengapa sering terjadi penutupan TPS di daerah kita. Bahkan, dalam beberapa kasus, terjadi demo yang diinisiasikan oleh para warga yang tinggal di sekitar TPS tersebut.
Sebagai contoh, pada demo yang dilakukan baru-baru ini di Desa Tlekung di Kota Batu, Jatim. Seperti yang diliput dalam Batu Times, masyarakat Kota Batu menggelar aksi unjuk rasa di depan Balai Among Tani dengan mengangkat masalah yang sudah disampaikan pada demo warga Desa Tlekung di akhir Juli 2023 lalu.
Beberapa tuntutan yang disampaikan antara lain ketidaksetujuan mereka untuk melakukan perluasan lahan TPS dan desakan untuk memaksimalkan proses pengolahan sampah yang sudah menumpuk, khawatir akan berakibat panjang dengan mencemari lingkungan sekitarnya.
Dari contoh ini, kita dapat melihat bahwa sampah yang kita hasilkan berdampak besar bagi kehidupan orang lain. Jika kita tidak segera mengatasi masalah ini, maka cepat atau lambat kita juga akan terkena dampak merugikannya.
Apa sih dampak merugikan dari sampah? Jawaban nyata dari pertanyaan ini adalah pencemaran yang dihasilkannya. Tahukah teman-teman bahwa Indonesia termasuk negara penghasil gas emisi rumah kaca terbesar di dunia menurut data dari Climate Watch?
Bukan hanya penghasil sampah terbesar ke-5 sedunia, kita juga merupakan peringkat ke-6 untuk penghasil gas karbon dioksida (CO2) terbesar di dunia bersama dengan negara-negara besar seperti Cina, Amerika, India, Uni Eropa, dan Rusia.
Tentunya, kita juga sudah mengetahui dampak emisi gas rumah kaca yang bagaikan racun untuk bumi kita tercinta? Yah, meringislah kita semua yang membaca ini, karena kita juga termasuk bagian dari para peracun itu.
Ingat, ini baru dari segi pencemaran udara; belum lagi jika kita membahas pencemaran air, tanah, suara, dan cahaya. Bertambah banyak 'dosa' yang kita perbuat pada Bumi ini.
Itulah sebabnya kita harus mengurangi tingkat 'penyampahan' kita. Mau sampai kapan kita menggantungkan diri pada TPS?
Data tingkat pengelolaan sampah yang disampaikan oleh Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) menyatakan bahwa dari 15 juta ton timbunan sampah yang dihasilkan di tahun 2023, total pengurangan yang dapat dilakukan hanya berjumlah sekitar 2,54 ton saja, atau 19% dari keseluruhan sampah yang masuk.
Bagaimana dengan 81% sisanya? Ya, tentu saja, tertumpuk di TPS. Bisakah kalian bayangkan betapa penuh dan padat TPS kita saat sampah-sampah terus menumpuk di sana, dengan semua resiko dampak panjang yang akan kita rasakan nantinya?
Pada akhirnya, bukan hanya masyarakat sekitar TPS saja, tetapi seluruh negeri ini bisa terkena dampak dari pencemaran lingkungan yang ditimbulkan oleh sampah.
Tentu saja, bahkan penulis yang menulis ini pun tidak terlepas dari tanggung jawab penumpukan sampah-sampah tersebut. Semua orang pasti menyampah dalam kehidupan mereka; ini adalah fakta.
Masalahnya adalah bagaimana cara kita menekan jumlah sampah yang kita hasilkan. Kita bisa mulai melakukan ini pelan-pelan, sesederhana membawa tote bag ketika hendak berbelanja, mengurangi penggunaan barang sekali-pakai (sedotan plastik, sendok plastik, dll), dan bahkan melalui keputusan-keputusan berbelanja yang bijak (tidak berbelanja secara impulsif).
Hal-hal kecil ini, jika dilakukan secara konsisten akan mengurangi jumlah sampah yang kalian hasilkan setiap harinya. Mungkin pengurangan ini terlihat sedikit, namun jika dilakukan oleh banyak orang, tentu hasilnya akan signifikan.
Sekali lagi, ingatlah bahwa masalah sampah ini dihasilkan oleh semua orang, maka sudah semestinya jika semua orang ikut bertanggung jawab dengan cara mengurangi tingkat penyampahan mereka pribadi.
Persoalan ini tidak bisa hanya diselesaikan oleh sebagian orang Indonesia saja, kita semua harus bergerak untuk mewujudkan Indonesia yang lebih bersih demi diri sendiri dan orang-orang di sekitar kita.
Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS