Bertahun sudah terlewati, tanah yang kita pijaki sudah dapat berdiri di atas kakinya sendiri, mampu berdiri di atas pemerintahan sendiri. Tepat 76 tahun bangsa Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya seperti yang dicita-citakan para pendahulu. Membawa Indonesia di atas jembatan emas dalam menyusun kemerdekaan yang sesusungguhnya, menyusun masyarakat berkeadilan dan bermartabat.
Cita-cita kemerdekaan sejati belum terasa hingga hari ini, masih banyak masyarakat yang bergelantangan di jalan demi hanya untuk bertahan hidup. Maraknya korban kekerasan yang sangat menodai harkat dan martabat manusia, seakan sifat kemanusiaan dalam diri sudah menjelma secara keseluruhun bagai sifat kebinatanan.
Masalah pun tak kunjung usai dan terus mewabah di negeri ini, mulai dari kota hingga ke lorong-lorong desa yang terus berganti, bahkan seakan sudah menjadi bahan lelucon.
Para penguasa sebagai pengayom dan pelindung rakyat, justru tertidur lelap di atas singgasana kekuasaan. Mereka lupa kalau ada rakyat yang mesti diurus, ada rakyat butuh makan, dan ada rakyat yang tak henti menangis walau penguasa dengan santainya tertawa terbahak-bahak di gedung-gedung tinggi dan berkaca itu.
Wahai penguasa puan dan tuan. Apakah engkau lupa bahwa kekuasaan sejati sebenarnya berada di atas tangan rakyat? Mungkin kau lupa kalau suara rakyat adalah suara Tuhan. Kalian para penguasa negeri ini telah diamanahkan untuk melayani dan mengurus kepentingan rakyat, bukan malah berpihak pada satu kepentingan golongan saja. Engkau pun dapat memegang tahta kekuasaan, tak lain karena restu rakyat dan restu Tuhan.
Tapi mengapa engkau malah mengingkari kekuasaan itu? Engkau malah pandai bertopeng dan lupa diri, seakan sudah tak punya akal lagi. Perilaku sudah mengabaikan janji-janji yang telah kau utarakan saat musim kampanye dulu. Bahkan karpet suci yang pernah engkau buka lebar-lebar, kini tinggal kotoran semata bagai lumpur-lumpur yang sangat hina.
Wajah penguasa yang pandai bermain akrobat, merenggut dan memupuk harta kekayaan, mengambil uang rakyat secara halus dengan bingkai kepentingan rakyat. Rakyat pun makin kurus, penguasa malah makin gemuk dan terus berpangku tangan.
Wajah penguasa makin jauh dari fungsinya, makin pilu dan menyedihkan atas tindakannya yang tak manusiawi lagi, ia pun makin hina dan menjauh dari sisi kemanusiaan.