Apa itu definisi manusia? Ada yang bilang manusia itu makhluk berakal. Ada yang bilang manusia itu makhluk berilmu. Ada yang bilang manusia itu makhluk yang berperasaan. Ada yang bilang manusia itu makhluk bertuhan.
Banyak sekali pendapat tentang apa itu manusia. Saya pernah mendengar percakapan seorang di pasar. Tidak sengaja, tapi cukup menampar diri saya. Dan membuat saya berpikir ulang, manusia seperti apakah saya?
Cukup manusiakah saya yang katanya manusia ini. Apa justru saya ini bukan manusia hanya bentuknya saja manusia. Mungkin saja, saya tidak ingin berandai-andai menjadi manusia yang bagaimana. Saya sendiri masih merasa ambigu.
Apakah saya termasuk manusia sebenarnya atau justru lebih menyerupai makhluk lain? Justru saya tak yakin, apakah saya berhak mengaku menjadi manusia. Lalu, bagaimana orang-orang di sekitar saya? Apakah mempertanyakan hal yangs ama seperti saya?
Apakah mereka mengira dirinya cukup manusia? Atau perlu bertanya ulang kepada diri mereka lagi. Sudah menjadi manusia yang seperti apa kalian semua? Atau sama seperti, merasa belum cukup menusia untuk menjadi manusia.
Perkataan saya tadi memang ribet. Tapi saya anggap penting. Mengapa? Karena terkadang ada makhluk yang bentuknya manusia, tapi bagaimana dengan hatinya? Jawab saja sendiri pertanyaan saya tadi.
Awal mula saya mulai bertanya-tanya seperti itu adalah saat saya tertampar oleh perkataan seorang pengunjung minimarket. Ya, seperti biasanya saya belanja di minimarket dekat kos. Suatu ketika saya mendengar percakapan seorang pengunjung dengan penjual kerupuk. Sang penjual tampak menawarkan dagangannya kepada pengunjung tersebut.
“Bu ini ada promo, kalau ibu minat 10.000 dapat 2 bungkus Bu. Tolong beli dagangan saya Bu, sudah 2 hari krupuk saya ngga laku. Kalau hari ini tidak laku saya bisa dipecat sama Bos saya,” rintih sang Bapak sambil menawarkan dagangannya kepada si Ibu.
“Lho pak, bukan urusan saya kamu mau dipecat atau tidak sama Bos mu. Dagangan kamu laku atau tidak ngga ada urusannya sama saya. Jualan kok maksa-maksa,” balas Si ibu sambil ngegas. Mungkin dirinya risih dengan si Bapak penjual kerupuk.
Itu prasangka saya saja, dilihat bagaimana cara si Ibu menanggapi tawaran Si Bapak penjual. Aku hanya berharap prasangka tadi salah, mungkin si Ibu hanya buru-buru, jadi kesannya ngegas. Semoga saja seperti itu.
“Maaf Bu, saya maksa Ibu beli. Saya ngga bermaksud maksa ibu. Sekali lagi saya minta maaf,” ucap si bapak penjual dengan wajah menyesal dan sedih.
Si Ibu tadi hanya melengos dan langsung pergi begitu saja. Tidak lama kemudian, seorang Bapak yang sedari tadi ikut meyaksikan kejadian antara si Bapak penjual dengan si Ibu. Ia berjalan melewati saya. Saya tau siapa Bapak tadi. Nama beliau Pak Adi. Profesinya kuli panggul di Pasar. Saya kenal baik dengan Pak Adi. Karena beliau terkadang kerja sebagai tukang parkir juga.
Cukup mengenal baik beliau, orangnya ramah. Hanya saja beberapa orang yang baru mengenalnya takut. Alasannya cukup membuat geli. Beberapa orang takut karena model rambut Pak Adi. Tampilan gondrongnya membuat beberapa orang yang baru kenal jadi salah paham. Tapi kalau sudah kenal, saya jamin orangnya ramah. Tidak pernah saya lihat Pak Adi nyinyir atau marah ke orang. Kala istilah sekarang, “tampang preman hati hello kitty.”
“Pak saya beli kerupuk 50.000 ya. Tolong dijadikan sepuluh bungkus ya pak.” Kata Pak Adi keada si Bapak penjual.
“Oh…iya Pak,” balas si bapak penjual tampak kaget mendengarnya. Saya sedikit maklum. Mungkin si bapak penjual ada rasa kaget dan takut dagangannya di beli Pak Adi. Seperti yang saya katakana tadi, bagi orang yan baru lihat, Pak Adi memang cukup garang tampilannya.
“Ini pak kerupuknya, sebelumnya terima kasih ya pak. Dagangan saya sudah dilarisi,” kata si bapak penjual sambil menyerahkan kerupuk pesanan kepada Pak Adi.
“Sama-sama Pak,” balas Pak Adi sambil senyum.
Sambil membawa kerupuk, Pak Adi mendatangiku. Ia memberikan sebungkus kerupuk kepadaku. Katanya buat lauk anak kos. Tawa tak dapat kutahan. Kalau sudah kenal baik, Pak Adi ini memang orang yang suka guyon. Sambil guyon tiba-tiba dirinya curhat.
“Orang sekarang kok sukanya ngomong kasar ya Mba. Kalau ngga mau beli atau bantu kan cukup ditolak baik-baik. Ngga perlu ngomong kaya tadi. Apa dipikir orang yang minta bantuan mau susah kaya gitu. Wong kok ngga punya hati,” Pak Adi tampak ngedumel tidak terima dengan perkataan Si Ibu kepada Si Bapak Penjual.
“Nggih Pak, betul. Saya sendiri juga sedih lihatnya, mau menegur tapi ngga berani, salah-salah saya dinyinyiri balik,” balasku.
“Kamu yang lihat saja sedih kan Mba, apalagi si bapak yang lagi susah itu. Pasti tambah susah dan sedih. Wis Mba mending tampilan preman koyo aku iki, daripada tampilan alim tapi atine preman. Kalau ngga bisa ngomong atau komentar baik mending diam. Daripada komentar kasar kaya tadi. Nuraninya itu di mana? Wong lagi butuh bantuan, lagi susah kok diomongi koyo ngono,” kata Pak Adi yang tidak sadar malah sambil curhat. Benar-benar heran dengan tingkah si Ibu tadi.
“Jadi manusia itu ya harus punya rasa kemanusiaan, harus manusiawi, nurani juga harus dipakai. Percuma jadi manusia kalau ngga punya itu. Jangan ngaku manusia kalau ngga punya kemanusiaan dan nurani. Jangan sampai kita ini lebih mirip hewan,” lanjut Pak Adi meneruskan curhatannya.
Saya pun setuju dengan pendapat Pak Adi. Malahan jadi sadar, tampilan seseorang tidak serta merta berbanding lurus dengan hatinya. Orang yang seperti Pak Adi ini lah yang sering dipandang dan dinilai sebelah mata. Padahal orang yang menilai belum tentu lebih baik dari Pak Adi. Justru bisa jadi lebih buruk dan busuk perilakunya.
Perkaataan Pak Adi ada benarnya. Manusia itu ya harus memanusiakan manusia yang lain. Harus punya kemanusiaan dan nurani. Dan harus bersikap layaknya manusia. Itu bedanya manusia dengan hewan.
“Tapi kok ini jenengan belinya banyak Pak, apa ngga kebanyakan Pak?” balasku sambil bertanya.
“Halah…ya ngga dibuat sendiri Mba. Dibagi sama temen-temen di Pasar. Ya sudah Mba tak ke pasar dulu” balas Pak Adi dengan santai.
“Iya Pak, monggo,” balasku sambil jalan ke parkiran yang tak jauh dari minimarket.
Sambil pulang ke kos. Diri ini merenung. Hal-hal seperti tadi banyak terjadi di sekitar kita. Hanya sepele, namun ketika dicermati ada pembelajaran yang bisa kita renungkan. Agar menjadi pribadi yang lebih baik dan bijaksana.