Dewasa bukan hanya soal angka. Itulah salah satu pesan yang ingin disampaikan penulis dalam buku kumpulan cerita pendek (cerpen) beragam tema yang sebagian besar sudah pernah dipublikasikan di berbagai media cetak dan daring ini. Bagi sebagian orang, kedewasaan seseorang ditandai saat ia telah berusia matang dan memutuskan untuk mengakhiri masa lajang.
Anggapan semacam itu tentu tak sepenuhnya benar. Karena realitas yang ada, banyak orang yang menikah tapi rumah tangganya berantakan. Bila ditelusuri penyebabnya pun beragam. Misalnya akibat kurang mempersiapkan segala hal yang berkaitan dengan pernikahan, kurang mengenal tabiat dan kebiasaan pasangan dengan baik, dan kekurangdewasaannya dalam menyelesaikan persoalan.
Dalam cerpen berjudul Seni Lelaki Bujang, Ade Ubaidil ingin menyuarakan ketidaksetujuan perihal kedewasaan seseorang yang hanya ditandai dengan jumlah usia dan pernikahan. Badrun, tokoh utama dalam cerpen tersebut merasa sangat kesal, karena di usianya yang ke-26 ia dicecar terus-terusan oleh orang-orang di sekitarnya tentang kapan ia segera mengakhiri masa lajang alias menikah.
Maklum, di kampung kelahiran Badrun, lelaki sebayanya rata-rata sudah menikah bahkan sudah memiliki anak. Herman adalah salah satu teman yang selalu mencecar agar Badrun lekas menikah. Bagi Badrun, orang semacam dia, di pikirannya barangkali hanya soal ngewajag, selangkangan, pamer kekayaan, adu gengsi. Di saat negara lain berkompetisi dalam ilmu pengetahuan, di kampungnya malah berkompetisi soal pacar atau istri siapa paling bahenol (hlm. 27).
Cerpen berjudul Apa yang Kita Bicarakan di Usia 26? juga menarik dan masih membahas tentang kegelisahan tokoh utama dalam menghadapi usia yang menurut masyarakat harus selekasnya menikah. Bayu, tokoh utama yang berprofesi sebagai novelis terkenal dan tengah menapaki usia 26, merasa geram saat teman-temannya menanyakan kapan ia segera mengakhiri masa lajang.
Bayu lantas mempertanyakan, “Apakah topik semacam ini yang biasa dibicarakan orang ketika berusia 26?” Bagi Bayu, di usia ke-26 ia justru belum kepikiran untuk menikah. Karena masih banyak impian dalam karier kepenulisannya yang belum terwujud. Ia masih ingin fokus meraih cita-citanya. Ia ingin menjadi sosok pemuda yang memiliki banyak prestasi (hlm. 159).
Selain tema pernikahan, masih banyak cerpen dengan tema beragam yang menarik dibaca dan renungi pesan-pesannya dalam buku ini. Misalnya, cerpen berjudul Pigura berkisah tentang seorang anak yang bercita-cita mulia; ingin menghajikan kedua orangtuanya, cerpen berjudul Pesan Ayah berkisah tentang seorang Ayah yang menjabat Walikota dan menginginkan anaknya juga berprofesi seperti dirinya. Adalah sebuah ironi, ketika sang Ayah mengajarkan anaknya untuk berbuat kebaikan secara diam-diam, sementara di sisi lain ia mengajarkan tentang cara korupsi, memberi dan menerima suap secara diam-diam.
***
*Sam Edy Yuswanto, penulis lepas mukim di Kebumen.