Tulisan yang bagus akan menyadarkan pembacanya mengenai suatu hal. Tidak jarang, tulisan yang bagus akan membuat pembacanya merasa tersindir. Begitu pula novel "Positif" karya Maria Silvi yang menyindir diri saya yang kerapkali menaruh stigma pada beberapa kelompok, khususnya yang kemudian hari menjadi penyintas AIDS.
"Positif" bercerita mengenai seorang dokter perempuan yang sangat disiplin. Sikap dokter tersebut sangat ramah, perhatian dan baik kepada semua orang, terlebih kepada pasien yang ditanganinya. Namun, sikapnya baiknya berubah 180 derajay jika bertemu dengan pasien AIDS. Tidak ada rasa peduli apalagi mengharap kesembuhan pasien tersebut.
Sikap buruknya tersebut diakibatkan oleh pandangannya mengenai virus dan penyakit HIV/AIDS. Pertama, ia takut tertular penyakit tersebut karena ia tahu belum ada obat yang mampu menyembuhkannya. Kedua, ia menganggap bahwa orang-orang terjangkit penyakit tersebut akibat perilaku buruk mereka sendiri di masa lalu, seperti seks bebas misalnya. Jadi, untuk apa peduli dengan mereka. Penyakit yang mereka derita adalah hukuman atas tingkah laku mereka di masa lalu, begitu pikirnya.
Sampai suatu ketika, keadaan membuatnya kenal dan dekat secara pribadi dengan penyintas AIDS sekaligus aktivis pita merah, aktivis yang bergerak dalam pendampingan ODHA (Orang Dengan HIV/AIDS). Kedekatan ini kemudian membuat pandangannya tentang HIV/AIDS menjadi lebih baik. Secara perlahan, ia tidak lagi melihat pasien AIDS dengan pandangan sinis. Sebaliknya, ia justru semakin tertarik untuk mempelajari spesialisasi penyakit tersebut. Bahkan, ia juga mulai aktif dalam gerakan pita merah.
Saya pertama kali membaca buku ini beberapa tahun yang lalu, dan cukup berkesan hingga saat ini karena buku inilah yang mengakhiri masa reading slump saya yang sudah berlangsung sangat lama. Sebagai orang yang sudah lama tidak membaca buku, kesan saya saat membaca buku ini adalah ceritanya bagus, pesannya bagus, penokohannya bagus, pokoknya semua bagus!
Tapi, hari ini, dengan bacaan yang (sedikit) lebih banyak, sepertinya ada yang harus saya koreksi dari kesan saya tersebut. Ya, anggap saja ini tanggung jawab saya karena pernah beberapa kali mengulas buku ini dengan ulasan serba bagus tadi. Tenang, saya tidak akan bilang buku ini jelek. Bagaimanapun juga, buku ini mengantarkan saya untuk membaca banyak buku lainnya.
Dari segi alur cerita, sangat disayangkan, novel ini ditulis dengan banyak adegan kebetulan-tidak masuk akal. Ini sama seperti saat menonton FTV-FTV percintaan dimana ada gadis kampung secara kebetulan bertemu pemuda kota-tampan-kaya raya yang awalnya benci lalu jadi cinta lalu hidup bahagia selamanyaaaa. Kita akan terpancing untuk berpikir kenapa adegan bisa pas seperti diatur oleh sutradara. Ini yang luput dari saya saat pertama kali membaca novel ini.
Lalu, hal lain yang membuat novel ini berkesan adalah ia mampu mengubah pandangan saya terhadap berbagai kelompok. Memang dalam buku ini diceritakan tentang para penyintas AIDS, tapi bagi saya saat itu, ada pesan yang lebih luas, yaitu kita bisa membenci sesuatu karena kita belum mengenalnya dengan baik. Tidak hanya kepada penyintas AIDS, tapi saya juga memikirkan ulang kelompok-kelompok lain yang selama ini saya sematkan stigma.
Buku ini seakan menampar saya karena tokoh utama seperti diri saya sendiri. Tentu bukan sama-sama sebagai dokter, tapi sama-sama memberi stigma kepada kelompok-kelompok tertentu. Sebelum saya membaca novel ini, pandangan saya tentang penyintas AIDS kurang lebih sama dengan pandangan tokoh utama seperti yang sudah saya tuliskan. Namun, seperti tokoh utama, saya juga tersadar untuk tidak memberi stigma buruk kepada orang lain.