Jam 7
Setiap pagi ku purih jagung dan padi
Tergelar di piring berjajar bayam dan gubis yang meraya
Asap mengepul di ujung secangkir kopi
Kayu meriah panas terbakar di lubang dapur
Tertindih kendil dan wajan yang tergelepar ikan asin di dalamnya
Jam tujuh, kata adikku
Sudah waktunya menyumpal telinga
Banyak cerita terjual murah
Ludah tertelan dan kadang memuntahkan belati
Yang menghujat tajam menusuk sepi
Jam tujuh kata adikku
Tergelar di piring berjajar bayam dan gubis yang meraya
bersama cerita yang terjual murah.
Di balik sore terisak sendu
Wajahnya lesu, menatap tanah kelabu
Kian redup bersama sepotong bambu
Tangan mengepal memegang jari
Kadang pula mengusap rinai di lubang bambu
Di kedai, jari-jari menari
Merayu membelai lembar demi lembar kertas putih
Dalam anggapannya cahaya menyinari
Dalam dirinya diri menemani
Bersikap senyampang rindu berselimut kabut raya
Yang menunggu hujan memenuhi savana
Di kedai, jari-jari menari
Melambaikan jarak yang meluas bersama ranum
Dalam pekat kelabu diri
Sekarang angin sudah tak menyapaku, sepi rasanya
tidak ada hembusan-hembusan mesra disini, kulihat bunga-bunga dibawah telundak-telundak depan teras itu hanya tertunduk seakan merenungi nasibnya,
Langitpun sudah mulai menyenja bersama dengan kicauan burung-burung kutilang yang memanja,
Tak berdaya rasanya berbisik dalam diam merenungi kehampaan
Hampa yang pernah berisi kemeriahan namun seketika hilang karena teguran ketidak bijaksanaan
Memandang sebelah mata pada kelebihan, menjungjung tinggi pada kekurangan,
Pohon-pohon besar itu serasa memakiku,
Tak terima akan kecanggunganku lantaran ucapanmu
Ucapan yang bagiku hanya bualan-bualan
Sekarang angin sudah tak menyapaku,
Dia rupanya berlalu bersama kenangan-kenangan yang terekam jelas bersama lalu-lalang lamunan yang membosankan.
Malang, 2017-2018