Buku Racun Tikus: Ketika Wabah Tak Kunjung Usai

Hernawan | Sam Edy Yuswanto
Buku Racun Tikus: Ketika Wabah Tak Kunjung Usai
buku racun tikus (DocPribadi/Samedy)

Sebagaimana kita ketahui bersama, wabah corona yang telah merenggut ribuan nyawa hingga kini masih menjadi momok menakutkan bagi masyarakat Indonesia. Terlebih saat banyak orang yang menderita sakit, dan ketika memeriksakan diri ke rumah sakit, tiba-tiba divonis menderita penyakit corona. 

Maka tak heran bila beberapa waktu lalu, sebagian orang yang sedang sakit merasa enggan memeriksakan diri ke dokter. Mereka takut nanti divonis terserang virus corona yang dapat menyebabkannya dikucilkan oleh masyarakat. Mereka lebih mengobati penyakitnya secara mandiri. Misal saat merasa tubuhnya meriang, kehilangan penciuman dan perasa, mereka akan mengonsumsi obat-obatan yang dijual di apotek atau warung terdekat. Nyatanya, sebagian mereka sembuh setelah dua-tiga minggu.

Wabah corona memang belum usai. Namun, jangan sampai membuat kita terlalu ketakutan menghadapinya. Ketakutan atau kecemasan yang berlebihan justru dapat menurunkan daya tahan tubuh sehingga rentan terserang berbagai virus penyakit. Yang terpenting adalah selalu berusaha menjaga kesehatan, berpikir positif, dan terus melanjutkan aktivitas keseharian dengan berusaha mematuhi protokol kesehatan.

Bicara tentang wabah mematikan, sebenarnya bukan hal baru. Karena sudah pernah terjadi pada zaman dahulu. Misalnya, sebagaiman diurai dalam bukuRacun Tikus; Seni, Wabah, Bencana dan Perang' (2021) karya Afrizal Malna ini, wabah Athena yang terjadi saat Perang Peloponnesia Kedua (430-404 SM) melawan Sparta. Penyakit mulai mewabah melalui pelabuhan Piraeus. Gejala-gejalanya termasuk demam, bersin, sakit tenggorokan, napas sangat buruk, batuk hebat, nyeri dada, susah tidur, dan kejang-kejang.     

Salah satu catatan Thucydides menggambarkan pasien yang demamnya sangat tinggi, membuat mereka lebih suka telanjang. Mereka yang sembuh sering kali menjadi cacat pada alat kelamin, jari tangan dan kaki yang terkadang hilang, kebutaan, dan hilangnya ingatan. Bahkan burung atau binatang yang biasa memakan bangkai, menghilang, tidak menyentuh mayat-mayat korban wabah (hlm. 16-17).

Wabah Cyprian (250-266 M) juga tak kalah mengerikan. Bahkan wabah tersebut telah menewaskan Kaisar Hostilian (251 M). Selanjutnya, wabah kian melemahkan militer dan ekonomi Romawi. Kematian petani membuat tanaman membusuk di ladang-ladang. Wabah ini menggunakan nama seorang pendeta dari Carthage, St. Cyprian, yang mencatat tentang berlangsungnya wabah.

Penyakit melakukan penghancuran berlebihan, seperti musuh penuh kebencian menyerbu rumah-rumah, beruntun, penduduk gemetar, serangan tiba-tiba hari demi hari. Semua bergidik, melarikan diri. Cyprian memaparkan gejala penyakit dari demam, lemah, lelah, tenggorokan bengkak, gangguan pendengaran, diare, muntah, dan infeksi mata (hlm. 24).

Afrizal Malna, dalam buku ini, mengaitkan wabah korona dengan racun tikus. Ia berpendapat, racun tikus jadi metafor yang mungkin representatif untuk menjelaskan kondisi multidimensi dari ketakutan ketika wabah korona membuat kita harus mengisolasi diri dalam rumah. Di dalam rumah juga ada “pembunuh yang tak tampak”: kebosanan, kesepian, kebingungan, disorientasi baru dalam memandang ruang bersama yang membentuk kita selama ini.

***

*Penulis lepas mukim di Kebumen.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak