Buku Seteguk Kopi Menjelang Khotbah Jumat ini terbitan PT Elex Media Komputindo tahun 2016 ditulis oleh Fatih Zam. Fatih Zam adalah seorang dosen Universitas Mathla’ul Anwar Banten, lahir di Pandeglang 12 Juni 1987. Selain mengajar dan meneliti, ia juga mengelola pusat belajar masyarakat berbasis perpustakaan, yaitu TBM Bandung. Di TBM Bandung, ia membuka Kelas Menulis gratis bagi masyarakat di daerah Banten Selatan.
Dalam bukunya ini, Fatih Zam berorasi dalam kemasan cerita yang sungguh sangat unik. Setiap cerita yang disajikan terkandung hikmah yang luar biasa. Hikmah yang masih tidak basi untuk dinikmati pada zaman sekarang. Tokoh dalam ceritanya pun juga menarik sekali. Tokoh utama dalam setiap lembar ceritanya bernama Khidir dan Fatih Zam sendiri.
Fatih Zam memilih Khidir menjadi nama tokoh dalam buku ini bukanlah tanpa alasan. Argumennya sederhana: menurut Fatih Zam, Khidir ada di mana-mana. Dia terinterpretasi dalam wacana dialektika spiritual dalam kehidupan keseharian. Khidir mendatangi siapa saja dan dalam bentuk apa saja: kawan akrab, orang yang sebelumnya tidak dikenal, lintasan pikiran, bacaan, dan lain-lain. Cerita-cerita dalam buku ini merupakan kristalisasi dari kontekstualisasi misi Nabi Khidir.
Salah satu cerita dalam buku ini yang menarik perhatian saya adalah obrolan Zam bersama Khidir dalam kisah yang berjudul Minum Kopi di Sarang Nyamuk.
“Obat nyamuk macam apa yang lebih sering kau gunakan untuk mengusir nyamuk, Zam?”
Mata Zam menerawang. Rasa-rasanya semua jenis antinyamuk sudah Zam gunakan. Obat nyamuk bakar, lotion, obat semprot, dan lain-lain. Bahkan, Zam pernah minta tolong petugas untuk melakukan fogging.
“Ada satu jurus bagaimana membuat nyamuk menjadi sahabatmu, Zam.”
“Apa jurusnya?” Zam bertanya.
“Kopi,” Khidir tergelak.
“Bagaimana caranya? Apakah dengan melumurkan bubuk kopi ke kulit?”
“Kenapa harus mempersulit, Zam. Rumusnya sederhana, seduh kopi, undang aromanya, lalu ajaklah nyamuk ngopi bersama.”
“Ayo, kita buktikan!”
“Suasananya sangat mendukung, Zam. Ayo kita seduh kopi di sana, lalu ajak nyamuk-nyamuk ngopi bersama.”
Begitu Zam letakkan pantatnya di bibir amben gardu, seperti ada perintah terpusat, nyamuk-nyamuk itu langsung menyerbu. Khidir tertawa sambil menyeduh kopi, sementara Zam sibuk dengan tangan mengibas-ngibas diiringi gerutuan.
“Sudahlah, Zam, biarkan mereka dengan urusan mereka. Sekarang, mari kita seruput kopi ini!”
Zam langsung menyambar kopi.
“Jangan terburu nafsu, Zam. Tetap lakukan ritual biasa saat menikmati kopi.”
Zam mengerti maksud Khidir. Ngopi tidak lengkap tanpa menghirup aromanya terlebih dulu.
“Beri mereka aroma kopi yang mantap ini, Zam. Buat mereka iri, sehingga mereka tak berminat dengan darah kita dan hanya menginginkan kopi.”
Zam mengdengus kesal. Nyamuk-nyamuk itu tetap tak doyan kopi.
“Sudahlah, Zam. Nikmati saja kopimu. Nyamuk-nyamuk itu takkan membatalkan misinya menjadikanmu sumber makanan mereka.”
“Nyamuk-nyamuk itu memang tidak akan pernah mengganti menu makan mereka.”
“Mereka juga tidak akan berhenti mengisap darahmu meski seribu makian sudah kau keluarkan.”
“Benar. Mereka memang takkan berhenti.”
“Kau mesti tahu, Zam. Nyamuk adalah salah satu makhluk Tuhan yang tidak mengenal kata menyerah dalam hidupnya. Mereka telah diberi ilham oleh Tuhan, diberi pemahaman, bahwa mereka hanya hidup satu kali. Tuhan juga telah merancang takdir mereka, bahwa akhir hidup mereka berada dalam kemuliaan. Semacam mati syahid. Tidak pernah ada nyamuk yang mati di rumah sakit, kan?”
Khidir melanjutkan, “Kau tahu, Zam. Sejak dulu nyamuk menyukai darah. Mereka tidak bisa disogok dengan kopi atau jenis minuman lainnya. Mereka makhluk yang kebal sogokan, tidak seperti pejabat-pejabat di zamanmu.”
“Kau tentunya juga tahu, Zam, mengenai risiko yang harus ditanggung nyamuk-nyamuk itu ketika mengisap darah. Tak ada risiko lain bagi nyamuk-nyamuk itu untuk menyambung umur selain kematian. Entah itu dengan racun berbentuk asap, lotion yang baunya memualkan perut mereka, atau dengan tepukan tangan.”
“Tapi, Zam, pernahkah kau dengar ada nyamuk yang pensiun atau mengganti menu makan dari darah ke yang lain gara-gara risiko yang mahaberat itu?”
“Tidak, Zam. Mereka setia dengan tradisi yang sudah diwariskan nenek moyang mereka. Mereka tetap terbang di sekitarmu, menyerangmu saat ada kesempatan, mengisap darahmu secukupnya, meski maut mengintai dari kedua telapak tanganmu.”
“Mereka adalah contoh makhluk Tuhan yang tidak pernah menyerah dengan hidup, Zam. Hidup mereka adalah perjuangan.”
“Jadi, Zam, jika ada manusia yang mudah mundur denga risiko yang menghadang, kupastikan, dia lebih rendah dari seekor nyamuk.”
Demikianlah sebagian dari isi buku ini. Penuh hikmah, nasihat pencerahan dan penyadaran. Hikmah yang membuat kita duduk merenungi kata-kata Khidir. Pencerahan yang menuntun hidup kita ke arah yang lebih baik. Semoga manfaat.