Terdapat banyak sekali alasan seseorang memilih tidak menikah selama hidup, atau menunda waktu menikah, sehingga tak sedikit dari mereka yang menyandang status “perawan tua” atau “bujang lapuk”. Kebanyakan dari mereka yang kemudian populer dengan istilah “jomlo” adalah para aktivis gerakan sosial, politik, ekonomi, pejuang keagamaan, keadilan dan kemanusiaan. Saking sibuknya mereka dengan aktifitas seharian yang menyita waktu, tenaga dan pikiran, sehingga seringkali lupa memikirkan diri sendiri, sampai-sampai tak terpikirkan urusan untuk menikah, sementara setiap detik usia terus semakin bertambah.
Banyak pula kasus seseorang belum menikah hingga di usia tua sebab sulitnya mencari pasangan sesuai kriteria yang diidealkan. Memang, setiap orang memiliki level dan kriteria masing-masing terhadap pasangan yang diidamkan. Alasannya, sebab ingin pernikahannya abadi dalam cinta dan kasih sayang atau sakinah mawaddah warahmah. Maka dari itu, mereka tidak grusa-grusu mengenai pernikahan. Toh, jika sudah sampai, semua akan indah pada waktunya, dalih mereka.
Selain alasan tersebut, terdapat pula memilih tidak menikah sebab sibuk dengan ibadah dan berkarya. Dalam buku Memilih Jomblo ini, KH. Husein Muhammad menulis 21 tokoh terkemuka yang memilih tidak menikah sampai akhir hayat lantaran sibuk beribadah kepada Allah dan mengabdikan diri kepada umat melalui karya-karya fenomenal.
Dalam buku setebal 158 halaman ini, KH. Husein Muhammad merepresentasikan tokoh yang memilih “lajang” dari berbagai profesi, keahlian dan berbagai mazhab.
Di samping itu, dalam buku ini, KH. Husein Muhammad juga mengangkat 7 perempuan jomlo yang berpengaruh dan terkenal sepanjang masa. Mereka adalah Rabi’ah al-Adawiyah, Layla dalam kisah “Layla-Majnun”, Karimah Ahmad al-Marwaziyyah, Aisyah binti Ahmad al-Qurthubiyah, Jamilah al-Hamdaniyah, Khadijah binti Sahnun dan Al-Qifthi.
Sementara dari kalangan generasi modern, beliau menulis sejumlah nama ulama dan cendekia terkemuka, antara lain Syeikh Badiuz Zaman Sa’id Nursi (seorang sufi, aktivis politik dari Turki), Abbas Mahmud al-Aqqad (filsuf dan sastrawan dari Mesir), Sayyed Quthb (pemimpin gerakan Islam fundamentalis dari Mesir), Jamaluddin al-Afghani (filsuf Arab dan pendiri Pan Islamisme), Abdurrahman Badawi dan Nabawiyah Musa.
Salah satu ulama yang ditulis kisah hidupnya oleh KH. Husein Muhammad adalah Ibnu Jarir al-Thabari, beliau dikenal sebagai imam mujtahid mutlak, ahli tafsir, ahli hadis, sejarawan, faqih dan ahli dalam bidang bahasa.
Tanpa niat membanggakan diri, Ibnu Jarir al-Thabari menceritakan sendiri masa kecilnya, “Aku hafal al-Quran pada usia 7 tahun. Aku menjadi imam salat pada usia 8 tahun. Aku menulis hadis waktu usia 9 tahun” (hlm. 23).
Ibnu Jarir tidak menikah sampai akhir hayat karena kecintaannya terhadap ilmu pengetahuan dan kegemarannya dalam menulis. Hari-harinya dihabiskan untuk menuntut ilmu kepada ulama besar di berbagai tempat dan menulis setiap hari berlembar-lembar.
Saking sibuk membaca buku dan menulis, Aisyah binti Ahmad al-Qurthubiyah, perempuan cerdas si kutu buku ini juga tetap melajang karena lebih sibuk dengan ilmu pengetahuan, lebih suka membaca dan meneliti ilmu pengetahuan daripada mengamati wajah-wajah para pelamar. Menurutnya, menggumuli ilmu pengetahuan jauh lebih nikmat daripada kenikmatan menikah.
Hal senada juga menjadi alasan tidak menikahnya Ibnu Taimiyah (syeikhul Islam, muhaddits, mufassir, ushuli, mujtahid, mujaddid dan mujahid). Dalam buku ini, KH. Husein Muhammad mengutip perkataan Mahmud Daud Dasuki yang menyampaikan bahwa Ibnu Taimiyah tidak menikah bukan karena beliau tidak menyukai pernikahan, menghindari atau melawan fitrah manusia, melainkan karena beliau lebih mengutamakan ilmu pengetahuan, dakwah, jihad, kerja transformasi sosial dan mendidik masyarakat.
Beda halnya dengan perempuan kelahiran Irak tahun 180 hijriyah yang bernama Rabi’ah al-Adawiyah. Beliau tidak menikah dan tidak ingin menikah dengan laki-laki siapa pun. Beliau selalu menolak setiap laki-laki yang datang padanya untuk melamarnya. Sekaya, sebesar dan setinggi apapun keilmuan dan kehebatan laki-laki itu. Sebab, seluruh hidup Rab’iah al-Adawiyah diliputi oleh gairah cinta kepada Tuhan. Tidak ada yang lain dan tidak ingin yang lain. Hari-harinya disibukkan untuk menyebut nama-Nya, memuji-Nya, mensucikan-Nya, dan merindukan-Nya. Sedangkan malam-malamnya dihabiskan untuk menjalin kemesraan bersama-Nya. Sehingga beliau menjadi ikon Cinta Tuhan sepanjang sejarah.
Di dalam buku ini, KH. Husein Muhammad mengemukakan alasan-alasan mengapa para intelektual muslim tersebut memilih tidak menikah. Ada beragam alasan mereka untuk melajang sepanjang hidup. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah mengapa para ulama itu tidak menikah, padahal mereka sangat mengerti dan paham al-Quran, hadis-hadis Nabi dan pendapat para sahabat tentang pernikahan. Untuk menjawab pertanyaan tersebut, di bagian akhir buku ini, KH. Husein Muhammad mengurai pendapat Imam Syafi’i dan Imam Abu Hanifah beserta argumentasi masing-masing. Selamat membaca!