Mati adalah hal yang tak bisa dihindari oleh setiap makhluk yang bernyawa. Entah itu manusia atau aneka hewan di muka bumi ini, semua akan mengalami yang namanya kematian bila ajalnya sudah tiba.
Yang menjadi persoalan adalah, tak ada seorang pun yang bisa mengetahui kapan ia akan bertemu kematian. Ajal setiap orang begitu misteri. Yang dapat kita lakukan adalah mempersiapkan diri, memperbanyak amal ibadah, sebagai bekal setelah kita meninggal dunia.
Menurut sebuah keterangan, orang akan meninggal dunia sesuai dengan kebiasaannya. Artinya, bila dia terbiasa berbuat kebaikan, konon dia akan meninggal dalam keadaan baik. Begitu juga orang yang terbiasa berbuat kejahatan, konon dia akan meninggal dalam keadaan berbuat kejahatan. Nauzubillahi min dzaalik.
Kita tentu berharap, kelak bila ajal telah tiba, kita dalam kondisi berbuat kebaikan atau sedang melakukan amal ibadah. Meski pun kita pernah berbuat dosa atau kemaksiatan, mudah-mudahan kita bersegera bertobat dan berharap meninggal dunia dengan kondisi husnul khatimah.
Perihal pentingnya mengingat kematian, kita perlu membaca buku berjudul ‘Perjalanan ke Langit’ karya Dr. Muhammad al-‘Areifi yang diterbitkan oleh penerbit Qisthi Press (Jakarta ini). Banyak cerita menakjubkan dalam buku ini. Khususnya, cerita-cerita nyata yang sengaja disuguhkan penulisnya untuk menyadarkan kita bahwa ajal bisa datang kepada siapa saja, di mana saja, dan kapan saja.
Tak hanya itu, kupasan dan seratan-seratan hikmah yang diuraikan penulis dari setiap cerita dalam buku ini juga sarat dengan muatan pembinaan jiwa. Dan secara lengkap, penulis membentangkan berbagai masalah seputar proses pencabutan nyawa oleh malaikat maut dan cara-cara kita mempersiapkan diri untuk menghadapinya.
Salah satu kisah tentang kematian yang mengerikan dalam buku ini dikisahkan oleh Ibnu Qayyim. Diceritakan, Arkian, seorang lelaki peminum khamar dalam sakaratul maut. Ketika ruhnya mulai dicabut, lelaki yang berada di sekitarnya berkata, “Hai Fulan...Fulan, ucapkanlah la ilaha illallaah!” Orang yang sekarat itu pun mukanya berubah menjadi kusut dan kelu lidahnya.
Beberapa orang kembali mencoba menuntunnya untuk mengucapkan kalimat tauhid. “Fulan, ucapkanlah la ilaha illallaah!” tuntun seseorang dari mereka. Namun, si pemabuk itu hanya menoleh dan kemudian berteriak keras. “Tidak! Beri saja aku khamar untuk segera kuminum!”. Ia pun terus mengulangi ucapannya sampai ajal menjemputnya (hlm. 59).
Kisah lelaki pemabuk yang akhirnya meninggal dalam kondisi su’ul khatimah atau akhir yang buruk itu dapat menjadi renungan bagi siapa saja, agar selama hidup di dunia berusaha untuk melakukan kebiasaan-kebiasaan yang baik dan berusaha sekuat tenaga untuk menjauhi beragam kemaksiatan. Salah satu bentuk kemaksiatan yang begitu nyata adalah menjadi pecandu minuman keras atau gemar mengonsumsi narkoba.
Kisah mengharukan tentang kematian yang indah juga dikisahkan dalam buku ini, Adalah Amir ibn Abdullah ibn Zubair. Saat ia tergeletak di atas ranjang dan tengah menanti detik-detik akhir hidupnya, seluruh keluarganya berkumpul di sekitarnya sambil menangis. Saat tengah berjuang melawan sakitnya sakaratul maut, ia mendengar suara adzan Magrib. Singkat cerita, ia meminta kepada orang di sekelilingnya, agar dituntun ke masjid untuk menunaikan shalat Magrib.
Lantas, beberapa orang pun memapahnya ke masjid. Sesampainya di sana, ia langsung shalat mengikuti imam. Namun, baru saja ia mendapatkan satu rakaat, ia meninggal dalam sujudnya. Sungguh luar biasa ia meninggal dunia dalam kondisi sedang beribadah (hlm. 17).
Masih ada sederet kisah menarik yang diungkap dalam buku ini. Dari buku ini kita bisa menyimpulkan bahwa hidup di dunia itu tidak abadi. Oleh karenanya, memperbanyak amal ibadah dan beragam hal-hal positif adalah sebuah cara bagi kita untuk menghadapi kematian. Selamat membaca.