Merenungkan Makna Hidup Melalui Novel Khutbah di Atas Bukit

Hernawan | Diat Anugrah
Merenungkan Makna Hidup Melalui Novel Khutbah di Atas Bukit
novel Khutbah di Atas Bukit (goodreads.com)

Bangsa kita tidak pernah kekurangan orang-orang cerdas. Dari generasi ke generasi selalu ada cendekiawan yang pemikirannya mencerahkan jika dikaji maupun dibaca. Salah satunya adalah Kuntowijoyo.

Kuntowijoyo merupakan tokoh cendekiawan, penulis, hingga budayawan yang sangat produktif. Banyak karya dari berbagai jenis yang sudah beliau tulis. Mulai dari novel hingga pemikiran dan kajian kritis. Salah satu novel beliau yang paling terkenal adalah “Khutbah di Atas Bukit”.

Novel ini menceritakan seorang lelaki paruh baya bernama Barman. Beliau adalah mantan diplomat yang mencoba memulai hidup baru di daerah pegunungan bersama pasangan barunya, seorang wanita muda bernama Popy.

Niat awal ingin menenangkan diri di vila, ternyata membuat Barman merefleksikan kembali makna hidupnya. Terlebih ketika dia bertemu dengan Humam, pria paruh baya lainnya yang sangat misterius.

Pertemuan dengan Humam menjadi awal Barman untuk mengambil langkah nekad untuk menemukan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang sering menghantui pikirannya.

Kuntowijoyo dalam novel ini tidak hanya menceritakan peristiwa demi peristiwa yang terjadi, namun mengajak pembaca untuk merefleksikan lebih dalam mengenai peristiwa tersebut.

Alih-alih menceritakan mengenai konflik yang bisa dillihat dari luar, yang lebih ditekankan justru konflik batin dari Barman, Humam, dan tidak ketinggalan juga Popy. Ketiga tokoh yang dalam satu waktu saling bertentangan pemikirannya, namun di lain waktu serasa sepemikiran tanpa harus mengutarakannya.

Cara penulis menjelaskan pergulatan batin dan pikiran yang dialami tokoh membuat pembaca ikut berpikir. Tanpa disadari, kita turut mempertanyakan arti dari kehidupan ini.

Tokoh Barman, yang karena usia lanjut memilih untuk mengasingkan diri dari hiruk piruk kota dengan tujuan agar bisa menjalani sisa umur dengan lebih tenang dan tanpa memikirkan banyak hal, ternyata justru harus menghadapi pertanyaan yang sangat mendalam: untuk apa kita hidup?

Dengan dalamnya pertanyaan yang coba diangkat, cerita dalam novel ini cenderung memiliki alur yang lambat. Kita tidak bisa mengharapkan peristiwa-peristiwa akrobatik di dalamnya. Hal ini membuat pembaca butuh kesabaran lebih untuk menyelesaikan buku ini.

Meski begitu, rasa penasaran yang dibangun sejak awal cerita membuat pembaca ingin terus membaca hingga akhir.

Ditutup dengan ending yang cukup tragis, “Khutbah di Atas Bukit” terlihat sebagai wujud pemikiran Kuntowijoyo dalam bentuk yang berbeda.

Jika kita pernah membaca “Islam sebagai Ilmu” atau Kumpulan esai dalam “Muslim tanpa Masjid”, sulit membayangkan bahwa novel ini ditulis oleh orang yang sama.

Dalam tulisan non-fiksinya, kita dapat melihat Kuntowijoyo sebagai pemikir yang mampu menerjemahkan teks-teks Islam menjadi relevan dengan kondisi zaman. Sedangkan dalam novel kita melihat penulis dengan imajinasi yang liar.

Hal ini membuktikan bahwa Kuntowijoyo tidak hanya piawai menyampaikan gagasan secara langsung tetapi juga mahir mengemas pemikiran-pemikirannya dalam bentuk karya sastra yang mampu menghipnotis pembacanya.

Namun jika kita menelaah lebih lanjut, kita masih bisa melihat gaya pemikiran khas Kuntowijoyo dalam novel ini. Novel ini mengajak pembacanya untuk berpikir secara transenden, melampaui keadaan yang di depan mata untuk melihat potret atau keadaan yang lebih luas.

Misalnya dalam kalimat yang disampaikan Humam bahwa “apa yang kamu miliki sebenarnya memilikimu” menyadarkan kita bahwa seringkali, apa yang kita anggap sebagai milik kita, justru menjadi belenggu bagi kita seakan-akan milik kita itulah yang memiliki kita.

Juga bagaimana ketika orang-orang berpikir bagaimana cara supaya bisa hidup bahagia dan terlepas dari kesengsaraan, ternyata pikiran itu sendiri yang menjadi penghambat kita untuk bahagia.

Meskipun perlu kesabaran untuk membacanya, novel ini layak dibaca supaya ita bisa rehat sejenak dari rutinitas yang kita jalani setiap hari lalu merenungkan kembali hidup seperti apa yang layak dan seharusnya kita jalani.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak