Ketika itu, seperti biasanya aku berangkat sekolah naik bus ditemani dengan paa pedagang yang memang tiap paginya naik angkutan denganku. Seringkali kudengar mereka mengobrol dengan asyiknya dan terkadang gelak tawa terdengar dari mereka. Namun tak jarang pula umpatan dan hujatan keluar dari obrolan mereka. Seperti sekarang ini, kudengar umpatan keluar dari mulut Mbok Parti.
“Dasar kurang ajar, apa mereka itu bisanya cuma nyuri barang orang, nggak ada kapok-kapoknya padahal sudah digebukin sama orang sekampung,” kata Mbok Parti dengan sambil menepuk-nepuk ayam-ayam dagangannya.
“Kamu itu ngapain marah-marah? Lha mbok sudah…nggak usah dipikirin lagi, toh malingnya udah ditangkap juga,”sahut Mbah Sarni tampak geleng-geleng dengan tingkah Mbok Parti.
“Bener itu kata Mbah Sarni, kamu itu bisanya cuma marah-marah terus, lha mbok sudah diikhlaskan saja barang yang sudah hilang…., mungkin bisa jadi amal kita,” sahut Pakde Parto ikut nimbrung.
Memang tiap hari ada-ada saja unek-unek yang selalu diobrolkan oleh dua orang itu, sampai aku rasanya sudah hafal dengan obrolan keduanya. Apalagi jika Pakde Parto sudah nimbrung, bakal lebih seru lagi perbincangan mereka. Tak jarang aku protes sama Pakde Parto karena angkotnya tak jalan-jalan padahal waktunya sudah mepet dengan jam masuk sekolahku.
“Pakde, angkotnya kapan to jalannya? Saya sudah hampir telat ini,” protesku pada Pakde Parto.
“Bentar sik ya, Lik Jum belum datang kasihan kalau ditinggal,” kata Pakde Parto
Tak lama kemudian Lik Jum yang sejak tadi ditunggu-tunggu datang dengan membawa sekarung tempe yang digendong di punggungya. Ia langsung memasukan karung tersebut ke dalam angkot sambil menggerutu tak jelas.
“Nah…sekarang sudah lengkap, kok tumben Lik datangya agak siang?,” tanya Pakde Parto pada Lik Jum.
“Ngurus suami dulu…, biasa rematiknya baru kambuh,” jawab Lik Jum seadanya.
Segera Pakde Parto tancap gas mengantar kami para penumpang setianya. Di perjalanan tiba-tiba Mbok Parti menyinggung suami Lik Jum. Ia bertanya kenapa tak dibawa berobat ke dokter, padahal memang sudah sering kambuhan penyakit suaminya itu.
“Gimana mau berobat, biayanya saja mahal apalagi kalau sudah disuruh beli obat sama dokternya, bisa ndak makan seminggu aku sama anak-anakku nanti,” kata Lik Jum tampak kesal.
“Apa Lik Jum ndak punya kartu jaminan kesehatan dari pemerintah itu? Bukannya kemarin Pak RT sudah mendata warga Lik?,” tanyaku pada Lik Jum.
“Walah…saya ndak punya kartu seperti yang kamu bilang tadi, Pak RT cuma bohong. Katanya mau data warganya! Buktinya apa?. Cuma kerabatnya saja yang dapat, tapi warga yang butuh seperti Lik mu ini malah ndak dapat,” jawab Lik Jum dengan kesal.
“Jum…apa kamu belum protes sama Pak RT? Barangkali kamu bisa dapat kartu itu,” sela Mbah Sarni menyarankan.
“Percuma Mbah, tetanggaku kemarin saja protes ndak digubris sama sekali, malahan Pak RT bilang kuotanya sudah penuh,” kata Lik Jum menanggapi saran Mbah Sarni.
“Kalau begitu coba lapor Pak Lurah, barangkali bisa,” saran Mbok Parti kemudian.
“Halah…., apa kamu ndak tau kalau lurahku itu kemarin malam ditangkap polisi gara-gara nilep dana desa. Itu lho…yang katanya buat warga kurang mampu,” kata Lik Jum semakin kesal.
“Weh…lha kok barengan sama lurahku, kemarin juga dia ditangkap, tapi kalau dia bukan cuma nilep uang, tapi nilep istri orang juga,” sela Pakde Parto sambil tertawa.
Kami berlima yang mendengar ceritanya pun ikut tertawa bersama, tak mengira Pakde Parto cerita begitu. Tetapi aku sendiri belum tau apakah ceritanya memang betulan atau cuma guyonan yang sengaja dibuat Pakde Parto. Karena setauku lurah di desanya itu terlihat alim dan kalem ketika di depan warganya. Jadi tak aneh kalau aku kira mungkin itu hanya guyonan Pakde Parto yang memang terkadang nyleneh.
“Parto….kamu ini ada-ada saja, mana mungkin lurahmu itu berbuat kaya gitu, jangan sebar informasi yang ndak benar, bisa kena kasus kamu nanti,” kata Mbah Sarni mengingatkan Pakde Parto.
“Ya Allah Mbah…aku ini ndak mengada-ada, betulan itu beritanya, kalau ndak percaya coba baca koran ini,” kata Pakde Parto sambil menyerahkan korannya kepadaku.
Koran itu kemudian ku baca dengan seksama dan alangkah terkejutnya aku ketika membacanya. Ternyata perkataan Pakde Parto bukan guyonan belaka. Jelas-jelas terpampang berita di halaman utama tentang tidak asusila yang dilakukan lurah di desa Pakde Parto. Di sana disertai pula gambar pelaku utama yang tampak digerebek oleh warga dan polisi.
“Ternyata betulan beritanya Mbah…, persis apa kata Pakde,” kataku pada Mbah Sarni.
“Kena kasus kok rame-rame, jangan-jangan nanti giliran lurahku yang kena atau malahan Pak RT sama Pak RW ku juga kena,” kata Mbok Parti sambil geleng-geleng.
“Kalau gitu masih mendingan maling di kampungmu yang cuma maling ayam, setidaknya yang hilang cuma ayam bukan uang warga satu desa,” kata Mbah Sarni menanggapi perkataan Mbok Parti.
“Iya juga ya Mbah, kalau maling di kampung saja digebukin, berarti mereka harusnya dihukum lebih, kalau perlu mungkin dibakar sekalian aja,” kata Mbok Parti sambil ketawa.
Kami berlima pun iku ketawa mendengar perkataan Mbok Parti yang ikutan nyleneh seperti Pakde Parto. Aku sempat berpikir kalau perkataan Mbok Parti masuk diakal juga walaupun jika dinalar tampak luc
Tidak terasa angkot Pakde Parto sudah sampai di tempat tujuan, kami berempat pun turun terkecuali Pakde Parto yang sedang memarkirkan angkotnya di depan pasar. Lik Jum, Mbok Parti, dan Mbah Sarni menuju ke pasar sedangkan aku menuju ke sekolah yang memang tempatnya berhadap-hadapan dengan pasar. Aku pun berpamitan dengan ketiganya.
“Mbah, Mbok, Lik aku berangkat dulu ya,” pamitku pada mereka bertiga.
"Iya sana, belajar yang rajin ya,” kata Lik Jum sambil melambaikan tangan.
Segera kulangkahkan kakiku menuju ke sekolah yang mejadi tujuan utama. Namun ketika sampai di depan kelas aku tampak kebingungan karena teman-temanku berbondong-bondong membawa tas masing-masing, terlihat seperti mau pulang.
“Kalian mau kemana? Kok bawa-bawa tas segala, kaya mau pulang saja,” tanyaku pada salah satu temanku.
“Apa kamu ndak tau kalau Kepala Sekolah kita baru saja ditangkap polisi, katanya korupsi dana BOS, itu yang aku dengar tadi, kamu bisa lihat wartawan banyak yang meliput,” jawab temanku yang membuatku terkejut.
“Terus kita gimana? Langsung pulang?”, tanyaku kembali seperti orang kebingungan.
“Ya iyalah…, memang kita disuruh sama guru-guru, kata mereka sekolah sedang tidak kondusif karena penagkapan Kepala Sekolah yang tiba-tiba. Ya sudah…aku pulang dulu ya,” jawab temanku sambil berlalu pergi.
Aku pun hanya bisa tertegun dan kebingungan terhadap hal-hal yang kualami hari ini. Mulai dari banyaknya lurah yang masuk bui sampai dengan kepala sekolahku yang menyusul jejak mereka.
“Hah…., mau jadi apa negara ini,” gerutuku sambil beranjak pergi.