Seluk Beluk Kesenian Reog Ponorogo

Munirah | Olivia
Seluk Beluk Kesenian Reog Ponorogo
Reog Ponorogo di Cap Go Meh Glodok. (suara.com/Dian Kusumo Hapsari)

Indonesia tidak hanya dikenal sebagai negara dengan kekayaan sumber daya alamnya yang melimpah, tetapi Indonesia juga dikenal sebagai negara yang kaya akan kebudayaannya.

Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia yang dihuni lebih dari 300 suku bangsa, Indonesia memiliki beragam budaya, tradisi, hingga kesenian dengan keunikan dan karakteristiknya masing-masing. Bentuk kebudayaan yang ada juga bermacam-macam, mulai dari upacara adat, rumah adat, tari tradisional, dan lain sebagainya.

Reog Ponorogo merupakan salah satu dari sekian banyaknya kesenian yang ada di Indonesia. Kesenian rakyat yang berasal dari Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur ini merupakan sebuah pertunjukan tari tradisional yang biasanya dilakukan di arena terbuka sambil diiringi alat musik tradisional seperti kendang dan juga gong.

Hingga saat ini, pertunjukan Reog Ponorogo masih identik dengan hal-hal yang berbau mistik. Dulunya pertunjukan Reog Ponorogo dipentaskan dalam bentuk iring-iringan atau yang disebut kirab dalam bahasa Jawa.

Di masa sekarang ini, pertunjukan Reog Ponorogo dipentaskan di panggung atau lapangan. Pertunjukan Reog Ponorogo biasanya ditampilkan pada bulan Muharram yaitu Grebeg Suro.

Selain untuk keperluan ritual, kini pertunjukan Reog Ponorogo juga dipentaskan sebagai hiburan rakyat dalam acara khitanan, pernikahan, hingga hari-hari besar. Tak hanya memiliki daya tarik yang kuat di kalangan masyarakat Indonesia, kini pertunjukan Reog Ponorogo sudah semakin mendunia dan seringkali dipentaskan di berbagai negara lain.

Sama seperti kebudayaan lainnya, Reog Ponorogo juga memiliki local wisdom atau kearifan lokalnya tersendiri. Kearifan lokal tercermin dalam nilai-nilai yang tertanam di tengah kehidupan masyarakat sebagai bentuk jati diri masyarakat itu sendiri.

Kearifan lokal dari Reog Ponorogo memiliki kaitan yang erat dengan kepercayaan animisme. Masyarakat di wilayah Ponorogo mempercayai dan meyakini bahwa adanya roh yang menjaga serta melindungi wilayah mereka.

Roh yang dimaksud adalah roh harimau yang dipercayai masyarakat setempat dapat mengusir segala bentuk roh jahat dan menangkal adanya bala atau wabah penyakit. Untuk dapat mendatangkan roh harimau, masyarakat harus menari sambil mengenakan topeng berkepala harimau.

Pertunjukan Reog Ponorogo biasanya diawali dengan dua tari pembukaan. Tari pembukaan pertama dibawakan oleh 6-8 penari laki-laki yang berpakaian serba hitam untuk menggambarkan sosok harimau yang gagah dan berani.

Sedangkan tari pembukaan kedua yang bernama Tari Jaran Kepang dibawakan oleh 6-8 penari perempuan atau laki-laki yang menggunakan busana feminim. Setelah tari pembukaan, pertunjukan akan masuk ke dalam adegan inti yang disesuaikan dengan keperluan pertunjukan.

Sebagai contoh jika pertunjukan Reog Ponorogo ditampilkan pada acara pernikahan, maka adegan inti yang ditampilkan adalah adegan mengenai percintaan. Sebagai penutupan dari pertunjukan Reog Ponorogo, penari akan tampil dengan menggunakan Topeng Singo Barong.

Ketika kita menonton pertunjukan Reog Ponorogo, atribut yang sangat mencolok dan menarik perhatian tentunya adalah Topeng Singo Barong berkepala harimau dengan hiasan burung merak di sekitarnya.

Bagian kepala harimau yang disebut caplokan terbuat dari kerangka kayu dan rotan yang ditutup dengan kulit Harimau Jawa. Harimau sendiri menjadi simbol kewibawaan karena masyarakat Jawa mempercayai bahwa harimau merupakan hewan yang memiliki kekuatan supranatural dimana kulit, taring, hingga kukunya dapat dijadikan sebuah jimat.

Bagian burung merak yang disebut dhadhak merak terbuat dari susunan bulu merak yang ditata pada kerangka rotan dan bambu. Topeng Singo Barong memiliki tinggi sekitar 225 cm dan lebar sekitar 250 cm dengan berat hampir 50 kg. Topeng ini digigit dan ditumpu di kepala serta leher penari, maka dari itu latihan fisik saja tidaklah cukup bagi para penari untuk dapat mengangkat Topeng Singo Barong. Mereka juga memerlukan latihan spiritual berupa puasa dan tapa.

Terdapat dua versi asal-usul yang melatarbelakangi alur cerita pertunjukan Reog Ponorogo. Versi pertama menjadi alur cerita dari pertunjukan Reog Obyog yang biasanya berkembang di kalangan masyarakat pedesaan. Ini merupakan kisah Ki Ageng Kutu atau Demang Suryongalam yang merupakan seorang patih dari Raja Kertabumi di Kerajaan Majapahit.

Ki Ageng Kutu melarikan diri dari kerajaan ke daerah Wongker yang kini dikenal sebagai Ponorogo. Ia melarikan diri karena merasa kecewa dengan sang raja. Semenjak sang raja menikah dengan seorang putri yang berasal dari Tiongkok, segala urusan pemerintahan maupun kebijakan sang raja selalu dipengaruhi oleh sang istri. Bahkan sang raja juga melakukan tindakan korupsi yang sangat merugikan rakyat.

Setelah melarikan diri, Ki Ageng Kutu diangkat menjadi seorang guru atau sesepuh yang disebut Warok dan ia mendirikan sebuah perguruan yang mengajarkan tentang ilmu-ilmu bela diri serta kekebalan diri.

Ki Ageng Kutu menciptakan sebuah kesenian sebagai bentuk sindiran atas kekecewaannya terhadap sang raja yang dipengaruhi oleh istrinya. Ki Ageng Kutu menuangkan kekecewaannya dalam bentuk seni karena di masa itu rakyat tidak boleh mengkritik raja dan harus selalu menghormati raja.

Kepala harimau dalam topeng melambangkan seorang raja, sedangkan burung merak yang berada di atas kepala harimau melambangkan seorang perempuan. Topeng tersebut pada dasarnya menggambarkan seorang raja yang “kepalanya” diinjak-injak oleh sang istri.

Para prajurit sang raja juga disindir dalam bentuk Jathilan. Dalam pertunjukan, para penari Jathil digambarkan sebagai sosok yang memiliki sikap feminim dan tidak tegas. Hal tersebut tercermin melalui atribut kuda kepang dimana bagian ekornya dibuat melengkung.

Dalam tradisi tata busana di Jawa, bentuk melengkung merepresentasikan sikap feminim, anggun, dan lemah lembut. Gerakan - gerakan tari yang dibuat juga menggunakan gerak tari lemah lembut dan gemulai. Para penari Jathil sengaja digambarkan sebagai sosok feminim sebagai bentuk sindiran atas ketidak tegasan sang raja.

Versi yang kedua menjadi alur cerita dari pertunjukan Reog Festival yang biasanya ditampilkan pada pesta rakyat. Ini adalah kisah Raja Kelono Sewandono dari Kerajaan Bantarangin yang mengikuti sebuah sayembara yang diselenggarakan oleh Putri Dewi Songgolangit dari Kerajaan Kediri.

Raja Kelono Sewandono memerintahkan seluruh pasukannya untuk pergi melamar Putri Dewi Songgolangit. Namun ternyata, Putri Dewi Songgolangit memberikan tiga persyaratan yang harus dipenuhi oleh semua raja yang mengikuti sayembara tersebut untuk dapat menjadi calon suaminya.

Ketiga persyaratan tersebut yaitu sang calon suami harus memberikan suatu pertunjukan menarik yang dilengkapi oleh 144 barisan kuda kembar beserta tunggangannya, memberikan iring - iringan musik yang belum pernah ada di dunia, dan yang terakhir adalah memberikan hewan berkepala dua. Kala itu, Raja Kelono Sewandono baru berhasil memenuhi dua persyaratan pertama.

Di daerah Blitar, ada seorang raja bernama Raja Singobarong yang dapat berubah wujud menjadi seekor harimau ketika ia sedang marah. Perawakannya berambut gimbal dan ia memiliki seekor burung merak yang hinggap di atas kepalanya untuk memakan kutu.

Raja Singobarong sangat marah ketika ia mengetahui bahwa Raja Kelono Sewandono telah berhasil memenuhi dua persyaratan yang diberikan Putri Dewi Songgolangit. Ia melakukan aksi pemberontakan menuju Kerajaan Bantarangin demi menggagalkan Raja Kelono Sewandono dan kemudian terjadilah pertempuran.

Dalam pertempuran itu, Raja Singobarong menunjukkan amarahnya dengan berubah wujud menjadi seekor harimau. Namun Raja Kelono Sewandono tidak tinggal diam, ia memecut Raja Singobarong menggunakan alat saktinya yang bernama Pecut Samandiman. Dengan kesaktian Pecut Samandiman, pada akhirnya wujud harimau dan burung merak Raja Singobarong menjadi satu.

Alur cerita dari pertunjukan Reog Ponorogo mengandung pesan moral yang tercermin pada tokoh Warok yaitu Ki Ageng Kutu. Tokoh Warok digambarkan sebagai pemimpin yang berwibawa dan menjadi panutan karena ia selalu mengayomi serta mendengarkan aspirasi rakyat.

Ia juga dengan beraninya melawan Raja Kertabumi yang memerintah secara tidak adil akibat dipengaruhi oleh sang istri. Meskipun ia tahu bahwa dirinya dapat terancam karena berani melawan raja, ia tetap rela berkorban demi menjunjung keadilan bagi kepentingan rakyat. Tokoh Warok mengajarkan kita untuk selalu menjadi sosok yang bijak serta berani melawan ketidakadilan.

Pertempuran antara Raja Kelono Sewandono dan Raja Singobarong juga mengandung sebuah pesan moral yang bermakna. Dikisahkan bahwa Raja Singobarong berusaha menggagalkan Raja Kelono Sewandono untuk memenangkan sayembara yang diselenggarakan oleh Putri Dewi Songgolangit.

Akibat perbuatannya, Raja Singobarong justru terkalahkan oleh kesaktian dari Pecut Samandiman milik Raja Kelono Sewandono. Pertempuran tersebut mengajarkan kita untuk tidak berbuat curang dalam mencapai suatu tujuan serta tidak merebut apa yang telah menjadi milik orang lain.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak