Sore itu saya mendapati buku kecil yang menarik, saat menata kembali rak buku yang mulai berantakan. Saat memilah-milah beberapa buku untuk disusun sesuai tema, tiba-tiba mata saya tertuju pada sebuah buku dengan cover dominan warna merah dengan judul “Mantra The Power of Words” yang ditulis oleh Pak Antoni Lutfi Arifin.
Saya mencoba mengingat kembali, kapan saya membeli buku ini. Ternyata setelah lamat-lamat saya mengingatnya, buku ini adalah hadiah dari kawan di Wonosobo. Saya mulai membaca sedikit demi sedikit isi buku tersebut.
Sambil mencoba mengingat tentang kekuatan sebuah kata, kalimat bahkan paragrap yang dapat menggungah jiwa yang sedang melemah. Sepeti yang dikatakan dalam buku ini “Bahwa setiap apa yang engkau lisankan dan tuliskan, itu akan menjadi frekuensi atas dorongan perjalanan, sehingga menjadi sejarah dan mengabadi” (hal.11).
Memang, setiap kehidupan, setiap personal, bahkan setiap bayi yang baru lahir, akan menemui peran dan keinginannya masing-masing. Entah dalam waktu dekat atau waktu yang sangat lama. Di samping fluktuasi dari psikologi manusia itu sendiri atau pengaruh dari luar diri yang penuh sesak dan gagap gempita.
Seperti yang dikatakan oleh Constantine Sdikides et.,all., dalam penelitiannya yang menyebutkan bahwa “mengacu pada teori hierometer dan teori peringkat sosial, fluktuasi diri kerap kali berubah beriringan oleh fluktuasi harga diri yang berupa sanjungan, cacian, kondisi yang menyenangkan ataupun kondisi yang melelahkan. Sehingga membutuhkan peran dan motivasi yang berada di luar pun di dalam diri manusia, seperti musik, membaca buku, menulis kembali rencana ke depan atau justru berdiam diri sejenak dan berefleksi diri” (Jurnal Press, 2023).
Fluktuasi diri memang tidak bisa dihindari, bahwa setiap manusia kerap kali merasa berada pada posisi maksimal yang sejatinya itu belum maksimal. Karena kesadaran itu hanya terfokus pada gagasan yang berbunyi “maksimal” artinya masih berupa sangkaan dan belum pada keberadaan yang sesunggunya.
Sehingga, mantra atau kata-kata memiliki peran untuk menginterpretasikan “sangkaan” tersebut. Bagaimana mungkin seseorang merasa bahwa dirinya sedang menyerah padahal ia masih meneguhkan diri pada kata semangat. Ia juga masih percaya pada peluang-peluang dan kemungkinan-kemungkinan.
Bahkan Ia masih melakukan kegiatan seperti biasanya. Tetapi ia kerap bercerita pada orang lain bahwa dirinya sebenarnya menyerah.
Dari sini, menurut Pak Antoni, dalam buku ini menyebutkan bahwa “Sejatinya tidak ada kata menyerah, yang ada hanyalah Lelah kemudian beristirahat sejenak, dan esok akan kembali lagi pada kebiasaan seperti sebelum-sebelumnya” (hal. 24).
Dengan demikian, problemnya adalah bagaimana frekuensi diri itu dapat dikenali dan dinalisis oleh diri sendiri. Sehingga ketemu sumbu utamanya yaitu memilih pada kondisi A atau kondisi B. Jika kaitannya adalah semangat dan menyerah, maka ide yang diolah di dalam batinnya kemudian divisualisasikan dalam bentuk kegiatan, maka akan mempengaruhi seseorang untuk merasa bersemangat atau sebaliknya.
Ibarat anda sedang lapar, sedangkan di meja makan tidak ada sama sekali makanan, maka pilihannya hanya dua, memasak atau beli makanan. Jika ditarik pada konteks yang lebih luas, maka kata-kata yang terpatri dalam benak anda seharusnya melahirkan action yang sejalan dengan apa yang anda cita-citakan.
Tulislah atau dengarkanlah kata-kata bijak yang mampu membangunkan gagasan dalam diri anda, sehingga anda menemukan jalan yang tepat untuk menggapai apa yang anda inginkan. Kira-kira begitulah sekelumit isi dari buku Pak Antoni tentang kekuatan sebuah kata-kata.
Karena sejarah juga mencatat bahwa kata-kata mampu membangkitkan gerak perjuangan melawan penjajah, seperti yang digaungkan Bung Tomo. Bahkan dari kata-kata juga dapat membuat pohon yang rindang kemudian mati dan daunnya berguguran seperti yang dilakukan oleh salah satu suku di Afrika.