Mulai lahir di dunia aku sudah berada dalam kefakiran. Sungguh sebuah rasa penuh sia-sia kehidupan yang aku rasakan. Denyut waktu berjalan yang tak terasa aku merasakan waktu belia. Aku habiskan masa belia di kolong jembatan. Sebuah rumah bagi tempat tinggal bagi segenap keluargaku.
Alangkah sebuah rasa kerendahan dalam permai penuh rasa jijik yang berhinggap dalam denyut jiwaku. Jiwaku oh jiwaku yang sangat beracun bagi semua orang. Ketika mata memandang diriku dengan sebuah rasa sinis yang sangat menghanyutkan rasa. Hidup dalam kefakiran tanpa sebutir biji kemewahan yang aku punya.
Ganasnya polusi udara menyergap dalam detak jiwa yang berlumur sekawanan lalat yang berkerumun. Tanpa kenal penat siang malam sekawanan lalat membersamaiku. Dalam beralaskan tumpukan koran menjadi tempat tidurku.
Dalam kubangan sampah yang berserakan bertaruh nasib demi suapan nasi. Makanan basi tak sudah menjadi santapan yang terasa mewah rasanya bagiku. Sebuah permai kehidupan kolong jembatan yang menopang denyut ragaku teramat kumuh.
Berbalut baju kumal nan compang-camping. Yang merasakan getirnya hidup dalam kefakiran. Namun ini hanyalah sebuah ketetapan yang sudah dituliskan dalam catatan takdir. Wajah berantakan rupanya yang rambutku tampak sangat acak-acakan.
Jiwa sudah berserah apapun dalan takdir yang dituliskan oleh sang Illahi. Hanyalah terduduk penuh ratapan dalam sebuah kehinaan yang selalu bersama selamanya. Hanya menjadi gembel adalah jalan hidupku tuk bertaruh nyawa dibalik megahnya mercusuar pembangunan kota.